Petaka Untuk Alam Indonesia
Indonesia suatu negara yang memiliki potensi kekayaan alam yang luar biasa. Negara mana yang tidak melirik negara Indonesia, pengusaha mana yang tidak terbius dengan pundi-pundi uang yang akan tercetak, sudah pasti ingin menancapkan keran investasinya biar kantong dompet terisi "fulus". Negara Indonesia yang terteletak di Asia Tenggara ini menyimpan "harta karun"Â di bawah buminya seperti minyak, emas, timah, tembaga, nikel dan gas alamnya. Iklim tropisnya juga membawa berkah bagi penduduknya, coba bayangkan ikan dan tumbuhan banyak hidup di negara ini yang buat "ngiler" para pengusaha dalam dan luar negeri he-he-he.
Tetapi kian hari kian juga bertambah pesakitannya alam Indonesia dan parahnya lagi berimbas untuk rakyat yang sampai sekarang masih banyak yang "kere" saja. Yuk! Mari kita sedikit nostalgia dengan kejadian kerusakan alam yang menjadi bencana besar karena ulah manusia bahasa kerennya biasa disebut "man made disaster".
Yang pertama nih, ada banjir lumpur panas bahasa populernya "Lumpur Lapindo" di Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur, pasti pada tahukan?. Kolam lumpur panas di Sidoarjo itu disebabkan oleh "PT. Lapindo Brantas" yang lagi ngebor minyak dan gas bumi tahun 2006, yah mungkin salah perhitungan atau lagi apes akhirnya menjadi bencana yang luar biasa ngerinya. Ngenesnya lagi, kurang lebih ada 16 Desa di 3 Kecamatan yang tergenang kolam lumpur panas dan sampai saat ini belum juga tuntas teratasi.
Kemudian, yang kedua ada kebakaran hutan Indonesia tahun 2019 nih, ada yang masih ingat?. Kebakaran ini terjadi lagi-lagi karena faktor "kesengajaan" manusia untuk kepentingan pembukaan lahan perkebunan dan pertanian yang terjadi disaat musim kemarau, ihh iseng banget nih manusia!. Tercatat di tahun 2019 ada kurang lebih 942.484 hektar lahan yang terdampak akibat ganasnya si "Jago Merah" ini dan terjadi di pulau Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara Timur dan lainnya. Asapnya saja sampai mengganggu dan membuat repot negara tetangga, Singapura dan Malaysia.
Local Wisdom Sebagai Solusi dan Pendekatan Alternatif
Kejadian di atas memang cukup mengerikan dan mengancam kelestarian dan keindahan alamnya Indonesia. Untuk mencegah kembali kejadian tersebut, kita bisa belajar kok dari "Local Wisdom" atau kearifan lokal-nya bangsa Indonesia. Keraf (2006) berpendapat bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib. Pendapat tersebut menunjukan kearifan lokal tercipta sebagai wujud perilaku dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat ataupun daerah yang merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu.
Indonesia sebagai bangsa yang majemuk dengan banyak suku, ras, agama dan budaya tentunya mempengaruhi kearifan pola perilaku masyarakat Indonesia yang dapat dimaknai dengan bijak dan arif. Keanekaragaman dan kebudayaan dapat membentuk bangsa Indonesia menjadi bangsa yang "pluralistik"Â yang dapat menciptakan beragam pengetahuan dengan menelusuri kearifan lokal untuk pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia yang lebih sopan dan santun terhadap alamya.
Melihat Indonesia yang saat ini alamnya mulai terancam dan terintimidasi rasa-rasanya kita harus belajar menelusuri apa saja sih kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia. Nenek moyang bangsa Indonesia itu baik-baik karena selalu ada "pesan moral" yang terkandung didalamnya melalui kearifan lokal dan sampai saat ini sangat relevan sebagai pedoman dan aktualisasi yang lebih nyata dalam menjaga alam. Sekarang mari kita pelajari apa saja sih kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia agar tidak menjadi manusia yang serakah, mari kita simak penjelasannya!.
Kearifan Lokalnya Bangsa Indonesia
Senoaji (2003) dalam penelitiannya terkait dengan "Masyarakat Baduy" di Provinsi Banten yang percaya bahwa mereka adalah orang yang pertama kali diciptakan sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat bumi. Segala gerak laku masyarakat Baduy harus berpedoman kepada "buyut" yang telah ditentukan dalam bentuk "pikukuh karuhun". Seseorang tidak berhak dan tidak berkuasa untuk melanggar dan mengubah tatanan kehidupan yang telah ada dan sudah berlaku turun-menurun. Pikukuh itu harus ditaati oleh masyarakat Baduy dan masyarakat luar yang sedang berkunjung ke Baduy. Ketentuan-ketentuan itu diantaranya adalah pertama, dilarang masuk hutan larangan (leuweung kolot) untuk menebang pohon, membuka ladang atau mengambil hasil hutan lainnya. Kedua, dilarang menebang sembarangan jenis tanaman, misalnya pohon buah-buahan, dan jenis-jenis tertentu. Ketiga, dilarang menggunakan teknologi kimia, misalnya menggunakan pupuk, dan obat pemberantas hama penyakit dan menuba atau meracuni ikan. Keempat, berladang harus sesuai dengan ketentuan adat, dan lain-lainnya. Buyut dan pikukuh karuhun dilafalkan dangan bahasa sunda kolot dalam bentuk ujaran yang akan disampaikan pada saat upacara-upacara adat atau akan diceritakan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Ujaran-ujaran itu dianggap sebagai prinsip hidup masyarakat Baduy.
Kemudian, ada beberapa jenis kearifan lokal masyarakat di Indonesia dalam mengelola alam dikemukakan oleh Sartini (2004) di dalam penelitiannya yakni, pertama, Daerah Papua terdapat kepercayaan "te aro neweak lako" atau "alam adalah aku". Gunung Erstberg & Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai bagian dari hidup manusia. Oleh karena itu, maka pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara hati-hati. Kedua, Serawai Daerah Bengkulu, terdapat keyakinan "celako kamali". Kelestarian lingkungan terwujud dari kuatnya keyakinan yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam tanjak. Ketiga, Dayak Kenyah Darah Kalimantan Timur, terdapat tradisi "tana ulen". Kawasan hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh aturan adat. Keempat, masyarakat Undau Mau Daerah Kalimantan Barat mengembangkan kearifan lokal dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan memanfaatnya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa "bera", dan mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan.
Kearifan lokal di atas sejatinya merupakan bentuk pengelolaan lingkungan dari ancaman kerusakan dan memanfaatkan lingkungan alam secara bijak sehingga dapat tercipta keseimbangan ekosistem didalamnya. Melihat keadaan wilayah Indonesia yang begitu luas dengan kekayaan alam yang melimpah tetapi dihadapkan dengan kerusakan alam yang dilakukan oleh perbuatan manusia tentunya sangat mengganggu keseimbangan ekosistem alam. Seharusnya kearifan lokal yang ada disetiap daerah dapat menjadi jalan pintas dan alternatif dalam melakukan konservasi alam yang tentunya perlu didukung dan diperkuat melalui regulasi ataupun kebijakan dari Pemerintahan Pusat maupun Pemerintah Daerah. Dengan demikian, kearifan lokal dapat menjadi nilai, syarat dan aturan positif yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Referensi :
Keraf, Sony. 2006. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas.
Sartini, S. 2004. "Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati". Jurnal Filsafat.
Senoaji, Gunggung. 2003. "Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Dalam Mengelola Hutan Dan Lingkungannya." Universitas Gadjah Mada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H