Kita pasti sudah tidak asing dengan istilah hablumminallah-hablumminannas, tri hita karana, tian di ren dan istilah-istilah lain yang memiliki makna serupa. Istilah tersebut menuntun terjalinnya hubungan atau relasi yang baik antara manusia dengan Sang Pencipta dan hubungan yang baik dengan sesama makhluk. Istilah tersebut membuktikan bahwa sejatinya ajaran agama-agama itu tidak melulu hanya bicara soal hubungan antara manusia dengan Sang Penciptanya, melainkan juga bicara hubungan antara manusia dengan sesama dan juga dengan bumi atau alam sekitarnya. Namun dalam prakteknya, masih sedikit tokoh-tokoh agama yang intens membahas tentang aspek horizontal. Aspek horizontal dan diametralnya seakan-akan terlupa atau dianggap kurang penting. Padahal hubungan dengan sesama dan lingkungan justru mempunyai intensitas rutin dan langsung dirasakan. Akibatnya banyak persoalan kehidupan yang menjadi tidak harmonis akibat persoalan yang timbul yang disebabkan perselisihan antara sesama dan oleh interaksi dengan lingkungan yang tidak bersahabat. Dan akibat 'pengabaian' itu, kini masalah lingkungan hidup menjadi masalah yang sangat serius.
Sadarkah kita bahwa dampak dari pengabaian tersebut sangatlah berbahaya dan membuat kita semakin dekat dengan sebuah krisis yang terduga. Dari hutan yang terbakar hingga lautan yang tercemar, kerusakan lingkungan semakin nyata dan dampaknya semakin dirasakan oleh semua makhluk hidup di planet ini. Bahkan di dalam buku 'Bumi yang tidak dapat dihuni' karya David Wallace-Wells, menyebutkan bahwa banyak kota-kota besar di dunia yang berpotensi akan mengalami kerusakan hebat dari bencana ekologis. Misalnya seperti, kebakaran hutan, pemanasan global, naiknya permukaan air laut, mencairnya es di kutub dan masih banyak lagi. Pertanyaan yang muncul, apakah bencana ekologis tersebut terjadi by nature (secara alami) atau terjadi by design (secara sengaja) oleh ulah tangan manusia? Dan seberapa dalam agama berperan dalam mengatur masalah ini. Mari kita bahas lebih dalam.
Bencana ekologis berkaitan erat dengan relasi yang tidak harmonis antara lingkungan hidup dengan manusia. Relasi antara manusia dan lingkungan hidup jika kita kaitkan dengan ilmu mantiq (logika) maka akan muncul relasi atau hubungan umum khusus mutlak yang mana lingkungan hidup menjadi domain yang umum dan manusia sebenarnya hanya menjadi domain khusus saja. Sebagian lingkungan hidup membutuhkan manusia, dalam hal ini seperti konservasi lingkungan. Disisi lain sebagian lingkungan hidup tidak membutuhkan bantuan manusia, misalnya lingkungan hidup yang tumbuh secara alami seperti hutan dan unsur-unsur lain seperti air, udara dan sebagainya. Sehingga yang menjadi domain khusus adalah manusia, karena setiap manusia pasti membutuhkan lingkungan hidup demi proses pemenuhan kebutuhan manusia itu sendiri. Maka dari sini kita bisa mengambil sebuah informasi, bahwa bencana ekologis itu bisa terjadi secara alami (bencana alam) dan juga bisa terjadi akibat ulah tangan manusia (bencana non alam.)
Menurut perspektif lingkungan, bencana alam yang terjadi secara alami sejatinya baik bagi lingkungan, karena itu merupakan sebuah proses penyempurnaan lingkungan itu sendiri. Contohnya seperti gunung berapi ketika meletus, abu panas yang keluar memang akan menghanguskan berbagai tumbuhan disekitarnya, tetapi tanah akan lebih subur dan menumbuhkan lebih banyak tumbuhan lagi disana. Di sisi lain bencana alam sangatlah buruk bagi manusia. Karena manusia akan terdampak bencana yang bisa merenggut semua yang dimilikinya. Berbeda dengan bencana alam, bencana non alam justru lebih berbahaya dari bencana alam. Bencana non alam atau bencana yang disebabkan oleh ulah tangan manusia, bisa berdampak buruk bagi manusia itu sendiri, dan tentunya berdampak buruk pula pada lingkungan.
Dewasa ini negeri kita kembali di gegerkan dengan persoalan lingkungan hidup. Dimana dunia pertambangan kembali menjadi objek utama yang paling di sorot. Masih ingatkah kita dengan kasus korupsi di sektor pertambangan timah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang menyebabkan kerugian lingkungan hingga Rp 271,06 triliun? Penghitungan kerugian lingkungan tersebut dilakukan oleh Bambang Hero Saharjo, seorang ahli lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB). Dasar penghitungan ini yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014 yang mengatur penghitungan kerugian dari aspek lingkungan oleh ahli yang ditunjuk oleh pejabat lingkungan hidup pusat atau daerah. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kerugian lingkungan antara lain durasi waktu pencemaran, volume polutan, dan status lahan yang rusak. Lihatlah betapa mahalnya biaya yang harus dibayar atas rusaknya lingkungan hidup disekitar kita akibat kelelaian dan kecacatan pengelolaan tambang. Demi pundi-pundi uang yang dinikmati oleh segelintir orang, mereka mengorbankan kesehatan dan keberlangsungan hidup ratusan juta manusia.
Aktivitas pertambangan adalah aspek penting dari perekonomian global, bahkan sektor ini juga memberikan kontribusi yang signifikan bagi penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, realisasi jumlah tenaga kerja di sektor pertambangan tahun 2023 (data kumulatif triwulan III) sebanyak 308.107 orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan 2.074 orang Tenaga Kerja Asing (TKA). Namun perlu diperhatikan juga bahwa dampak jangka panjang dari pengelolaan tambang yang buruk justru lebih mengerikan dan membahayakan keberlangsungan hidup banyak orang bahkan membahayakan keberlangsungan hidup generasi-generasi mendatang. Secara umum dampak buruk pertambangan terhadap lingkungan adalah penurunan produktivitas lahan, kepadatan tanah bertambah, terjadinya erosi dan sedimentasi, terjadinya gerakan tanah atau longsoran, terganggunya flora dan fauna, terganggunya kesehatan masyarakat sehingga berdampak terhadap perubahan iklim mikro. Sedangkan dampak pasca tambang yang terjadi adalah, perubahan morfologi dan topografi lahan, perubahan bentang alam (bentuk bentang alam pada lahan bekas tambang biasanya tidak teratur, menimbulkan lubang-lubang terjal, gundukan tanah bekas timbunan alat berat), lahan menjadi tidak produktif dan rawan potensi longsor. Dengan dampak yang begitu mengerikan bagi masa depan lingkungan hidup, apakah etika sosial dan etika beragama yang melekat dalam diri mayoritas penduduk negeri ini tidak bisa membuat mereka sadar dan paham akan pentingnya menjaga lingkungan hidup?
Dalam sorotan dunia global tentang bencana ekologis, peran agama sangatlah vital untuk membentuk kesadaran manusia akan pentingnya menjaga lingkungan hidup. Semua agama yang diakui di Indonesia, serentak menjadikan isu lingkungan sebagai bagian penting dari pengajaran etika beragama. Dalam Agama Islam contohnya, Islam tidak hanya menuntun umatnya untuk menjaga bumi sebagai khalifah, tetapi juga mengajarkan bahwa setiap tindakan kebaikan terhadap lingkungan adalah bentuk ibadah yang mendatangkan berkah. Ada sebuah pesan yang indah dari Baginda Nabiyullah Muhammad SAW tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup, beliau menyampaikan; "Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya, maka tanamlah," begitulah kiranya pesan Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhori dalam Adabul Mufrod/168. Pesan tersebut menjadi salah satu bukti kepedulian ajaran Islam terhadap pentingnya menjaga lingkungan hidup. Dalam pesan tersebut, Nabi SAW memberikan nasihat kepada segenap manusia tanpa terkecuali agar tetap melakukan hal yang baik meskipun seluruh manusia telah mengetahui bahwa kiamat sudah sangat dekat. Hal baik yang dimaksud dalam pesan tersebut adalah menjaga lingkungan hidup dengan menanam pohon, merawat apa yang sudah ada dan melakukan segala aktivitas yang dapat memakmurkan bumi. Bayangkan, siapa yang tidak takut dan panik apabila benar kiamat sudah sangat dekat dengan memunculkan berbagai tanda akan kedatangannya? Namun Nabi SAW berpesan untuk kita semua agar tetap melakukan hal baik. Yakni dengan peduli dengan alam dan lingkungan melalui cara-cara yang sederhana.
Dalam konteks ajaran Buddha, terdapat banyak pesan moral, nilai, dan ajaran yang mendorong pada spirit pelestarian alam dan lingkungan hidup. Kisah kehidupan Buddha tidak pernah lepas dari aspek altruistik merawat dan melestarikan alam. Salah satunya adalah peristiwa yang disebut dalam kitab suci sebagai animisa sattaha, di mana Buddha pasca pencerahan secara simbolik berterima kasih secara mendalam terhadap pohon Bodhi yang menaungi beliau dengan menatapnya penuh kasih selama satu minggu. Nilai moral berupa terima kasih terhadap pohon dalam konteks yang lebih luas menunjukkan bahwa ada relasi mendalam antara manusia dengan alam sekitarnya. Manusia tidak dapat hidup tanpa alam, sebaliknya kelestarian alam juga dipengaruhi perilaku manusia. Pesan Dhamma dalam konteks kepedulian terhadap lingkungan hidup dapat dijumpai pada berbagai teks klasik ajaran Buddha. Dalam Dhammapada ayat 49 tersurat larangan terhadap eksploitasi alam yang berlebihan dan merusak.
Dalam konteks ajaran Kristen, terdapat pula pesan moral terhadap alam dan lingkungan hidup. Hal tersebut dapat ditemui pada ayat-ayat Alkitab yang manjadi pijakan dan sumber nilai moral. Alkitab juga sebenarnya mengajak manusia memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ciptaan Allah lainnya, termasuk alam atau lingkungan hidup. Contohnya pada Mazmur 104 yang menggambarkan ketakjuban pemazmur yang telah menyaksikan bagaimana Tuhan yang tidak hanya mencipta, tapi juga menumbuhkembangkan dan terus memelihara ciptaan-Nya. Ayat 13, 16, 18, dan 17 misalnya, menggambarkan pohon-pohon diberi makan oleh Tuhan, semua ciptaan menantikan makanan dari Tuhan. Yang artinya adalah bukan hanya manusia yang menanti kasih dan berkat Allah, tetapi seluruh ciptaannya juga menantikan kasih dan berkat Allah.
Dalam konteks ajaran Hindu, terdapat konsep "Tri Hita Karana" yang merupakan konsep universal yang dinamis serta merupakan landasan dasar hidup manusia menuju kebahagiaan lahir dan bathin, sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Dalam ajaran Hindu kita juga mengenal istilah Palemahan. Palemahan adalah lingkungan dalam arti yang luas, sebagai tempat manusia tinggal dan berkembang sesuai dengan kodratnya, termasuk sarwa prani (flora fauna dan semua makhluk hidup) yang memberikan sumber makan yang mendukung hidup.
Dalam agama Konghucu pun terdapat ayat-ayat mengenai lingkungan hidup yang sangat banyak. Nabi-nabi dalam agama Khonghucu misalnya, termasuk Nabi Kongzi sendiri dan Mengzi cicit muridnya, banyak bicara soal lingkungan hidup yang dikaitkan dengan ajaran Xiao atau Laku Bakti dan tanggung jawab seorang manusia.
Lihatlah betapa agama-agama sarentak dan satu suara dalam persoalan lingkungan hidup. Meskipun berbeda dalam pintu aqidah, tetapi dalam urusan lingkungan hidup setiap agama memiliki dalil dan ajaran yang kuat serta tujuan yang sama. Tema-tema seputar lingkungan hidup seyogyanya memang menjadi tema kajian arus utama dalam beragama sehingga timbul kesadaran umat akan pentingnya merawat alam sebagai tempat tinggal kita bersama. Pesan moral agama dalam konteks merawat alam perlu lebih disuarakan oleh tokoh-tokoh agama dan institusi lembaga agama sehingga agama akan menjadi spirit penguat dan menjadi kontrol bagi umat beragama agar tidak melampaui batas dalam mengeksploitasi lingkungan.
Lalu bagaimana jika para pemuka agama diberikan kewenangan untuk mengelola berbagai bisnis di sektor pertambangan yang memungkinkan mereka untuk melakukan eksploitasi terhadap lingkungan? Seperti yang ramai akhir-akhir ini terkait keputusan pemerintah yang mengundang pro-kontra dari seluruh lapisan masyarakat terkhusus para aktivis lingkungan dan umat beragama di Indonesia. Keputusan itu menyebutkan bahwa organisasi kemasyarakatan ("ormas keagamaan") melalui PP 25/2024 bisa melakukan kegiatan usaha pertambangan. Adapun, yang dimaksud dengan "ormas keagamaan" adalah organisasi kemasyarakatan keagamaan yang salah satu organnya menjalankan kegiatan ekonomi. Pemerintah bertujuan melakukan pemberdayaan ekonomi anggota dan kesejahteraan masyarakat/umat dengan keputusan tersebut.
Di luar kacamata politik, keputusan ini sebenarnya baik, karena selain dituntut untuk memiliki moral sosial, para pemuka agama pastinya mengerti dan paham bahwa ajaran agama senantiasa bertindak sebagai kontrol atas setiap langkah dan kebijakan mereka pada bisnis-bisnis yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Namun, keputusan ini juga bisa menjadi pisau bermata dua bagi jajaran ormas keagamaan. Di satu sisi, pemberdayaan ekonomi anggota dan kesejahteraan masyarakat/umat akan meningkat. Akan tetapi di sisi lain, ormas keagamaan akan dianggap menjadi bagian dari para perusak lingkungan hidup. Karena sejatinya bisnis pertambangan dengan atau tanpa adanya pemulihan lingkungan pun, tetap memiliki daya rusak yang berbahaya pada lingkungan. Jadi, ketika salah satu ormas keagamaan menerima keputusan pemerintah dan mengelola bisnis pertambangan, sama saja mereka telah ikut andil dalam proses perusakan lingkungan hidup. Pada akhirnya, dalil-dalil agama pun saling bersahutan. Ada dalil yang mendukung keputusan mengelola tambang dan ada pula dalil-dalil yang menjadi dasar penolakan pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan. Umat menjadi semakin bingung, gerbong mana yang akan mereka naiki, bergabung dibarisan penerima, atau penolak. Menanggapi perbedaan pandangan dalam tubuh ormas keagamaan, kini mulai muncul komitmen-komitmen ormas keagamaan untuk tetap menjaga lingkungan meskipun terjun ke bisnis tambang. Komitmen tersebut tentunya bertujuan untuk menyatukan suara umat dan anggotanya, sekaligus meyakinkan mereka bahwa ormas keagamaan layak dan mampu mengemban amanah itu. Melihat komitmen yang terkesan template dan sering sekali digaungkan oleh para pelaku tambang, sulit rasanya bagi umat dan masyarakat untuk percaya atas segala komitmen yang digaungkan. Kita sebagai masyarakat akhirnya hanya bisa menanti sambil mengawasi kiprah mereka dalam dunia pertambangan yang sangat menggiurkan.
Sebagai manusia, kita harus mengetahui bahwa hubungan yang harmonis tidak hanya mengarah pada hubungan yang baik dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama manusia dan lingkungan. Namun, dalam praktiknya, seringkali aspek hubungan horizontal ini terabaikan, yang menyebabkan berbagai masalah ekologis yang semakin mendesak. Bencana ekologis, baik yang bersifat alami maupun yang disebabkan oleh aktivitas manusia, semakin memperlihatkan betapa rapuhnya keseimbangan ini. Kerusakan lingkungan, dari kebakaran hutan hingga pencemaran laut, merupakan dampak nyata dari pengelolaan yang buruk dan perilaku manusia yang kurang peduli. Meskipun agama-agama serentak mengajarkan tentang pentingnya menjaga lingkungan, masih ada tantangan besar dalam implementasinya, terutama ketika aspek ekonomi dan kekuasaan terlibat, seperti dalam sektor pertambangan. Di tengah pro dan kontra mengenai peran ormas keagamaan dalam sektor pertambangan, komitmen untuk menjaga lingkungan harus tetap diutamakan. Meskipun peran serta dalam bisnis tambang mungkin menawarkan peluang ekonomi, penting bagi setiap individu dan institusi untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut tidak merusak lingkungan.
Akhirnya, untuk menjaga keberlanjutan bumi dan kesejahteraan umat manusia, diperlukan kesadaran dan tindakan nyata dari semua pihak. Agama, sebagai sumber etika dan moral, harus memandu dan menjadi kontrol dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kesadaran ini harus ditanamkan dalam setiap aspek kehidupan kita agar bumi tetap menjadi tempat yang layak huni untuk generasi mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H