Ketika Nabiyullah Muhammad SAW dan kaum Muslimin hijrah dari Makkah ke Madinah al-Munawwarah, sejatinya kafir quraisy senang dengan kepergian mereka. Sebab kalau kita bayangkan Rasulullah dan kaum Muslimin dianggap telah merusak tatanan sosial masyarakat, memecah belah kaum quraisy, memisahkan ayah dan anaknya, kakak dengan adiknya dan seterusnya. Sehingga ketika Rasulullah dan kaum Muslimin hijrah ke Madinah al-Munawwarah, mereka mestinya menganggap semua urusan telah selesai, urusan yang mengacaukan tatanan sosial masyarakat mereka telah hilang dan tiada.
Demikianlah kalau kita berpikir sederhana. Tetapi pada kenyataannya kafir Quraisy tidak sesederhana itu dalam berpikir. Mereka tidak senang dengan hijrahnya Rasulullah dan kaum Muslimin. Setelah gagal menghalangi proses hijrah dan menangkap Rasulullah, mereka terus berusaha untuk bisa mengusir kaum Muslimin yang ada di Madinah kala itu. Dan yang paling keras permusuhannya pada Rasulullah dan kamu Muslimin adalah Abu Jahal. Bahkan dia kemudian memimpin Perang Badar sebagaimana yang kita ketahui.
Pertanyaan yang muncul, mengapa kafir quraisy tidak senang dengan kepergian Rasulullah dan kaum Muslimin ke Madinah? Mengapa mereka tidak puas dengan kepergian musuh mereka?
Karena mereka berpikir jangka panjang, mereka berpikir politik dan bukan berpikir sesaat dengan menikmat euforia kemenangan yang masih bersifat fana. Abu Jahal dan kawan-kawan berpikir delapan-sepuluh tahun kemudian, keberadaan Rasulullah dan kaum Muslimin di Madinah jika dibiarkan mereka akan membesar, mereka akan berkuasa, dan tidak mustahil suatu saat mereka akan menyerang Makkah al-Mukarromah dan mengambil alih segala sesuatu yang ada di Makkah. Ini merupakan prediksi dan pemikiran mereka, sehingga mereka tidak cukup puas bahkan sama sekali tidak senang dengan hijrahnya Rasulullah dan kaum Muslimin ke Madinah. Oleh sebab itu mereka terus berusaha untuk menyingkirkan dan mengusir kaum muslimin dari Madinah. Maka terjadilah Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khondaq dan berbagai perselisihan lainnya antara kaum muslimin dan kafir quraisy sebagaimana yang telah kita ketahui.
Disinilah kita bisa belajar bahwa sejatinya kaum Muslimin harus berpikir jangka panjang dalam menentukan arah gerak di berbagai segmen kehidupan. Berpikir jangka panjang dalam arti ini merupakan jenis kegiatan berpikir yang paling tinggi sekaligus paling sulit. Dikatakan paling tinggi karena ia membutuhkan kemampuan melihat berbagai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kedepannya. Berpikir jangka panjang merupakan aktivitas berpikir atas segala hal dan segala peristiwa, di samping melibatkan semua jenis aktivitas berpikir yang lain seperti berpikir pada teks-teks pemikiran, teks-teks hukum, dan sebagainya. Karenanya, berpikir jangka panjang mengenai berita dan peristiwa politik disebut sebagai jenis berpikir tertinggi.
Berpikir jangka panjang juga dikatakan sebagai jenis kegiatan berpikir paling sulit karena tidak adanya kaidah atau patokan yang dapat digunakan di dalamnya. Kaidah-kaidah berpikir akan muncul beriringan dengan berbagai kondisi yang ada. Bahkan, hampir tidak dapat dikaitkan dengan satu kaidah pun.
Coba kita bayangkan jika kaum kafir Quraisy tidak berpikir jangka panjang dan cenderung merayakan euforia kemenangan sesaat dengan keberhasilan menyingkirnya kaum Muslimin dari bumi Mekkah. Bisa saja akan kita dapati betapa cepat dan pesatnya pertumbuhan kaum Muslimin di Madinah. Dan bukan tak mungkin kaum Muslimin akan melakukan fathu Makkah tanpa harus menunggu selama delapan tahun lamanya. Dengan berpikir jangka panjang, kaum kafir Quraisy berusaha sekuat tenaga menekan pertumbuhan dan eksistensi kaum Muslimin di Madinah. Mereka mencoba peruntungan dengan menyulut berbagai pertikaian hingga peperangan. Jalur diplomasi pun di tempuh hingga memunculkan kesepakatan Hudaibiyah. Meskipun pada akhirnya kaum kafir Quraisy tetap kalah juga, tetapi setidaknya dengan berpikir politis, mereka bisa menahan dan memiliki kesempatan untuk menang serta memaksa kaum muslimin untuk menunggu selama kurang lebih delapan tahun untuk benar-benar menaklukkan mereka.
Ingatkah kita pada kegemilangan kemenangan kaum muslimin pada hari fathu Makkah? Kemenangan itu tentunya memancing euforia yang begitu besar dari dari kaum muslimin. Ditambah lagi momentum perayaan hari raya idul fitri yang dilaksanakan pertama kali di Makkah menambah rasa suka cita kaum muslimin saat itu. Mayoritas kaum Muslimin saat itu melupakan perjuangan yang harus dipertahankan momentumnya. Mayoritas kaum Muslimin merasa telah mendapatkan apa yang selama ini dicapai. Seperti seorang bayi yang telah kenyang dengan mentega dan susu, kaum Muslimin seperti terlelap dan sedikit saja diantara mereka yang berpikir jangka panjang. Maka tak lama setelah itu, pecahlah pertempuran Hunain. Persiapan pasukan kaum Muslimin di perang Hunain begitu sempurna. Namun pada saat yang sama, euforia kemenangan fathu Makkah dan hawa nafsu menggerogoti jiwa mereka. Kesiapan fisik dan jumlah pasukan yang banyak tak menjamin kemenangan. Oleh karenanya, tak heran bila kaum Muslimin lari tunggang-langgang dan terpecah di lembah Hunain saat tiba-tiba pasukan musuh menggempur. Akan tetapi, kaum Muhajirin dan Anshar mendengar teriakan Rasulullah, hingga mereka kembali dan membentengi Rasulullah. Setelah itu, mereka terjun lagi dalam peperangan dengan penuh keberanian. Karena kaum Muslimin kembali berperang, inilah yang menjadikan mereka meraih kemenangan. Ketenangan kembali mengisi hati mereka dan Allah mengalahkan musuh-musuh mereka secara hina.
Sedikit saja terlena dan tidak berpikir secara jangka panjang akan memperbesar peluang kehancuran suatu kaum. Hampir saja pasukan yang besar dengan perlengkapan yang sempurna, terkalahkan dengan pasukan yang sangat sederhana dengan jumlah yang kecil hanya karena tidak berpikir jangka panjang. Maka disinilah letak pelajaran sesungguhnya, bahwa pertolongan Allah sangat linier dengan usaha dan langkah-langkah pemikiran seorang hamba. Oleh sebab itu, selama itu baik dan positif, tak perlu malu dan gengsi untuk mengambil pelajaran dari siapapun, bahkan musuh kita sekalipun. Bukankah Eropa mendapat secercah cahaya dan berhasil mentas dari kegelapannya berkat mempelajari sesuatu dan mengadopsi pemikiran lawannya? Begitulah sepatutnya generasi muda Muslim berpikir.