Mohon tunggu...
Cholwan Fuad
Cholwan Fuad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menjadi manusia yang bermanfaat

Riang dan gembira

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kita Selalu Berakhir dengan Ketidaktahuan

5 Januari 2022   01:00 Diperbarui: 5 Januari 2022   02:30 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam hari yang tampak semakin gelap gulita, bulan dan bintang-bintang yang enggan untuk menampakan keberadaanya, disambut dengan tiupan angin yang membelai pepohonan di sudut kota. 

Pukul 24.00 WIB menandakan telah berganti hari, suara bising kendaraan mulai sayup terdengar. Lampu-lampu jalanan yang mulai nampak gemerlap, seumpama cahaya harapan. 

Para pedagang kaki lima mulai bergegas merapihkan gerobaknya, pelanggan yang mulai kehabisan percakapan, dan masih ada juga yang bertahan, entah percakapan seperti apa yang menjadikan meraka bertahan dalam lingkaran. 

Dari sekian pelanggan yang sedang asik nongkrong, aku dan bersama temanu lebih memlilih agak jauh dari keramaian, dengan sedikit terselimuti cahaya.

 Sebatas nongkrong itu yang kita fikirkan, setelah lelah hilir mudik dari pagi sampai siang mengejar yang nampak sukar, selepas sore kita berkunjung terlebih dahulu ke rumah teman yang sedang berkabung. 

kemudian sebelum pulang, kita menyempatkan duduk sejenak di angkringan alun-alun pandeglang untuk melanjutkan percakapan yang belum usai. Memesan satu gelas kopi untuk dinikmati berdua, dengan sebungkus roko surya setidaknya cukup menemani untuk menghangatkan malam. 

Saling membuka cerita mulai dari kondisi keluarga, Pendidikan, beban hidup, sampai dengan obrolan seputar asmara, nampaknya juga tidak terlewatkan. Kita beradu nasib, layaknya kontes lomba, siapa yang menyedihkan malam ini diantara kita berdua, saling sahutan-sahutan menanggapi cerita. 

Temanku memulai percakapan terlebih dahulu, biasa… sebagai kawan dekat tentu percakapan apa yang akan dimulai pasti kalau bukan keluarga, ku persingkat dalam cerita ini intinya permasalahan keluarga yang belum usai.

 Giliranku bercerita tentang keluarga, kuceritakan bagaimana kondisi keluargaku dengan rinci dan seksama, agar jelas bahwa inilah kondisi keluargaku, semakin malam rupanya semakin menarik kita bercerita.

     Setelah usai berbicara keluarga, kita mulai dengan problematika organisasi, aku mulai tampak kurang tertarik dengan kondisi masalah yang sama, sedikit tertarik untuk menyimak selebihnya hanya sekedar menjadi pendengar yang baik, tapi tetap aku dengar siapa tau ada hal-hal yang baru selepas kepulanganku. 

Tertawa kecil, tidak karuan nampak ekspresi yang terlukis diwajah kita, dengan segudang problematika yang tidak pernah usai menjadikan kita seperti seenggok daging yang paling pelik dalam perkara hidup. 

Setelah itu, kita bercerita tentang seputar kampus, judul skripsi yang belum pasti, mata kuliah yang belum selesai, kita sama-sama belum bergairah dalam menyelesaikan persoalan pendidikan. 

Hal yang paling menarik dari rentetan tema percakapan malam itu adalah tentang hubungan asmara, kita saling mewajarkan di usia yang nampak tanggung berbicara asmara, menjadi hidangan penutup untuk kita bahas. 

Temanku lebih banyak bercerita, sedangkan aku intinya selalu gagal dalam soal perkara ini. 

Harapan kita berdua hari ini, bukan lagi persoalan fisik yang utama, namun butuh sandaran yang menopang kita untuk berjalan dalam sekelumit persoalan hidup. sederhana kita berbicara asmara, nampak sudah muak dengan permainan yang kita buat sendiri, intinya kita butuh yang pasti.

     Selepas itu aku mulai bercakap terhadap temanku, “kayanya untuk mengabadikan ini perlu kita catat dalam sejarah bahwa ada sepasang pemuda yang sedang meraba masa depan mereka seperti apa”. 

Dahulu kita saat-saat menjadi anak kecil yang hanya berfikir main, makan dan tidur sempat berkhayal menjadi orang dewasa, berharap kebebasan sepenuhnya tanpa diatur keluarga tanpa harus pulang sebelum jam 10 malam, saat ini khayalan yang sudah jelas di depan mata kita nampak berbanding terbalik apa yang kita bayangkan.

 Kalau tuhan mengijinkan aku untuk memilih, lebih baik menjadi anak kecil daripada menjadi orang dewasa. 

Sekilas, teringat sampul buku mas Phutut Ea “Hidup ini brengsek dan kita dipaksa untuk menikmatinya”, rentetan buku yang ingin aku baca nampak relevansinya telah terasa. 

Menjadi dewasa ternyata tidak mudah, banyak waktu-waktu yang terbuang demi tujuan yang belum jelas, istirahat, bersantai, berbincang bersenda gurau bersama keluarga, teman sebaya, nampak seperti barang langka. 

Aku sendiri, lebih suka banyak menyendiri, berbincang dengan diri sendiri dan mulai enggan dengan obrolan yang menurutku hanya memangkas waktu istirahat, semuanya terbilang sia-sia.

     Teman-teman yang mulai terhitung, nampaknya semakin jelas bahwa kedewasaan membuat kita harus mulai bergegas untuk merancang masa depan. 

Semua kebersamaan yang kita bayangkan sebatas obrolan umat, selepasnya sibuk dengan urusan masing-masing. 

Sekelumit pemikiran tidak karuan, sering menjadi penganggu tidur, sialnya itu bukan terjadi sekali atau dua kali namun berkali-kali dan akhirnya menjadi teman penghantar tidur.

 Akhirnya aku menjadi golongan orang-orang nokturnal, orang yang lebih suka menikmati waktu malam daripada harus menyambut mentari pagi.

 Sampai kapan hal-hal ini akan menjadi hidangan utama? Entah, kita selalu berakhir dengan ketidaktahuan.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun