Dalam agama Konghucu pun terdapat ayat-ayat mengenai lingkungan hidup yang sangat banyak. Nabi-nabi dalam agama Khonghucu misalnya, termasuk Nabi Kongzi sendiri dan Mengzi cicit muridnya, banyak bicara soal lingkungan hidup yang dikaitkan dengan ajaran Xiao atau Laku Bakti dan tanggung jawab seorang manusia.
Lihatlah betapa agama-agama sarentak dan satu suara dalam persoalan lingkungan hidup. Meskipun berbeda dalam pintu aqidah, tetapi dalam urusan lingkungan hidup setiap agama memiliki dalil dan ajaran yang kuat serta tujuan yang sama. Tema-tema seputar lingkungan hidup seyogyanya memang menjadi tema kajian arus utama dalam beragama sehingga timbul kesadaran umat akan pentingnya merawat alam sebagai tempat tinggal kita bersama. Pesan moral agama dalam konteks merawat alam perlu lebih disuarakan oleh tokoh-tokoh agama dan institusi lembaga agama sehingga agama akan menjadi spirit penguat dan menjadi kontrol bagi umat beragama agar tidak melampaui batas dalam mengeksploitasi lingkungan.
Lalu bagaimana jika para pemuka agama diberikan kewenangan untuk mengelola berbagai bisnis di sektor pertambangan yang memungkinkan mereka untuk melakukan eksploitasi terhadap lingkungan? Seperti yang ramai akhir-akhir ini terkait keputusan pemerintah yang mengundang pro-kontra dari seluruh lapisan masyarakat terkhusus para aktivis lingkungan dan umat beragama di Indonesia. Keputusan itu menyebutkan bahwa organisasi kemasyarakatan ("ormas keagamaan") melalui PP 25/2024 bisa melakukan kegiatan usaha pertambangan. Adapun, yang dimaksud dengan "ormas keagamaan" adalah organisasi kemasyarakatan keagamaan yang salah satu organnya menjalankan kegiatan ekonomi. Pemerintah bertujuan melakukan pemberdayaan ekonomi anggota dan kesejahteraan masyarakat/umat dengan keputusan tersebut.
Di luar kacamata politik, keputusan ini sebenarnya baik, karena selain dituntut untuk memiliki moral sosial, para pemuka agama pastinya mengerti dan paham bahwa ajaran agama senantiasa bertindak sebagai kontrol atas setiap langkah dan kebijakan mereka pada bisnis-bisnis yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Namun, keputusan ini juga bisa menjadi pisau bermata dua bagi jajaran ormas keagamaan. Di satu sisi, pemberdayaan ekonomi anggota dan kesejahteraan masyarakat/umat akan meningkat. Akan tetapi di sisi lain, ormas keagamaan akan dianggap menjadi bagian dari para perusak lingkungan hidup. Karena sejatinya bisnis pertambangan dengan atau tanpa adanya pemulihan lingkungan pun, tetap memiliki daya rusak yang berbahaya pada lingkungan. Jadi, ketika salah satu ormas keagamaan menerima keputusan pemerintah dan mengelola bisnis pertambangan, sama saja mereka telah ikut andil dalam proses perusakan lingkungan hidup. Pada akhirnya, dalil-dalil agama pun saling bersahutan. Ada dalil yang mendukung keputusan mengelola tambang dan ada pula dalil-dalil yang menjadi dasar penolakan pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan. Umat menjadi semakin bingung, gerbong mana yang akan mereka naiki, bergabung dibarisan penerima, atau penolak. Menanggapi perbedaan pandangan dalam tubuh ormas keagamaan, kini mulai muncul komitmen-komitmen ormas keagamaan untuk tetap menjaga lingkungan meskipun terjun ke bisnis tambang. Komitmen tersebut tentunya bertujuan untuk menyatukan suara umat dan anggotanya, sekaligus meyakinkan mereka bahwa ormas keagamaan layak dan mampu mengemban amanah itu. Melihat komitmen yang terkesan template dan sering sekali digaungkan oleh para pelaku tambang, sulit rasanya bagi umat dan masyarakat untuk percaya atas segala komitmen yang digaungkan. Kita sebagai masyarakat akhirnya hanya bisa menanti sambil mengawasi kiprah mereka dalam dunia pertambangan yang sangat menggiurkan.
Sebagai manusia, kita harus mengetahui bahwa hubungan yang harmonis tidak hanya mengarah pada hubungan yang baik dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama manusia dan lingkungan. Namun, dalam praktiknya, seringkali aspek hubungan horizontal ini terabaikan, yang menyebabkan berbagai masalah ekologis yang semakin mendesak. Bencana ekologis, baik yang bersifat alami maupun yang disebabkan oleh aktivitas manusia, semakin memperlihatkan betapa rapuhnya keseimbangan ini. Kerusakan lingkungan, dari kebakaran hutan hingga pencemaran laut, merupakan dampak nyata dari pengelolaan yang buruk dan perilaku manusia yang kurang peduli. Meskipun agama-agama serentak mengajarkan tentang pentingnya menjaga lingkungan, masih ada tantangan besar dalam implementasinya, terutama ketika aspek ekonomi dan kekuasaan terlibat, seperti dalam sektor pertambangan. Di tengah pro dan kontra mengenai peran ormas keagamaan dalam sektor pertambangan, komitmen untuk menjaga lingkungan harus tetap diutamakan. Meskipun peran serta dalam bisnis tambang mungkin menawarkan peluang ekonomi, penting bagi setiap individu dan institusi untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut tidak merusak lingkungan.
Akhirnya, untuk menjaga keberlanjutan bumi dan kesejahteraan umat manusia, diperlukan kesadaran dan tindakan nyata dari semua pihak. Agama, sebagai sumber etika dan moral, harus memandu dan menjadi kontrol dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kesadaran ini harus ditanamkan dalam setiap aspek kehidupan kita agar bumi tetap menjadi tempat yang layak huni untuk generasi mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H