Sepertinya proses persidangan SAT (Syafrudin Arsyad Temenggung) luput dari perhatian masyarakat. Ada beberapa alasan. Utamanya adalah kita berada Tahun Politik. Kemudian, sejujurnya kasus ini sudah terlalu lama. Namun oleh pihak yang berwenang seolah-olah baru terjadi. Padahal masalah BLBI sudah terjadi puluhan tahun. Coba saja lakukan survei, jajak pendapat, dan yang sejenisnya kepada para responden yang terdiri dari generasi millenial pasti mereka tidak tahu.
Di sisi lain, pihak berwenang sangat bersemangat dalam menggulirkan terus kasus BLBI-BDNI. Mayoritas para ahli sudah bagaikan berbusa membahas, mendiskusikan, dan bahkan menseminarkan kasus BLBI-BDNI. Bahkan sudah terbit puluhan artikel, bahkan ratusan naskah. Juga sudah ada beberapa buku yang diterbitkan  buku khusus. Kembali mayoritas yakin, percaya, dan setuju bahwa kasus sudah selesai terus saja dimainkan, digoreng, dan dipaksakan entah untuk kepentingan siapa. Yang pasti ini bagaikan pepatah, jauh panggang dari api. Masyarakat umumnya tidak peduli dengan kasus ini.  Boleh jadi hanya segelintir orang yang berminat, Entah untuk apa dan siapa.
Oleh karena kasus ini sudah lama namun tetap digelar, tidak salah ada yang menyebutnya sebagai kasus  daur ulang.  Celakanya, walau tetap digelar tidak ada yang merupakan aspek baru, Para ahli sudah ,menyebutkan bahwa kasus BLBI-BDNI sudah selesai, tetapi dianggap tidak selesai. Aneh tapi nyata.
Mau aspek lagi yang dibahas, dikaji, dan ditelaah. Sementara  sudah menjadi rahasia umum bahwa ujungnya kasus kasus BLBI-BDNI dengan sasaran khusus Syamsul Nursalim dan isterinya Ithih yamsul Nursalim. Padahal kewajiban mereka sudah selesai. Jadi, apa lagi?
Sementara, kasus SAT yang baru selesai dengan vonis 13 tahun, langsung SAT minta naik banding. Wow, babak berikutnya akan mulai. Pasti SAT tidak merasa bersalah. . Waduh, babak berikutmya pasti tetap menarik bagi yang berkepentingan di pihak pemerintah. Kalau masyarakat awam pasti tidak peduli.
Yusril?
Yusril Ihza Mahendra, sebagai pengacara kembali suara keras di pengadilan sebagai halnya cirinya sebagai pengacara kondang. Kali ini, Yusril muncul di pengadilan kasus SAT. Yusril dengan tegas menolak kehadiran jaksa Komisi Peberantasan Korupsi (KPK) Alasan utamanya adalah hadirnya ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (KPK) pada sidang dugaan korupsi bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Dalam hal ini, kehadiran I Nyoman Waram sebagai ahli karena yang bersangkutan pernah menjadi auditor BPK yang pernah mengaudit kasus BLBI-BDNI. Keberatan Yusril karena yang bersangkutan sendiri yang melakukan audit. Namun, menurut Yusril I Nyoman Wara terkait dengan alat bukti sebelumnya. Oleh karena itu, ini berpotensi dualisme.
Atas dasar itu, Yusril meminta majelis hakim mengklarifikasi kepada jaksa penuntut umum dari KPK terkait I Nyoman Wara statusnya hadir sebagai sebagai saksi atau ahli pada persidangan itu.  Dalam  masalah ini, Majelis Hakim Yanto menyampaikan keberatan tim kuasa SAT bisa dimasukkan ke dalam pembelaan. Hanya saja, Yusril tetap meminta persoalan tersebut sebelum ahli diambil sumpahnya.
Sangat menarik ketika Yusril menyebut persidangan SAT sebagai tragedi pengadilan. Ini karena audit hasil kerja I Nyoman Wara dituangkan sebagai bentuk laporan yang kemudian menjadi laporan resmi BPK sekaligus sebagai dokumen.Dampaknya dokumen tertulis tersebut memiliki fungsi ganda surat keterangan ahli dan alat bukti surat..
Pendapat ahli:
Belum lama ini sekelompok masyarakat menerbitkan kumpulan artikel yang diberi judul Kasus BLBI Dalam Opini Para Ahli. Dari sekian banyak ahli, tercatat Bambang Subianto. yang pernah menjadi Menteri Keuangan , menurunkan tulisan  dengan judul, Syamsul Nursalim tidak dituntut lagi. Pendapat Dr. Bambang Subianto bahwa  dalam kesaksiannya sebagai Menteri Keuangan ia mengetahui dan menyetujui perjanjian MSAA-BDNI antara BPPN dengan Syamsul Nursalim pada 21 September 1998 . Pada periode ini , setelah Syamsul Nusalim memenuhi semua kewajiban dalam MSAA-BDNI . yaitu pembayaran sebesar Rp. 28.4 trilyun, maka pada tanggal 25 Mei 1999. Menteri Keuangan dan BPPN atas nama Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan dokumen penyelesaian akhir MSAA-BDNI.
Dalam tulisannya, Dr. Bambang Kesowo, sebagai mantan Mesesneg menyebutkan, bahwa Presiden Megawati menyetujui write-off hutang para petambak. Dalam konteks ini, Bambang Kesowo yang hadir dalam rapat yang membahas penghapusan para petambak, kewajiban para petambak yang semula Rp 3.9 trilyun berlurang Rp 1.1 trilyun Rp 100 juta per petani. Jumlah penghapusan per petambak berdasarkan hitungan utang pokok Rp 20 juta dan utang modal kerja Rp 80 juta per petambak. Ini diputuskan pada rapat KKSK pada 13 Februari 2004.
Yang tidak kalah menarik adalah pernyataan Prof. dr. mahfud MD, ahli hukum tata negara. Dengan tegas, Mahfud MD mengatakan bahwa masalah BLBI telah berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, lanjut Mahfud MD bahwa pengungkapan kembali kasus BLBI tersebut jelas sekali bertentangan dengan jaminan kepastian hukum setiap warga negara Indonesia.Â
Lebih jauh menurut Mahfud MD, dalam hukum terdapat tiga prinsip yang dijadikan pijakan. Ketiga prinsip tersebut adalah kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Sementara, produk hukum yang dikeluarkan atas nama negara, maka negara wajib memberikan jaminan kepastian hukum  kepada para penerimanya. Karena tanpa kepastian hukum akan berakibat negatif terhadap iklim investasi dan ekonomi Indonesia.
Â
Opini masyarakat:
Dalam menanggapi kasus SAT, maka A. Deny Daruri, Presiden Direktur Centre for Banking Crisis (CBC) mempertanyakan keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang menghukum mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) 13 tahun penjara dengan dugaan sarat kepentingan.
Menurut A. Deni Daruri, adanya keputusan tersebut akan menimbulkan preseden buruk di masa depan. Dalam hal ini, lanjut Deni, investor pesimis dengan kepastian hukum atau penegakan hukum di Indonesia.  Deni juga mengatakan merupan suatu kejanggalan  ketika KPK atau hakim Tipikor mempersoalkan kebijakan sektor keuangan di masa lalu. Bagaimanapun KPK adalah lembaga ad-hoc  namun bisa menghukum lembaga pemerintah yang sah  dan berdasarkan undang-undang yang berlaku saat itu.
Yang juga menarik menurut Deni, keputusan pengadilan Tipikor tersebut  sangat prematur dan aneh. Mengapa demikian, karena seolah-olah kebijakan dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan penyelesaiannya baru saja terjadi. Padahal persoalan ini sudah terjadi puluhan tahun, dan sudah selesai. Celakanya lagi keputusan hakim tidak hati-hati sebab tidak mendasarkan kepada terjadinya proses BLBI serta penyelesaiannya sejak 1999. Seyogyanya hakim merujuk kepada  MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) dan adendumnya/ Wajar melihat kejanggalan semua ini, Deni mengatakan bahwa KY (Komisi Yudisial) harus memeriksa Hakim SKL BDNI.
Bagi masyarakat, pada akhirnya bertanya-tanya mengapa pengadilan tidak mendengar pendapat masyarakat dalam kasus yang dipaparkan di atas? Apalagi pendapat-pendapat tersebut berasal dari para ahli yang sangat paham dengan masalah BLBI umumnya dan BLBI-BDNI kususnya termasuk SKL (Surat Keterangan Lunas) BDNI. Â Bahkan tidak heran bahwa kasus yang sudah lama terjadi dan sudah selesai selalu dipermasalahkan dan diputar ulang pementasannya. Terlalu banyak keanehan dan kejanggalan di sini. Yang semakin aneh adalah bahwa pendapat masyarakat tidak dianggap, tidak tidak didengar, seperti angin lalu yang diabaikan. Suatu ironi dalam penegakan hukum di negara kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H