Mohon tunggu...
Humaniora

Agama Suku Nias Kuno

15 Mei 2015   15:34 Diperbarui: 4 April 2017   16:34 6994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum masuk Injil di Pulau Nias, agama kepercayaan Suku Nias adalah fanömba adu yang disebut Pelebegu.

Pelebegu adalah nama agama asli diberikan oleh pendatang, yang berarti “penyembah roh”. Nama yang dipergunakan oleh penganutnya sendiri adalah fanömba adu (penyembah berhala). Sifat agama ini adalah bersifat pada penyembahan roh leluhur. Praktek dalam penyembahan ini mereka membuat patung-patung kayu.

Adu menurut cerita orang dulu katanya contoh atau gambaran orang tua yang dibuat dari pahatan kayu atau dari batu. Tujuan mereka membuat ini disembah dijadikan tuhan mereka. Mereka memohon agar banyak buah tanaman dan berkembang hewan peliharaan seperti babi. Katanya ini sudah dibuktikan ketika menyembah patung tersebut.

Agama Suku beragam kepercayaan atau keyakinan, di antaranya kepercayaan kepada dewa pencipta, dewa atas dan dewa bawah semesta alam, kepercayaan kepada kekuatan gaib dan roh halus, kepercayaan kepada kuasa arwah nenek moyang, kepercayaan kepada kekuatan alam dan kesetiaan kepada pola tradisi. Kepercayaan ini dibuat dalam wujud yang bisa kelihatan dan diraba seperti patung, mökö-mökö, pohon, sungai, angin, angin, hewan dan manusia.

Mökö-mökö adalah arwah, kekuatan, kharisma, roh nenek moyang yang telah meninggal dunia yang menjelma dalam bentuk kunang-kunang. Setelah beberapa hari orang tua yang mati sudah dikubur seorang anak mendatangi kuburan membawa sebatang pohon puar dan satu botol. Di atas kuburan itu dia menacapkan pohon puar sekitar jejeran mulut orang mati. Mereka meyakini di batang pohon ini keluar seokor hewan yang berbentuk kunang-kunang hewan ini ditangkap lalu dimasukan ke dalam botol tadi. Setelah itu dibawa ke rumah lalu dikeluarkan dan dimasukan ke dalam patung orang tua yang telah dibuat.

W. Gulö menyederhanakan deskripsi agama Suku dapat diuraikan sebagai berikut: bahwa semesta alamini – makro kosmos- diciptakan dan dipelihara oleh dua dewa. Dewa pencipta dan dewa yang memerintah adalah lowalangi, yang bertakhta di dunia atasdan dewa yang menjaga dan pemelihara adalah lature danö yang menghuni dunia bawah.

Dewa-dewa yang terpenting dalam agama Fanomba adu yaitu Lowalangi sebagai raja segala dewa dari dunia atas, Lature Danö raja dewa di dunia bawah, dan Silewe Nasarata yang melindung para ere (para pemuka agama).

Lowalangi adalah nama yang dipakai orang Kristen khususnya Suku Nias untuk penyebutan nama Allah saat ini. Orang Nias yang beragama Kristen saat ini menyebut nama Allah Lowalangi karena salah seorang misionaris yang bernama Denninger mengambil nama tersebut untuk menerjemahkan nama Allah. Konsep Allah dalam kekristenan dikontekstualisasikan dalam agama Suku Nias dan hal ini digunakan dalam agama Suku. Pemahaman tentang Lowalangi saat ini bukan seperti pemahaman agam Suku.

Dorkas O. Daeli dalam disertasinya menulis, Lowalangi tidak dipahami sebagai dewa penguasa dunia atas sebagai yang dipahami oleh agam Suku Nias melainkan Lowalangi dipahami sebagai Allah Bapa yang sejati yang diakui sebagai satu-satunya Allah yang benar – Allah Tritunggal: Bapa, Putra dan Roh Kudus, tiga pribadi yang berbeda di dalam hakikat yang satu . Allah dalam Injil atau Firman Allah dimana Injil menerangi budaya dalam hal ini pemahaman Allah memasukipemahaman Lowalangi yang akhirnya diterima konsep bahwa Allah itu adalah Lowalangi yang hidup, yang berkarya dan yang berfirman dalam konteks masyarakat Nias sekarang ini. Sehingga menggunakan istilah Lowalangi yang diingat dikenal dan disembah adalah Allah dalam kekristenan

Nama lowalangi ini sebenarnya adalah nama dari anak dari raja Sirao yang bungsu, dialah yang berhasil memenangi sayembara perebutan tahta ayah mereka dengan kata lain luo wemöna. Dewa Lowalangi saat ini dikenal masyarakat Suku Nias sebagai nama penyebutan nama Allah Tritunggal yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, Cet.ke 7. (Jakarta: Djambata, 1982). hal. 49-50.

Pastor Johannes Maria Harmmerte, OFMCap. Nidunö-dunö ba Nöri Onolalu, (Gunung Sitoli: Yayasan Pustaka Nias, 1999), hal. 45.

W.Gulö, Benih Yang Tumbuh 13, (Salatiga: SATYA WACANA, 1983), hal. 230.

Dorkas Orienti Daeli, Disertsi: Lowalangi dan Allah: Eradikasi Dualisme Entitas Allah Pada Agama Kristen Suku Nias, Upaya Perwujudan Konfensi BNKP Berbasis Teologia Lutheran (Medan: STT Paulus Medan, 2014), hal. 96.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun