Mohon tunggu...
fuatuttaqwiyah
fuatuttaqwiyah Mohon Tunggu... Penulis - penulis

penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ibu Sekolah Pertamaku dalam Pernak-Pernik Kehidupan

6 Desember 2020   23:56 Diperbarui: 7 Desember 2020   00:03 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menulis tentang ibu, tidak akan pernah habis kata untuk mendeskripsikan kasih sayang beliau. Perempuan cantik yang melahirkanku dan mewarnai semua karakter, tingkah laku, dan kesuksesan yang kuraih saat ini. Ibu tidak hanya mengajarkan pernik-pernik kehidupan. Namun, ibu adalah sekolah pertamaku dalam segala hal.

Sayangnya aku hanya 29 tahun merasakan didikan dan ajaran ibu. Ada rasa tak rela ketika ibu meninggalkanku tanpa kata perpisahan ataupun pesan yang tersampaikan. Masih kuingat banget pelukan terakhir dan bisikan ibu seakan itu baru kemarin terjadi, padahal sudah 14 tahun berlalu.

Mengingat ibu selalu membuat air bening menetes di kedua mataku. Aku merasa belum sempat membalas semua kebaikan dan kasih sayang beliau selama ini. Aku masih belum bisa menjadi anak yang berbakti. Masih begitu banyak keinginan untuk bersama ibu. Namun, apa daya semua hanya tinggal mimpi. Hanya doa yang bisa kusampaikan setiap habis salat fardu.

Belajar Ketegaran dan Kemandirian

Ajaran apa yang paling membekas dari ibu? Banyak banget. Salah satunya ketegaran dan kemandirian. Masih terpatri di ingatanku kala awal pindah ke kota kelahiran ibu. Mendiang ibu memulai semua dari awal. Ibu berdikari membiayai 3 anak yang masih kecil. Dengan menggendong adik yang masih bayi di punggung, beliau mencampur pakan ayam, membersihkan kotoran ayam di kandang, dan memberi makanan dan minuman untuk ayam yang dipeliharanya.

Kata lelah dan keluhan tidak pernah keluar dari bibir merah ibu. Beliau lakukan semua sendiri. Begitu juga ketika harus membiayai kuliahku. Satu kata sambat tidak pernah terungkap. Aku menjadi saksi bagaimana ibu berjuang untuk pendidikanku, kakak, dan adikku. Apapun beliau lakukan agar aku, kakak, dan adikku bisa sekolah dengan layak.

Ibu bahkan rela menempuh puluhan kilo untuk membayar uang SPP kakak dengan mengendarai sepeda onthel. Begitu juga ketika aku masuk pesantren. Setiap bulan, ibu menengokku dengan mengendarai sepeda onthel. Perjuangan ibulah yang membuatku pantang mengeluh hingga kini. Melihat wajah ibu yang tersenyum, sudah cukup membuatku bahagia.

Belajar Memaafkan

Ajaran ibu yang lain adalah tentang memaafkan. Aku butuh waktu lama untuk mencerna hal ini. Pasalnya cukup lama aku bisa memaafkan bapak yang seolah tidka peduli dengan pendidikanku. Namun, ibu selalu membisikkan ke telingaku, kalau bapak adalah orang baik.

Aku kecil belum juga bisa mencerna kata baik itu. Alasannya sederhana. Bapak tidak pernah hadir di masa kanak-kanakku. Aku hanya bertemu bapak ketika lebaran dan liburan. Itu pun diantar oleh kakek. Namun. Kata bapak adalah orang baik selalu ibu sampaikan. Begitu juga kakek dan nenekku, padahal mereka termasuk ikut andil perpisahan bapak dan ibu.

Aku baru bisa memaafkan bapak yang tidak hadir dalam hidupku ketika sudah bekerja dan ibu sudah tiada. Aku harus berdamai dengan bapak. Mungkin itu permintaan ibu yang baru bisa kulakukan ketika beliau sudah tidak ada. Entah hati ibu terbuat dari apa, begitu mudahnya beliau memaafkan bapak dan selalu menganggap beliau orang baik.

Tidak hanya kepada bapak. Ibu selalu memaafkan orang-orang yang pernah menghina ataupun memfitnah ibu. Kehidupan masa lalu keluargaku yang sangat miskin memang menjadi hinaan dan cemoohan orang banyak. Aku sering menangis ketika dihina tidak mampu karena keterbatasan ekonomi dan keterampilan yang kumiliki. Namun, ibu selau memaafkan perbuatan orang-orang tersebut. Dengan mengelus kepalaku, ibu selalu menghibur dan mendoakanku. Karena doa-doa ibulah aku bisa sesukses sekarang.

Sejak ibu tiada, aku pun belajar memaafkan orang-orang yang pernah menghinaku. Aku bersyukur, kehidupan yang kujalani jauh lebih baik dari orang-orang tersebut. Aku bisa sekolah tinggi, bergelar sarjana, dan mendapatkan pekerjaan yang bagus. Semua itu atas usahaku dan doa tiada putus dari ibu.

Belajar Menghormati Sesama

Sopan santun selalu ibu ajarkan setiap hari. Bagaimana bersikap kepada orang tua, sesama, dan yang lebih muda. Ibu juga mengajariku belajar bahasa jawa halus agar bisa berkomunikasi dengan yang lebih tua. Salah satu ukuran sopan santun di keluargaku adalah penggunaan bahasa jawa halus. Aku hampir menangis ketika belajar bahasa jawa halus. Kosakata yang sulit dan intonasi yang harus pas. Aku berjuang dengan keras agar bahasa jwa halusku bagus agar ibu tidak kecewa dengan didikannya selama ini.

Sikap ibu yang sangat menghormati sesama, membuat banyak orang suka dengan ibu. Apalagi ibu tidak pernah membeda-bedakan siapa pun. Meskipun kakek dan nenek adalah tokoh masyarakat terpandang di kotaku.

Belajar Berbagi dari Ibu

Dari mana aku belajar berbagi? Dari ibu. Beliau sangat ringan dan mau membantu sesama, saudara, dan orang lain yang tidak beliau kenal. Ketika aku kecil, tanpa ragu, ibu membagikan kerudungku kepada teman-teman mengajiku agar mereka mau mengaji. Ibu juga rajin membagikan telur ayam yang dipelihara kepada tetangga. Belum lagi saudara yang dibantu ibu karena kesulitan keuangan.

Kondisi keuangan yang pas-pasan tidak membuat ibu malas bersedekah. Justru membuat ibu semakin rajin berbagi. Cerita tetangga menjelang ibu wafat, semua baju, kain jarik, kerudung yang masih bagus dibagikan ke tetangga. Ketika beliau wafat, baju yang tersisa pun tinggal sedikit dan langsung habis dibagikan kepada yang membutuhkan. Ibu memang tidak suka menumpuk baju. Di samping kondisi kami saat itu yang serba kekurangan, ibu hanya beli baju kalau memang sangat butuh karena tidak ada baju lagi.

Ibu selalu bilang, kalau aku sudah bekerja nanti harus mau berbagi, walau nominalnya sedikit. Sedikit yang dibagi bisa menjadi kebahagiaan bagi orang yang membutuhkan. Oleh karena itu, setiap tahun, aku berusaha berbagi rezeki kepada teman-teman ibu dalam wujud makanan pokok. Ketika melihat teman-teman ibu tersenyum, bahkan menangis memelukku, aku jadi teringat ibu. Apa yang kulakukan masih jauh dari kebaikan yang ibu bagikan.

Aku bersyukur dibesarkan ibu dengan penuh kasih sayang tanpa kebencian dan dendam. Itu yang membuatku tidak pernah menyimpan dendam kepada orang lain. Aku selalu ingin menyayangi semua orang dan berbagi kepada yang membutuhkan. Bahkan hingga kini, aku suka berbagi baik ilmu maupun materi.

Belajar Toleransi Sejak Kecil

Tinggal di lingkungan desa membuatku mengenal kehidupan agama orang lain. Meskipun berbeda agama, iu selalu mengajarkan untuk menghormati kepercayaan dan ajaran agama masing-masing. Aku melihat sendiri interaksi yang terjalin antara ibu dengan tetangga yang berbeda agama. Begitu juga dengan teman ibu yang berbeda keyakinan. Kebencian tidak pernah tampak di wajah beliau ketika berjumpa dengan yang berbeda agama. Saling menghormati privasi masing-masing membuat pertemanan ibu langgeng.

Ah aku jadi kangen ibu. Kangen memeluk dan tidur di pangkuannya. Ibu, terima kasih sudah mengajarkanku banyak hal. Terima kasih sudah menjadi sekolah pertamaku dalam kehidupan.

Belajar Toleransi Sejak Kecil

Tinggal di lingkungan desa membuatku mengenal kehidupan agama orang lain. Meskipun berbeda agama, iu selalu mengajarkan untuk menghormati kepercayaan dan ajaran agama masing-masing. Aku melihat sendiri interaksi yang terjalin antara ibu dengan tetangga yang berbeda agama. Begitu juga dengan teman ibu yang berbeda keyakinan. Kebencian tidak pernah tampak di wajah beliau ketika berjumpa dengan yang berbeda agama. Saling menghormati privasi masing-masing membuat pertemanan ibu langgeng.

Ah aku jadi kangen ibu. Kangen memeluk dan tidur di pangkuannya. Ibu, terima kasih sudah mengajarkanku banyak hal. Terima kasih sudah menjadi sekolah pertamaku dalam kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun