Unit Kegiatan mahasiswa atau sering disebut OKP (organisasi kepemudaan) kini tak lagi berperan secara ideal. Mahasiswa sebagai entitas yang memilii julukan sebagai agent of change, social control, kini tak lagi memiliki wadah aktualisasi yang memiliki kekuatan untuk menyuarakan keresahan dan malfungsi dari sebuah system. Organisasi kemahasiswaan yang sejatinya merupakan sebuah wadah untuk berhimpun dan menyuarakan sebuah harapan dan keresahan kini tak lagi memiliki kekuatan untuk menggoayhkan kekuasaan. Organisasi sebagai sebuah oasis juga mesisas ditengah dystopia social sudah tidak memiliki daya tawar dan daya perubahan. OKP OKP yang menjadi leviathan bagi penguasa dewasa ini sudah jauh dari fungsi dan eksistensinya ketika menyuarakan aspirasi. Lantas, apakah OKP OKP dewasa ini lebih baik dibubarkan saja?
Gerakan Gerakan kemahasiswaan yang menyuarakan aspirasinya di jalanan sudah tidak lagi menakutkan bagi penguasa. Mengapa demikian? Seiring berkembangnya teknologi informasi di era digital ini, Gerakan Gerakan kemahasiswaan gaya konvensional kini tak lagi memiliki dampak yang signifikan seperti pada era Reformasi. Hari ini perkembangan tekhnologi informasi sudah menjadi sebuah keniscayaan. Cara cara lama sudah harus diganti mengikuti dinamika perkembangan zaman. Gerakan Gerakan menyuarakan aspirasi didepan Gedung Gedung pemerintahan saat ini hanya bak anjing menggonggong yang diikat rantai. Hanya satu istilah yang dapat menggambarkan kondisi ini: indistorpia (Indonesia dalam dystopia) Pertanyaannya, lantas bagaimana seharusnya fungsi OKP di era ini?
Di tengah kondisi yang demikian, rejuvenasi dibutuhkan bagi organisasi kemahasiswaan untuk merebut kembali gelar leviathan yang hilang ditelan zaman. Istilah viralisme menjadi sebuah solusi yang revolusioner. Viralisme sendiri merujuk pada sebuah kondisi dimana sebuah isu atau fenomena yang viral di media social. Media social dewasa ini menjadi sebuah keniscayaan yang hampir semua orang gunakan di era serba digital ini. Viralisme hari ini menjadi sebuah senjata mematikan bagi setiap individu untuk memviralkan suatu fenomena ataupun isu. Artikulasi sebuah aspirasi hari ini dapat dilakukan dan digantikan oleh jari jari netizen, dimana setiap individu sudah bisa mengartikulasikan keresahannya tanpa terhimpun dalam suatu kelompok. Viralisme menjadi sebuah momok penghancur citra di era ini menjadi senjata yang ampuh untuk menggoyahkan status quo. Kemarin, terdapat konflik dialektis dalam diri saya, apa gunanya ormas, OKP dan sejenisnya apabila fungsi artikulasi bisa dilakukan sendiri?
Namun, setelah perdebatan dialektis tersebut saya mendapatkan kesimpulan, bahwa mereka masih berguna. Mereka berguna sebab memiliki basis massa yang jumlahnya luar biasa yang dapat dimobilisasi untuk aksi social nyata. Untuk itu, Gerakan kemahasiswaan yang tidak dibarengi dengan digitalisasi Gerakan Gerakannya hanya menjadi trend romantisasi masa lampau. Viralisme sebagai antithesis dari kaum reaksioner kini harus di aktualisasikan dalam setiap Gerakan Gerakan OKP dalam menyuarakan aspirasi untuk mewujudkan tataran social order.
Selamat datang di era digital, dimana segala hal tak lagi memiliki Batasan, dimana Satu satunya cara untuk mengembalikan daya kekuatan perubahan organisasi kemahasiswaan adalah dengan merejuvenasi cara artikulasi aspirasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H