Dalam  hal ini penulis tidak bermaksud menyalahkan pertumbuhan penduduk, namun  rasanya masuk akal jika pertumbuhan penduduk tentu akan mengurangi  lahan-lahan yang ada. Mungkin sebelumnya berupa persawahan dan  pertanian, sekarang sudah banyak yang menjadi kawasan perumahan.  Hutan-hutan punjuga sudah banyak yang dibuka. Pembebasan lahan  untuk infrastruktur, dan sejenisnya. Tentu hal ini akan mempengaruhi  sumber daya biomassa yang berupa pangan (jagung, tebu, padi, dan ubi  kayu) dan kayu, bukan?
Dan ternyata, dalam RUEN sudah  diberikan gambaran bahwa untuk mencapai sasaran pengembangan pembangkit  listrik tenaga biomassa ini, kegiatan yang dilakukan pemerintah adalah  menggalakkan budi daya tanaman-tanaman biomassa non-pangan.
Sialnya,  entah karena penulis malas mencari sumber terbaru atau memang nyatanya  belum ada sama sekali, sejak eranya Pakde Joko menjadi hokage publikasi  dan berita terkait strategi ini tidak penulis dapatkan. Baik dari sumber  primer maupun sekunder.
Penulis pernah berbincang  dengan pelaku usaha bisnis pelet kayu di pabriknya yang hanya seluas  10x20 meter. Dan dengan luas itu sudah bisa menghasilkan pelet kayu  dengan kapasitas 800 kg/jam. Padahal, bahan baku pelet kayu yang  digunakan bukanlah bahan baku pangan seperti limbah cangkang sawit,  sekam padi, atau serbuk gergaji kayu.
Bahan baku yang  dipakai adalah tanaman biomassa non-pangan, yakni Kaliandra Merah.  Penulis mengetahui potensi luar biasa tanaman yang bisa tumbuh di segala  jenis tanah ini; masa tanam sebentar; dan terus tumbuh meski sudah  dipotong batangnya, karena terinspirasi dari Abah Dahlan Iskan yang juga  orang Surabaya. Karena itu, penulis berinisiatif untuk melihat secara  langsung potensi dan memang benar, sangat menggembirakan sebenarnya.  Tanaman Kaliandra dan lahan tetap milik kelompok tanai, yang nantinya  akan dibeli pabrik. Jadi, pengusaha pelet kayu tersebut tidak menguasai  keseluruhan proses bisnis dengan memiliki tanah dan kebun sendiri,  tetapi pemerataan bisnis dengan melibatkan masyarakat. Â
Terlepas  dari keinginan kuat pemerintah saat ini yang ingin menegakkan jargonnya  - Energi Berkeadilan - lewat pemerataan dan peningkatan rasio  elektrifikasi, amanat RUEN untuk menciptakan pembangunan energi yang  berwawasan lingkungan juga harus tetap menjadi prioritas.
Jika  sebelumnya penulis berkesimpulan bahwa pilihan pertama untuk mencapai  target 23% adalah dengan melipir ke energi panas bumi, maka dalam  tulisan kali ini penulis berharap agar pemerintah jangan kasih kendor  terkait pengembangan dan pemanfaatan potensi biomassa sebagai sumber  energi. Apalagi setelah regulasi Permen ESDM RI No. 12/2017 tentang  Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik  yang mengatur besaran tarif yang dibeli oleh PLN dari pelaku usaha  sempat mendapatkan protes.Â
Dan lagi, untuk Bang Jon, Energi Berkeadilan bukan hanya tentang rasio elektrifikasi yang meningkat, bukan?
Multiplier effectseperti  pemerataan peran dengan menciptakan lapangan kerja baru, misalnya  dengan melibatkan masyarakat sekitar untuk menyediakan bahan baku juga  bisa menjadi bentuk penerjemahannya. Sehingga semuanya tidak harus  menjadi milik dan dikuasai pelaku bisnis. (*AG)
#15HariCeritaEnergi #KementerianESDM #EnergiTerbarukan #EnergiPanasBumi
______________