(sumber: IEA, 2014)
Bisa jadi, perkiraaan IEA itu adalah alasan mengapa perkembangan energi terbarukan terasa lambat, terutama di Indonesia. Apalagi teknologi pengeboran minyak dan gas bumi yang semakin canggih dengan diketemukannya metode fracturing berbasis shale. Dan lagi, kebijakan Raja Arab Saudi sebagai negara produsen minyak bumi terbesar dunia yang akan menjual sebagian sahamnya di Saudi Aramco tahun 2020-an nanti. Raja Arab pun sudah mampir ke negara kita kemarin, kan. Salah satunya adalah untuk menawarkan potensi minyak tersebut.
Membaca informasi diatas tentu membuat kita sedikit berpikir, karena yang kita tahu bahwa potensi Batubara dan Minyak Bumi di dunia masihlah sangat besar dan melimpah.
Meski begitu, penulis juga ingin memberikan pandangan bahwa sebenarnya pengembangan energi terbarukan bukan hanya terjadi di negara-negara maju saja. Di negara-negara berkembang pun mulai banyak dilakukan pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan.
Seperti yang dilaporkan McKinsey&Company, negara-negara yang bergabung dalam Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) ternyata memiliki perkembangan energi terbarukan sebesar 4.6 persen tiap tahunnya [2]. Ini tentu kontradiksi dengan data dan informasi dari IEA diatas. Pun OECD sendiri ternyata didominasi oleh negara-negara berkembang. Dengan perkembangan sebesar 4.6 persen tiap tahunnya, tentu proyeksi penggunaan energi terbarukan di masa depan akan membaik. Bahkan diperkirakan dalam 25 tahun kedepan sejak tahun 2015 lalu, akan dicapai angka 43 persen pembangkit listrik berbasis energi terbarukan di Afrika; 48 persen di Asia; dan 63 persen di Amerika Latin. Asia sendiri telah memproyeksikan anak menambah sekitar 1587 pembangkit listrik baru berbasis energi terbarukan (non-hidro & nuklir). Semoga saja.
Disruption di Sektor Energi Terbarukan
Sebenarnya, istilah disruption atau inovasi disrupsi ini mulai populer di Indonesia sejak Prof. Rhenald Kasali menerbitkan buku yang berjudul Disruption, dan beliau juga sering menuliskannya di beberapa media baik cetak maupun elektronik. Meski begitu, contoh yang diberikan beliau, yang paling melekat di masyarakat dan tentu saja pembacanya adalah fenomena disruption pada industri taksi konvensional yang digantikan dengan taksi online. Akhirnya ketika bicara istilah disruption, ingatnya Go-Jek. Juga dengan industri digital lainnya seperti e-commerce sehingga membuat beliau menjelaskannya berkali-kali untuk sekadar meluruskan makna disruption [3].
Pun juga dalam bukunya [4], Disruption: Menghadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan dalam Peradaban Uber. Penjelasannya didominasi oleh wawasan yang berbasiskan pada industri digital karena memang beliau terinspirasi dari buku Alvin Toffler yakni The Third Wave yang diterbitkan pada akhir abad 20 lalu. Meski begitu, landasan berpikir dan cara berpikir disruption itu sebenarnya yang perlu kita dalami. Bukan pada contoh-contohnya, karena disruption bisa terjadi dalam bentuk apa saja.
Kembali ke topik energi terbarukan.
Pertanyaannya: "Benarkah Energi Terbarukan dapat Menjadi Fenomena Disruption di Sektor Energi?"
Pertanyaan ini dirasa cukup strategis mengingat industri batubara, minyak bumi dan gas alam adalah jenis energi yang ketersediaannya melimpah, harga yang murah, dan sudah terbukti andal. Selain itu, pelaku industri batubara, minyak bumi dan gas alam bukanlah lawan yang tak kelihatan. Bahkan jika memperhatikan informasi dari IEA pun, di tahun 2040 energi dunia masih di dominasi oleh sektor energi fosil.