[caption id="attachment_287794" align="aligncenter" width="640" caption="Merbabu mountain"][/caption]
Mendaki gunung, sebuah kata yang cukup familiar terdengar belakangan ini. Tak terpungkiri, best sellernya film dan novel 5 cm beberapa waktu lalu, ikut memberikan sumbangan besar bagi populernya kegiatan ini.
Gunung memang tempat yang menakjubkan. Dibalik perjuangan yang dibutuhkan untuk mencapai puncaknya, nun di atas sana senantiasa tersembunyi kemolekan pemandangan indah goresan sang pencipta. Dan Indonesia, mempunyainya. Tanah air kita, memang beragam pesonanya, seperti sering ditampilkan dalam Indonesia Travel, sebuah website tentang keindahan Indonesia.
Bagi saya, gunung adalah tempat yang baru disebutkan namanya saja membuat hati rasanya sejuk. Setiap mendengar kata gunung, seolah seperti ada angin kerinduan bertiup menelusup. Menerbangkan kembali kenangan-kenangan indah yang pernah terjadi. Perasaan penuh syukur hadir, karna Sang pencipta pernah mengijinkan saya menikmati kemaha besaranNya di atas sana.
Beberapa tahun lalu saat saya masih sekelas SMA, mendaki gunung adalah hal yang bahkan membayangkan pun tidak mungkin saya lakukan karena sibuknya sekolah saya dulu. Tapi saat lulus, sepercik keinginan itu tumbuh menjadi kobaran keinginan kuat dalam hati, yang menuntut realisasi. Dan akhirnya, tahun 2011 menjadi tahun historikal, dimana saya mewujudkan kobaran keinginan itu.
Kali pertama pendakian saya, bukanlah pendakian yang mulus. Tetapi sebuah pendakian yang sangat berantakan. Saat itu, posisi saya baru pulang dari Jakarta. Sampai Wonogiri pukul 8.00. Sedikit gila, karena saya mengiyakan saja ajakan teman untuk ke Merapi siangnya pukul 12.00.
Saya yang tidak tahu apa-apa soal bagaimana itu gunung, nekat saja tanpa persiapan. Hanya berbekal SMS teman:
Jangan lupa bawa ransel, manthol, senter, jaket, kaos kaki, baju ganti, sarung tangan, sleeping bag (kalau punya), selimut, mukena, snak dan minuman.
Saya langsung hunting barang-barang itu. Diantara lelah, dan sisa waktu yang tinggal beberapa jam, saya lari kesana-kemari mencari perlengkapan.
Saking mepetnya waktu, akhirnya saya minta diundur agak siangan. Dan akhirnya, pukul 14.00 saya baru tiba di Solo. Naik bus rasanya malas sekali, bagaimana tidak, saya 10 jam an perjalanan dengan bus Jakarta-Solo-Wonogiri. Dan harus balik lagi Wonogiri-Solo yang butuh waktu 1 jam.
Penat rasanya kala itu. Sekitar pukul 15.00 kita berangkat dari Solo. Bersyukur karna kita berangkat naik motor dan bukan bus. Sampai di basecamp pertama merapi, saya shock. Dari basecamp pertama menuju ke basecamp New Selo jalanan sudah menanjak. Padahal itu baru tanjakan yang belum ada apa-apanya, tapi melewatinya, nafas sudah terengah-engah.
Sampai di New Selo, dingin menusuk tulang. Isoma sebentar dan akhirnya, sehabis solat Isya’ kita berangkat. Masih saya ingat, saat itu pakaian pendakian pertama sangat tidak layak untuk mendaki. Saya memakai bawahan celana levis model cowok. Yang akhirnya saya sadari itu membuat langkah saya begitu berat.
Teman sependakian saya, yang saat itu baru saya kenal di sana, bertanya “Udah persiapan olah raga sebelumnya mbak?”
Saya berbohong dengan menjawab sudah. Padahal aslinya saya tidak olah raga sama sekali. Benar-benar oon, karena setelahnya, saya sadari jawaban itu bisa saja menjadi kunci hidup dan mati.
Jalan pendakian dari New Selo adalah sebuah jalan setapak yang terus menanjak. Meski hanya penerangan senter, bisa terlihat jalan itu menanjak tajam dengan jurang menganga di bawahnya. Saya yang sama sekali tidak tahu apa-apa soal medan, benar-benar shock dibuatnya. Nafas naik turun. Tenaga rasanya sudah habis. Padahal baru sekitar sepuluh menitan berjalan.
“Coba deh, setiap tiga langkah satu tarikan nafas. Ntar lama-lama kamu biasa,” nasihat seorang teman saya.
Saya hanya menggeleng. Untuk berkata-kata rasanya sudah tidak sanggup lagi. Jangankan tiga langkah. Satu langkah saja saya butuh paling tidak dua tarikan nafas. Baru berjalan sebentar, air sudah habis setengah botol. Teman-teman bilang jangan terlalu banyak minum, tapi kerongkongan saya rasanya benar-benar tercekat. Berjalan lima menit berhenti, lima menit berhenti, membuat saya sungkan pada teman-teman rombongan. Dalam hati tumbuh penyesalan kenapa tadi saya harus ikut. Jantung bergemuruh cepat. Tenggorokan makin tercekat.
Tiba-tiba “Byur..”
Air langit menyiram. Langsung deras, dibawa angin, kemudian berhenti lagi. Geragapan kita memakai manthol. Sialnya, Tas ransel hasil pinjeman harus putus talinya sehingga terpaksa harus kurangkul. Tas tanpa raincoat pula, memaksa manthol yang saya pakai harus saya bagi dengan si tas ransel supaya isinya tidak basah. Isi tas yang banyak, terlalu besar dan berat membuat manthol pakaian tak bisa sepenuhnya menutupi badan dan tas. Alhasil, tas dan baju tetap saja basah.
Penderitaan belum berakhir, hujan yang tiba-tiba tadi, berhasil membasahi celana levis, yang akibatnya celana saya semakin berat untuk melangkah. Rasanya saat itu ingin menangis di tempat. Tapi saya sudah membuat mereka repot, masak saya masih harus membuat mereka makin menyesal mengajak saya?
Hujan datang lagi, dan kali ini benar-benar deras. Tanah menjadi licin. Menjaga keseimbangan tubuh dengan tangan yang merangkul tas, adalah sesuatu yang sulit dilakukan. Ketakutan menyeruak.
“Ayo ngecamp saja! Takutnya kamu nggak kuat mbak! Ntar malah bahaya!” keputusan bijak akhirnya keluar dari teman saya.
Perjalanan masih jauh dari Pos Pertama, tapi tenda sudah didirikan. Dan alasannya lebih karena ‘saya’.
“Sebegitu lemahkah saya?” batin dalam hati.
Tenda didirikan, masalah selanjutnya adalah air hujan merembes ke tenda. Kaos kaki dan jaket basah kuyup. Baju ganti lembab. Sarung tangan basah.
Dingin luar biasa merebak. Saat hujan reda, kita membuat kopi panas tapi dingin tetap tak bisa hilang. Mencoba memejamkan mata, tetapi tak bisa. Seumur-umur, saat itu adalah dingin luar biasa yang pernah saya rasakan. Teman saya meminjamkan jaket, tapi itu tidak membantu banyak. Tubuh masih mengigil, gigi terus bergemerutuk. Rasanya kepala seperti tidak ada darah yang mengalir. Melayang. Nafas menjadi sulit. Bicarapun ikutan sulit.
Cuma bisa bertanya dalam hati, Tuhan apakah saya akan mati? Dalam tenda ada tiga orang cewek termasuk saya. Tapi teman saya yang satu sudah tertidur duluan, tinggal teman saya, yang mengajak sayalah, yang sadar bahwa saya kedinginan. Dia mencoba memeluk saya tapi percuma. Tidak berefek. Selimut dirapatkan, tapi tetep dingin.
Teman saya akhirnya tertidur semua. Teman cowok di tenda samping juga sudah tidak terdengar suaranya. Akhirnya saya sadari kalau semua sudah tertidur. Hanya suara-suara pendaki lain yang lewat yang terdengar.
Dingin tetap tak bisa terusir. Di luar tenda, hujan deras terbawa angin mengguyur. Merutuki ketenangan malam. Entah itu badai atau bukan, yang jelas suara hujan serta angin begitu kencang menakutkan. Tenda bergoyang, air makin banyak yang merembes
Hanya bisa berdzikir dalam hati. Berdoa, semoga masih dijinkanNya menghirup udara esok pagi.
Sebuah anugrah yang sangat saya syukuri. Meski mungkin Cuma tiga puluh menitan, saya tertidur. Tidur yang begitu nikmat.
Sesudah bangun, petang sudah lumayan tersibak. Hujan tinggal gerimis dan para pendaki sudah semakin ramai lewat. Kabut sangat tebal, sehingga sunrise tak berhasil didapat.
Dingin masih terasa, tetapi saya sudah bisa beradaptasi. Teman saya untung ada yang membawa jarum dan benang, maka tas pun segera direparasi. Namun, perjalanan menuju puncak dibatalkan. Kabut tebal di atas sana, dan sepertinya saya masih ‘mengkhawatirkan’. Akhirnya, kitapun pulang, kembali ke bawah.
Itu adalah pengalaman pendakian saya yang sangat buruk. Tapi dari situ saya belajar, mendaki gunung itu bukan hal yang bisa disepelakan. Perlu persiapan fisik dan tenaga yang prima. Perlengkapan dan bekal yang memadai. Perlu pertimbangan cuaca, dan paling tidak sebelum mendaki, cari tahu dulu lah bagaiman medan yang akan dihadapi. Dan kalau saya sendiri, masih memikirkan, “bersama siapa saya mendaki”. Meski semua orang di gunung itu, teman, tapi buat saya, lebih enak kalau ada salah satu yang bener-bener kita kenal.
Banyak teman-teman pendaki yang tidak diragukan lagi keberanian dan staminanya. Sampai-sampai naik hanya membawa sleeping bag dan air minum. Soal makanan dan senter, mengandalkan sesama pendaki lain yang nantinya bakal ditemui. Memang sih, pendaki semacam ini, membuat saya salut karna keberaniannya. Tapi menurut saya, ini terlalu mempertaruhkan nyawa.
Fisik dan keberanian masing-masing orang itu berbeda. Jangan gengsi untuk berolah raga, dan menyiapkan prepare memadai, hanya gara-gara ada temen yang ngomong dia pernah naik gunung tanpa olah raga sama sekali.
Pengalaman buruk pendakian pertama saya, untungnya tidak menyurutkan rasa penasaran saya terhadap gunung. Pendakian kedua, akhirnya membawa saya pada puncak merapi. Alhamdulillah...
dan juga Lawu.
Bahkan surprisenya, saya diajak menapaki Bromo, sang gunung wisata dengan gratis. Hahaha, Terima Kasih Ya Allah.
[caption id="attachment_287818" align="aligncenter" width="500" caption="Bromo Mountain"]
Gunung begitu besar, sementara kita begitu kecil sekali. Hanya dengan KuasaNya, kita mampu mencapainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H