"Kulo niku mboten percoyo Mbak, bakal sampe ten pundi-pundi --saya itu nggak percaya mbak, bakal sampai dimana-mana--" Â Kali ini, saya bertemu Mbak Retno, koordinator Pokdarwis Tetuka -sebutan untuk Pokdarwis Kampung Wayang Kepuhsari-. Tetuka sendiri adalah nama masa kecil Gathutkaca.Â
Ketika perintisan awal desa wisata Kepuhsari, nama ini dipilih, harapannya Kampung Wayang nantinya akan besar seperti Gathotkaca yang memiliki otot  kawat balung wesi. Yeah, mungkin maksudnya supaya desa ini senantiasa kuat menjaga tradisi meski pergantian zaman terus terjadi.
Dari penuturan Mbak Retno, usai permintaan produksi souvenir Asian Games, Kampung Wayang  jadi lebih sering disorot. Cukup banyak media-media yang datang meliput, termasuk kemunculannya di acara Hitam Putih beberapa bulan lalu. Ia tak pernah mengira sebelumnya, bahwa membuat souvenir Asian Games akan membuat dirinya dan Kampung Wayang Kepuhsari bakal lebih dikenal publik.
"Ada 65 set yang kami kirim ke Jakarta. Masing-masing set berisi 4 biji," Mbak Retno lantas menunjukkan 4 biji yang ia maksud, yakni: undangan berbentuk gunungan, wayang Bhin Bhin, Kaka, serta Atung.
"Awalnya gimana itu Mbak, Kok sampai bisa diminta bikin souvenir Asian Games?" meskipun saya sudah mendengar penjelasan Mbak Retno di acara Hitam Putih dulu, saya ingin mendengar lagi ceritanya secara langsung.
Sempat tak ada kabar selama setahun sejak ia menyerahkan desain dan sample, membuat Mbak Retno nyaris lupa mengenai permintaan itu. Namun di tahun 2017 akhirnya ia dihubungi kembali bahwa desain yang ia ajukan disetujui.
Dalam penggarapannya, produksi souvenir Asian Games ini Mbak Retno melibatkan sekitar 7 pengrajin wayang di Kampung Wayang Kepuhsari Wonogiri. Souvenir wayang Asian Games ini pun dibuat seperti layaknya wayang pada umumnya, yakni ditatah dan dibuat dari bahan kulit kerbau serta diberi gapit asli dari tanduk kerbau.Â
Pada undangan gunungan diberi ciri khas sedikit tatahan patran. Patran, atau motif bercorak dedaunan biasanya dibuat di atas sebuah gunungan wayang. Jika gunungan wayang asli, menurut Pak Sutar dulu, pembuatan patran adalah yang paling sulit dan lama lantaran tidak boleh putus dan dibuat tanpa digambar lebih dulu.