Mohon tunggu...
Nur Rohmi Aida
Nur Rohmi Aida Mohon Tunggu... lainnya -

ingin berkeliling dan mendapati segala hal keindahan yang dimiliki bumi ini...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Alasan Kenapa Bertandang ke Pulau Bidadari Menjadi Berbeda

28 Oktober 2015   06:39 Diperbarui: 31 Oktober 2015   08:17 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pulau Bidadari menunjukkan kemolekannya hari itu. Akhirnya, setelah perjuangan panjang perjalanan Solo –Jakarta saya tiba juga di Pulau Bidadari. Bertolak dari Pantai Marina, saya bersama para Kompasianer beruntung lainnya, diberi kesempatan menikmati liburan di Pulau Bidadari.

Saya merasa perjalanan traveling kali ini berbeda dari perjalanan saya yang sudah-sudah. Jelas, karena ini adalah sebuah hadiah dari lomba Pesona Bahari yang diadakan Kompasiana, Indonesia Travel dan Kementrian Pariwisata. Tapi selain itu, saya benar-benar merasakan perjalanan yang berbeda selama menjejaki Pulau Bidadari

 

1. Pulau Bidadari memberi bukti bahwa di dunia itu tak ada yang abadi

Begitu Speed boat merapatkan diri di dermaga Pulau Bidadari, kesan mewah langsung terasa. Tanaman pagar yang dibentuk berbagai macam bentuk seperti bulatan, kapal, dan burung terpampang di pinggiran pulau. Mereka seolah mengatakan “Selamat datang di sebuah Pulau mewah”

Yap, Pulau ini memang berkesan mewah saking sangat terawat. Di bawah naungan PT Seabreez    Pulau Bidadari menawarkan kenyamanan melalui resort-resortnya. Siapa sangka, Pulau yang nampak mewah ini dulunya adalah sebuah Pulau yang pernah dijuluki “Pulau Sakit.”

Tidak ada yang abadi, Pulau yang dulu pernah menjadi tempat isolasi orang-orang sakit yang beresiko menular itu, siapa sangka, kini menjadi Pulau yang amat menarik wisatawan. Kesan ‘sakit’ pun sudah tidak ada. Karena seperti nama barunya, Pulau bidadari menyimpan keindahan laksana rumah para bidadari. Seolah Pulau ini adalah secuil surga di Wilayah padat kota Jakarta.

 

2. Mengunjungi Pulau Bidadari mengingatkan saya pada sebuah pepatah “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya”

[caption caption="meriam masa lampau di Pulau Bidadari"]

[/caption]

Para Kompasianer mengunjungi Pulau Bidadari ditemani oleh Bapak Candriyan Attahiyat. Seorang arkeolog yang asli pernah meniliti langsung  di Pulau Bidadari. Darinyalah kami mendapat pengetahuan tentang sejarah Pulau Bidadari-Pulau Onrust-Pulau Cipir-Pulau Kelor-Pulau Edam.

Siapa sangka bahwa bahwa pulau-pulau ini merupakan tempat cuilan sejarah lampau era penjajahan. Bapak Candriyan Attahiyat bahkan meyakini bahwa Kartosoewiryo juga kemungkinan dimakamkan di sana

 

3. Saya baru tahu, bahwa naik haji dahulu itu benar-benar perjuangan

[caption caption="bangunan-bangunan bekas karantina haji"]

[/caption]

Mendatangi Pulau Onrust kami dibawa berkeliling oleh Bapak Candriyan Attahiyat. Melihat sisa-sisa bangunan era lampau yang telah hancur.  Sisa-sisa bangunan itu tampak meninggalkan bekas kusam dan seperti habis terbakar. Bangunan-bangunan itu rupanya dahulu adalah sisa tempat karantina Haji.

Pak Candriyan bercerita bahwa dahulu orang pergi berhaji hanya membeli satu tiket kapal karena mereka berpikir akan mati di tanah suci lantaran perjalanan menuju Mekkah sangatlah jauh. Butuh berbulan-bulan untuk sampai. Tetapi para pemerintah kolonial mengharuskan untuk membeli 2 tiket PP. Para Jamaah Haji yang bisa pulang dengan selamat itulah yang kemudian dikarantina di sini. Mereka dikhawatirkan membawa penyakit menular. Jika terbukti para jamaah membawa penyakit, maka selanjutnya mereka akan dipindahkan untuk diisolsi di Pulau Sakit atau Pulau Bidadari.

 

4. Pulau Onrust membuat saya tahu bahwa sejak dahulu tikus itu ‘menyebalkan’

[caption caption="inilah bekas pembatas pintu untuk mencegah masuknya tikus"]

[/caption]

Pak Candriyan yang akrab disapa pak Can ini menunjukkan kepada kami bekas lokasi pintu-pintu yang dibuat sedemikian rupa dengan perpaduan besi digunakan untuk menghindari masuknya tikus-tikus yang menyerang. Bangunan mirip semen yang diduga bekas tempat tidur jamaah haji pun dibuat meninggi dengan tujuan supaya aman dari serbuan para tikus. Dari dahulu tikus menjadi ancaman karena ia menyebarkan penyakit leptopirosis, penyakit akibat urin tikus. Para tikus-tikus yang datang di Pulau Onrust dahulu diduga berasal dari kapal-kapal Myanmar yang bersandar. Itu menurut informasi dari Pak Chan.

 

5. Pada akhirnya, waktu bisa mengubah yang pahit menjadi manis

[caption caption="Benteng Mortello di Pulau Kelor. Masa lampau yang terlihat exotis kini."]

[/caption]

Waktu penjajahan sudah berlalu. Bangunan-bangunan itupun tinggal menjadi peninggalan yang menarik untuk dikunjungi. Sisi sejarah yang sudah sepantasnya kita ingat. Pulau-pulau tersebut memang memiliki view pantai yang indah, namun seyogyanya mengunjungi Pulau-Pulau tersebut haruslah disertai dengan wisata sejarahnya.

Pak Can menekankan pada kita berkali-kali tentang kekhawatirannya kepada kelanggengan situs-situs tersebut seiring makin banyaknya wisatawan yang datang. Ia sangat berharap wisatawan kesana tak hanya untuk datang, tetapi ketika pulang mereka menjadi tahu dan berilmu tentang sejarah pulau-pulau tersebut.

 

6. Masa lampau tak selalu harus utuh

[caption caption="menara mortello dari dekat di Pulau Onrust"]

[/caption]

Bangunan-bangunan di Pulau-pulau tersebut tidak haruslah direkonstruksi ulang. Tidak perlulah membuat replica semacam candi Borobudur maupun Prambanan. Yang paling penting adalah bagaimana menjaga bangunan itu tidak semakin rusak dan tetap terawat. Dengan begitu kita bisa melihat bagaimana bangunan itu bisa bercerita bahwa dahulu ia pernah ada, namun ia pernah dihancurkan oleh alam.  Akibat letusan gunung krakatau. Kehancuran diperparah oleh tangan-tangan bangsa sendiri yang pernah mengambili batu-bata di benteng Martello.

 

7. Eco-Resort memang penginapan yang asyik punya

[caption caption="cottage terapung di Pulau Bidadari"]

[/caption]

Ini pengalaman pertama saya menginap di resort yang bertema eco resort. Resort yang peduli dengan lingkungan memang seharusnya digalakkan. Bagaimana PT Seabreez menjaga keharmonisan kawasan sekitar resortnya dengan tetap membiarkan satwa asli seperti para rusa totol dan biawak hidup di sana pantaslah diacungi jempol. Jos lagi, adanya penanaman mangrove di sini untuk menjaga pulau dari abrasi pantai. Rata-rata bangunan-bangunan pun yang berdiri bukanlah bagunan permanen. Bangunan-bangunan ini terbuat dari kayu yang bisa setiap saat dibongkar.

Kawasan hutan di Pulau bidadari masih bisa dibilang lebat. Inilah yang membuat biawak masih berkeliaran, bahkan elang bondol pun masih bisa kita lihat di pulau ini. Yang pasti udara yang berhembus terasa lebih bersih daripada ketika kita berada di kawasan Kota Jakarta.

 

8. Dari Pulau Bidadari, Jakarta Nampak seperti kota yang damai.

[caption caption="kala malam tiba, pemandangan pantai Pulau bidadari adalah kerlip Jakarta"]

[/caption]

Malam semakin larut. Kami masih berkumpul di pinggiran tepi pantai. Bakar-bakaran ikan, sembari menikmati kerlip kota Jakarta. Tak sedikitpun riuh Ibu kota terdengar dari Pulau ini. Kita hanya bisa memandang bagaimana Jakarta dengan gedung-gedungnya nampak tinggi menjulang. Ia berpadu dengan gemerlap lampu yang memecah gelap malam. Gemerlap Ibu kota diujung lautan yang terbentang, sungguh terlihat menenangkan.

 

9. Makam-makam Belanda menyimpan cerita

[caption caption="pohon besar itu tinggi menjulang di komplek pemakaman"]

[/caption]

Ada salah satu komplek pemakaman Belanda di Pulau Onrust. Makam-makam itu nampak dilengkapi bebatuan besar di atasnya, sebagian lagi dilengkapi bangunan bersemen, ada pula semacam nisan besar bertuliskan tulisan Belanda. Dimanapun lokasinya, makam selalu memberikan kesan sendu dan horor apalagi keberadaan pohon besar di dekatnya. Pak Can bercerita tentang salah satu makam milik seorang perempuan Belanda bernama Maria. Menurut cerita, perempuan itu sangatlah cantik tetapi ia kemudian meninggal karena bunuh diri akibat ketahuan berselingkuh.

Ada sekitar 40 makam di sini. kebanyakan adalah makam para pemuda Belanda yang meninggal akibat penyakit tropis. Paling tua adalah makam petugas VOC Cornellis W. Vogel yang meninggal di usia 43 tahun.

 

10. Bersama Kompasianer, Perjalanan jadi berbeda

[caption caption="kompasianer di Pulau Bidadari"]

[/caption]

Perjalanan saya ke Pulau Bidadari bersama para kompasianer memberi kesan tersendiri buat saya. Saya mendapat banyak ilmu dan motivasi untuk terus menulis. Serta beberapa ilmu kehidupan yang disharing beberapa kompasianer yang begitu terbuka berbagi pengalaman hidupnya. Ilmu tentang blogging pun ada. Yang pasti, saya jadi belajar banyak hal dari mereka.

Sejauh ini yang saya tahu tentang Kepulauan Seribu adalah lautnya yang asyik untuk snorkling. Tetapi setelah mengunjungi Pulau Bidadai-Pulau Onrust-Pulau Kelor saya jadi tahu bahwa, ada nilai sejarah di sini. Inilah sisi menarik Kepulauan Seribu yang lain. Biarpun tak bisa snorkling di sini lantaran kondisi air yang kurang jernih, tetapi kita masih bisa kok sekedar main banana boat. Akhir kata semoga tulisan ini bermakna.

Sumber foto: dok. pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun