Saat keliling kota Yogyakarta kita akan dimanjakan dengan suguhan kota yang kental akan budayanya yang kuat. Dari cara hidup masyarakatnya hingga cara bertutur kata masyarakatnya yang seakan tak mau terlepas dari identitas tersebut. Maka, tak heran apabila kota ini menjadi kiblat budaya bagi negara kita. Menjadi daya tarik pariwisata baik turis local maupun mancanegara, karena memang kota ini masih relative murah untuk menjadi tujuan wisata para pelancong.
Tak heran apabila kekayaan cagar alamnya yang masih terjaga indah. Sehingga jutaan mata para turis akan dimanjakan dengan bangunan-bangunan kokoh warisan budaya. Tak sedikit juga bangunan-bangunan peninggalan Belanda pun dibudidayakan. Seperti sekolah, dan kantor-kantor pemerintahan. Namun, apabila kita teliti sedikit dan sejenak, apa benar cagar ala mini dibudidayakan sebaik-baiknya?
Jalanan Maliboro menjadi objek utama yang tak pernah dilewatkan para turis untuk dikunjungi. Karena memang inilah bentuk pasar tradisional Indonesia walaupun ke-tradisionalanya sudah hilang. Diujung jalanan Malioboro masih terbuka pasar Beringharjo yang mungkin masih bisa dibilang tradisional untuk dijadikan wisata budaya.
Langkahkan sedikkit kaki menuju selatan tak jauh dari Malioboro dan Beringharjo disitu ada gereja Protestan Margomulyo yang menjadi cagar budaya. Karena memang bangunan gereja ini adalah bentuk peninggalan sejarah. Seharusnya gereja ini terlihat indah kokoh dijajaran jalanan ramai Malioboro depan museum benteng Vredeburg. Yang disayangkan dari gereja ini adalah menjadi lahan mencari nafkah bagi para tukang parkir.
Maka sesekali kita tidak akan menyadari kalau ada bangunan gereja diujung jalan Malioboro. Karena memang gereja ini sudah menjadi lahan parkir yang menjamur, belum lagi ditambah benalu-benalu lapak para pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya yang menempel disekitar area bangunan cagar budaya ini. Oleh karena itu cagar budaya yang dibudidayakan sebagai rumah ibadah yaitu gereja Margomulyo sudah tidak memiliki arti sendiri sebagai bangunan yang memiliki nilai sejarah tinggi. Kalaupun boleh diberi harga, bangunan ini memiliki nilai harga yang tinggi karena memang bangunan tersebut memiliki nilai sejarah.
Cagar budaya yang seharusnya memiliki nilai tinggi menjadi tak bernilai karena sudah disamakan sebagai lahan parkir. Terkadang tak habis piker apa yang ada dipikira pemerintah dalam hal ini. Kurang menghargai arti dari sebuah sejarah? Mungkin itulah istilah yang tepat, walaupun masih kurang tepat. Bukannya bangsa yang maju itulah bangsa yang bisa menghargai sejarah bangsa tersebut.
Itulah menjadi gambaran dan cermin bagi diri kita. Miris terkadang melihat permata yang berharga namun dijual dengan harga yang sama dengan batu-batu kali lain. Memang mungkin para tukang parkir ini sudah mengantongi izin untuk membuka lahan parkir Malioboro di area ini. Namun, dimana rasa untuk menghargai dari sebuah bangunan cagar alam yang harus dilindungi. Bukankah seharusnya ada campur tangan pemerintah dalam menertibkan hal seperti ini. Sebab ini dapat mempengaruhi daya tarik wisata tersendiri bagi kota Yogyakarta khususnya sebagai daerah istimewa.
Selain gereja Margomulyo kita melangkah ke benteng Vredeburg sebuah meseum yang kaya akan peninggalan-peninggalan bersejarah Indonesia. Yang menghargai arti dari sebuah perjuangan mempertahankan bangsa tercinta. Namun, harga yang bisa dibayar untuk memasuki benteng ini sebagai sebuah perjalanan wisata budaya hanya perlu mengeluarkan krocek Rp 3.000,00. Namun, untuk parkir sepeda motor didepan benteng ini Rp 2.000,00. Apa peninggalan sejarah dihargai sama dengan parkir motor yang hanya selisih seribu rupiah? Itulah kekurangan kita yang belum bisa menghargai arti dari sebuah peninggalan bersejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H