Mohon tunggu...
Fuad Nur Zaman
Fuad Nur Zaman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pembelajar dan Penggemar Sejarah

Imam al-Ghozali rahimahullah pernah mengatakan "kalau engkau bukan anak raja atau putra ulama besar, maka menulislah!"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fathu Makkah: Merancang Kemenangan dengan Teliti dan Berkesan (Sebuah Analisis Hikmah yang Berserakan)

1 Februari 2024   01:45 Diperbarui: 5 Maret 2024   05:32 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diantara sekian banyak kaum muslimin yang sedih dan gelisah adalah sahabat Hatib bin Abi Baltaah. Kesedihan dan kegelisahan sahabat Hatib ini bukan karena tidak suka pada seruan Rasulullah, tetapi murni karena kekhawatiran Hatib pada sanak kerabatnya di Makkah. Kekhawatiran itu akhirnya memuncak dan telah melewati batasnya. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Hatib bin Abi Baltaah menyuruh seorang wanita bernama Sarah untuk mengirim surat kepada sanak keluarga Hatib yang berada di Makkah. Tujuannya adalah supaya sanak kerabat Hatib bisa bersembunyi dan menyelamatkan diri. Namun, semua itu segera diketahui oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang lain. Rasulullah SAW melihat ada seorang wanita yang berlari mendahului kaum muslimin. Untuk memastikan itu, Rasulullah SAW memerintahkan Ali bin Abi Thalib, Zubayr bin Awwam dan Miqdad bin Amr al-Bahrani untuk mengejarnya ke wilayah Raudhah Khakh. Setelah tertangkap akhirnya Sarah dan Hatib bin Abi Baltaah di interogasi oleh Rasulullah SAW dan beberapa sahabatnya. Salah satu sahabat Rasulullah SAW yang mulia, Umar bin Khattab RA berkata kepada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah, izinkanlah saya untuk memenggal leher orang ini, karena dia telah munafik" Rasulullah SAW pun menjawab, "laa, fa innahu min ahli Badr (tidak, karena sesungguhnya Hatib adalah ahlu Badr)." Veteran Perang Badar (ahlu Badr) memiliki beberapa kemuliaan dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa mereka tidak akan masuk kedalam neraka, di riwayat yang lain bahkan disebutkan bahwa mereka akan diampuni dari segala dosa dimasa yang akan datang. Kemuliaan-kemuliaan tersebut tentunya sangat pantas didapatkan oleh veteran Perang Badar karena tekanan (pressure) yang diterima mereka saat itu sangatlah berat dan tidak semua kaum muslimin mampu berdiri tegak membela Islam di masa-masa itu. Namun, perlu diingat bahwa riwayat-riwayat tentang kemuliaan veteran Perang Badar tersebut sarat akan perbedaan dalam penafsiran makna, terutama dalam ungkapan Rasulullah SAW kepada ahlu Badr, "berbuatlah sesuka kalian karena sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian." Ungkapan ini tentunya menimbulkan perbedaan dalam penafsirannya. Apalagi hal ini juga bersamaan dengan proses turunya ayat pertama dari QS. Al-Mumtahanah. Perbedaan yang paling mencolok adalah tentang kalimat "Perbuatlah sesuka kalian karena sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian." Abu al-Ula Abdurrahman, penyusun kitab tuhfatul ahwadzi berpendapat: "Tarajjiy (ungkapan semoga atau barangkali) dalam firman Allah Azza wa Jalla dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam itu untuk suatu yang pasti terjadi." Sedangkan Ibnu Hajar rahimahullah berpendapat: "Ada kesulitan dalam memahami perkataan: "Berbuatlah sekehendak kalian!" dzahir ucapan ini menunjukkan kebolehan melakukan apa saja, dan ini bertentangan dengan ikatan syari'at. Anggapan ini dibantah dengan mengatakan bahwa maksud perkataan itu adalah pemberitahuan tentang suatu yang telah lewat artinya semua perbuatan yang telah kalian lakukan itu telah diampuni. Ini dikuatkan dengan (gaya pengungkapannya), seandainya itu untuk perbuatan-perbuatan di masa yang akan datang, tentu Allah Azza wa Jalla tidak menggunakan kata kerja bentuk lampau." Di balik perbedaan-perbedaan pandangan terkait dengan riwayat-riwayat tersebut, Ahlu Badr tetaplah Ahlu Badr, mereka adalah orang-orang istimewa yang mendapat berbagai kemuliaan disisi Allah dan RasulNya.

Rasulullah SAW kemudian memaafkan Hatib bin Abi Baltaah. Keputusan Rasulullah tersebut bukan hanya saja bersandar pada kemuliaan-kemuliaan para veteran Perang Badar, tetapi lebih dari itu, alasan Hatib bin Abi Baltaah dapat diterima, dan Rasulullah SAW mengkategorikan kesalahan Hatib sebagai suatu kesalahan teknis yang manusiawi (seseorang yang khawatir dengan sanak kerabatnya) dan bukan kesalahan terhadap prinsip (misi dakwah dan agama).

Kaum muslimin kemudian melanjutkan perjalanan ke Makkah sekitar delapan sampai sepuluh hari. Pada saat kaum muslimin akan sampai di wilayah Makkah, Rasulullah SAW pun menyeru kepada kaum muslimin, "batalkanlah puasa kalian!" Menurut sebuah riwayat, Ramadhan pada peristiwa Fathu Makkah dibagi menjadi tiga bagian. Diawal keberangkatan, kaum muslimin melakukan puasa secara penuh, kemudian pada separuh perjalanan, Rasulullah SAW memperbolehkan puasa dan boleh juga tidak, sedangkan pada saat akan sampai di Makkah, Rasulullah SAW memerintahkan kaum muslimin untuk membatalkan puasanya. Semua itu dilakukan Rasulullah SAW bukan tanpa alasan, selain karena udzur safar, kemungkinan kaum muslimin juga akan berperang. Maka dari itu Rasulullah SAW menyeru kepada kaum muslimin agar membatalkan puasanya. Tak lama kemudian setelah memberikan seruan tersebut, Rasulullah SAW mengambil gelas dan minum beberapa teguk air yang kemudian diikuti oleh kaum muslimin.

Rasulullah SAW menerapkan strategi pengepungan saat akan memasuki Makkah. Pada awalnya Rasulullah SAW merencanakan pengepungan melalui tiga penjuru. Tetapi Rasulullah merubahnya menjadi pengepungan melalui lima penjuru. Rasulullah SAW memutuskan akan masuk melalui jantung Makkah dan langsung menuju pusatnya, Khalid bin Walid di tempatkan pada posisi yang paling ujung dan harus memutari bukit untuk masuk ke Makkah, sedangkan dari kiri dan kanan ada sahabat Zubayr bin Awwam, Abu Ubaidah bin Jarrah dan Saad bin Ubadah al-Anshori yang merupakan satu-satunya sahabat dari Anshor yang ditunjuk oleh Rasulullah sebagai salah satu panglima kaum muslimin saat akan memasuki Makkah. Tetapi Saad bin Ubadah al-Anshori ini menunjukkan sifat yang kurang baik di hadapan Rasulullah dan sahabat-sahabat yang lain. Saad bin Ubadah melontarkan kata-kata yang terkesan jumawa dan mengarah kepada kesombongan. Saad mengatakan "kita akan menang, kita bantai mereka." Mendengar perkataan itu, Rasulullah SAW memutuskan untuk mengganti Saad bin Ubadah. Sifat jumawa dan perkataan-perkataan yang kurang baik tersebut akan merusak strategi dan rencana Rasulullah SAW yang menginginkan pembebasan Makkah berjalan dengan damai dan tidak menumpahkan darah setetespun. Inilah kejelian dan kebijaksanaan dari Rasulullah SAW. Beliau selalu menempatkan sesuatu pada porsinya. Siapa yang meragukan kemuliaan sahabat Saad bin Ubadah? Beliau adalah sesepuh kabilah Khazraj, delapan puluh lebih rumahnya di Madinah, disumbangkan untuk kalangan Muhajirin yang hijrah, sungguh mulia keutamaan sahabat Rasulullah ini. Tetapi dalam kasus ini, tetap memilih seorang Saad bin Ubadah adalah keputusan yang salah dan sangat membahayakan, maka Rasulullah SAW menggantinya. Beliau menggantinya dengan Qais bin Saad bin Ubadah, putra dari Saad bin Ubadah itu sendiri. Sekali lagi, disinilah letak kecerdasan dan kebijaksanaan Rasulullah SAW. Beliau mengganti Saad bin Ubadah dengan anaknya sendiri supaya Saad bin Ubadah lebih menerima dan legowo serta tidak tersinggung dengan keputusan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW.  

Maka masuklah Rasulullah SAW beserta kaum muslimin ke Makkah. Makkah pun tunduk dan takluk tanpa pertumpahan darah sama sekali. Rasulullah kemudian menghampiri hajar aswad dan menciumnya, kemudian beliau memerintahkan Bilal bin Rabbah untuk naik ke atas Ka'bah guna mengumandangkan adzan. Rasulullah pun masuk kedalam Ka'bah dan sholat bersama dua orang sahabat, yakni Usamah bin Zaid dan Utsman bin Thalhah (pemegang kunci ka'bah). Hari itu adalah hari pembebasan Makkah, dimana dua ribu orang (dipimpin Abu Sufyan yang terlebih dahulu masuk Islam) berkumpul dihadapan Rasulullah SAW.  Beliau kemudian bertanya kepada mereka, "yaa ma'sarol quraisy, ma tadhunnuna inni fa'ilun bikum? (wahai sekalian kaum Quraisy, apa yang seharusnya aku lakukan untuk kalian?)" Pertanyaan ini seakan-akan menguliti perbuatan jahat dan keji yang pernah dilakukan oleh kafir Quraisy kepada Rasulullah SAW. Kaum kafir Quraisy merasa pertanyaan Rasulullah ini sebagai tanda akan melakukan balas dendam kepada mereka yang dulu telah menghinakan Islam. Dengan penuh rasa takut dan pasrah, kaum Quraisy serentak berkata, "yaa Muhammad, anta akhun karim, wa ibnu akhin karim, (wahai Muhammad, kamu adalah saudara kami yang mulia, kamu adalah anak dari saudara kami yang mulia.)"  Jawaban tersebut sangat naif didengar, dan bisa dipastikan bahwa hal tersebut hanya akan dilakukan oleh mereka (kafir Quraisy) pada saat terpojok. Tetapi Rasulullah SAW berbeda, beliau teguh akan prinsipnya, melupakan sakit hatinya, dan tetap pada tujuan awalnya untuk membebaskan Makkah tanpa darah. Rasulullah pun berkata kepada mereka (kafir Quraisy) "saya akan melakukan apa yang telah dilakukan Yusuf AS". Apa kata Yusuf AS dalam al-Qur'an? "Laa tatsriba alaikumul yauma, (hari ini tidak ada balas dendam/hari ini tidak ada cercaan bagi kalian) QS. Yusuf ayat 92" 

Demikianlah Rasulullah SAW mewujudkan suatu cita-cita yang besar. Dengan segala pertimbangan yang matang, dan rencana yang terstruktur, beliau mampu menempatkan dirinya sebagai seorang pemimpin yang bijaksana dan seorang negarawan yang teguh akan prinsip-prinsip yang benar. Beliau mengajarkan kepada kita bahwa untuk meraih suatu hal yang besar, harus dimulai dengan perencanaan yang matang dan terstruktur (by design). Iman dan Taqwa adalah pondasi utamanya, sedangkan perencanaan yang matang dan keteguhan pada prinsip yang benar adalah ikhtiar yang sempurna.

Semoga, analisis hikmah dari sejarah peristiwa Fathu Makkah ini dapat bermanfaat dan mampu mengurai apa-apa yang belum pernah kita ketahui sebelumnya. Penulis mencoba untuk memaparkan substansi-substansi yang dianggap angin lalu, tetapi hikmahnya begitu melimpah. Ibaratnya berserakan, tapi bukan sampah ataupun dedaunan, melainkan hikmah yang berserakan. Mari kita ambil, kita dalami, amalkan, kemudian sampaikan.

Fuad Nur Zaman (Penggemar Sejarah)

Sumber yang dipakai:

  • Al-Muqaddimah karya Abu Zaid 'Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun al-Hadhrami
  • Sirah Nabawiyah karya Syaikh Safiyurrahman al-Mubarakhfuri
  • Muhammad sang Negarawan (Belajar Kepemimpinan Politik dari Nabi) karya Tohir Bawazir
  • Tuhfatul Ahwadzi karya Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri
  • Manhaj Haraki jilid 1 karya Syaikh Munir Muhammad al-Ghadbani

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun