Mohon tunggu...
Ahmad Fuad Afdhal
Ahmad Fuad Afdhal Mohon Tunggu... Dosen - Ph.D.

Pengamat isu sosial

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Piala Dunia 2018, Tim-tim Besar Dikalahkan oleh Kemapanan

6 Juli 2018   15:43 Diperbarui: 6 Juli 2018   15:55 1130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejauh ini tidak kurang dari tim-tim besar telah tergusur dari Piala Dunia Rusia 2018. Argentina, Spanyol dan Jerman adalah tim-tim besar yang sudah angkat koper untuk pulang ke negara masing-masing. Bahkan tim Jerman yang merupakan juara bertahan sudah masuk kotak di penyisihan grup. Tidak heran jika seorang teman menyebutkan bahwa Rusia adalah kuburan bagi tim-tim besar. Kebetulan teman adalah pendukung fanatik Jerman.

Brazil adalah satu-satunya tim besar yang masih bertahan. Sementara itu Uruguay adalah juara Duia dua kali termasuk diPiala Dunia pertama, tim Uruguay buat saya tidak masuk tim besar. Alasan saya adalah karena prestasinya tidak terlalu istimewa walaupun merupakan langganan Piala Dunia. Sedangkan  Perancis yang baru pertama kali juara dunia pada 1998, prestasinya pernah bagus. Tapi kurang spektakuler. Apalagi liga Perancis juga terlalu banyak dilirik orang. Hana belakangan saja PSG mendongkrak reputasi Ligue 1.

 Mereka yang melakukan ramalan, prediksi,, dan analisis pasti kaget dengan bergugurannya tim-tim besar. Termasuk para bookmaker   seperti bet365. Ada yang juga yang lain  seperti Paddy Power, Ladbroke, dan William Hill.Untuk catatan di Inggris judi sepakbola adalah resmi dan legal. Sementara itu, para bandar yang bertebaran di kota-kota besar seperti Singapura, Hong Kong, Dubai, Madrid, dan London sama terkejutnya dengan tergelincirnya tim-tim besar.

Pertanyaan utama adalah mengapa tim-tim besar tumbang? Faktor-faktor apa yang menjadi penyebabnya? Apakah persiapan tim-tim besar kurang bagus? Ataukah karena tim-tim dari negara-negara yang tidak pernah diperhitungkan lebih bagus persiapannya dan lebih gigih dalam memberikan perlawanan? Bagaimana dengan faktor kejenuhan pada tim-tim besar? 

Untuk yang terakhir ini semua tahu bahwa semua liga utama Eropa baru selesai, sehingga waktu jeda bagi para pemain dirasakan kurang? Faktor psikologis boleh jadi signifikan bagi tim-tim besar khususnya pada para pemain bintang sehingga berkurang daya juangnya di lapangan hijau? Boleh jadi masih banyak pertanyaan lain yang bisa menguak ada apa di belakang bergugurannya tim-tim besar.        

Sementara itu, tim-tim besar sudah melakukan ancang-ancang untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kegagalan mereka. Bahkan mereka sudah menyiapkan rencana peremajaan skuadnya. Boleh jadi sudah ada asosiasi sepakbola negara yang mencari alternatif terhadap pelatih yang sekarang.

Faktor:       

Ada yang mengatakan bahwa merebut akan lebih mudah dibandingkan dengan mempertahankan. Dalam hal ini dalam setiap turnamen olahraga seperti Piala Dunia, setiap tim mempunyai waktu yang lama untuk menyiapkan timnya masing-masing. Lagi pula babak penyisihannya memakan sekitar 3 tahun. FIFA memberikan waktu yang cukup bagi setiap tim. Mengingat waktunya cukup panjang dengan jumlah pertandingan yang banyak relatif setiap negara akan mengerahkan kemampuan masing-masing untuk lolos babak penyisihan. Faktor-faktor seperti dana, energi, dan sumber daya manusia dikerahkan untuk menyukseskan program babak penyisihan. 

Tidak terbayang betapa besarnya pengorbanan setiap anggota tim didorong motivasi yang begitu besar. Lihat saja dengan Jerman, setelah kegagalan pada Piala Dunia Jerman 2006, DFB Asosiasi Sepakbola Jerman) , merombak sistem lama menjadi sistem pengembangan sepakbola yang baru. Untuk itu tiap klub harus memiliki program pelatihan sepakbola yang komprehensif dan terpadu. Hasilnya adalah Jerman menjadi juara Dunia pada 2014.

Usai dari Piala Dunia Brazil 2014,  segala sesuatunya berubah. Yang pasti skuad Jerman 2014 laku keras diburu oleh klub-klub besar. Tercatat pemain-pemain seperti Oezil, dan Khedira masing-masing di  klub seperti Arsenal dan Juventus. Bahkan keduanya di klub Real Madrid. Tony Kroos berlabuh di Real Madrid. Sementara Neuer dan Boateng tetap di Bayern Munchen walaupun Boateng sebentar di Manchester City. Walhasil, status mereka meningkat termasuk pendapatannya.

Menjelang Piala Konfederasi 2017, Joachim Loew memiliki strategi yang jitu dengan menyiapkan skuad muda sebagai pelapis di Piala Dunis Rusia 2017. Jerman sukses dengan menjuarai Piala Konfederasi. Secara teoritis, Loew sebetulnya enak sekali situasinya karena mempunyai tidak kurang dari 50 pemain. Artinya, akan sangat mudah memilih yang terbaik. Akan tetapi, yang namanya rencana tidak selalu mulus dalam realita. Salah satu contoh adalah cederanya Neuer, penjaga gawang nomor satu sekaligus kapten. Juga Neuer adalah kesayangannya Loew. Ini merupakan rahasia umum. Sekitar 1 bulan Neuer kembali sembuh dan siap mempertahankan tim Jerman.

Padahal untuk Piala Konfederasi ter Stegen adalah kiper tim Jerman dan berhasil. Di sini Loew tidak bisa menghilangkan favoritisme dalam pemilihan pemain dengan memilih mereka yang merupakan jawara dari Piala Dunia Brazil 2014 seperti Neuer, Tony Kroos,Oezil, Khedira, Boateng, Gomez, dan Muller. Sementara Goretzka, Brandt, Werner, ter Stegen, Gundogan dan Rudy  menjadi pelengkap saja.  Bahkan Emre Can. Mustafri,  dan Leroy Sane dilupakan. Loew tetap memaksakan kombinasi senior dan junior. Tetapi yang senior sepertinya sudah hilang tajinya.  Celakanya kedua kelompok senior dan junior seperti air dan minyak. Gagal dan hancur tim Jerman berkeping-keping.

Argentina:

Lain dengan Argentina. Tim sepakbola Argentina sudah dua kali jadi jawara Dunia. Setelah itu bisa disebut  sebagai tim yang masih mengenang masa lalu. Ini terlihat setiap striker baru muncul maka dibandingkan dengan Maradona. Sebetulnya ini salah kaprah. Sebab tiap orang punya karakteristika bermain yang spesifik. Namun,Argentina tetap dengan nostalgia masa keemasan khususnya dengan Maradona.

Terakhir muncul Leonel Messi. Pemain digadang-gadang bisa menggantikan Maradona. Beberapa kali mengikuti Piala Dunia hasilnya gagal. Yang paling dekat adalah ketika masuk final Piala Dunia Brazil 2014, kalah 0-1 dari Jerman.  Dari sini nampaknya Messi sudah enggan membela tim Argentina. Namun dengan berbagai alasan Messi kembali diminta memimpin skuad Argentina di Piala Dunia Rusia 2018. Dari awal sudah terlihat sempoyongan. Akhirnya gagal kembali. Celakanya semua orang Argentina mengharapkan Messi bisa membawa keajaiban. Sesungguhnya sepakbola sangat jauh dari keajaiban.

Masalah utama di tim Argentina adalah lini elakang dan sebagian lini tengah para pemainnya sudah uzur. Yang paling celaka adalah kipernya, sangat bermutu untuk level Dunia. Sementara di lini penyerang banyak sekali yang bagus. Hanya secara tim, Argentina tidak bisa disebut hebat. Penyebabnya adalah anak muda sangat mengidolakan Maradona. Semua anak muda yang menjadi pemain sepakbola ingin menjadi penyerang. Akhirnya lini belakang terutama kiper, kurang peminatnya.

Spanyol punya kisah yang berbeda. Dengan tiki taka, Spanyol sangat dominan di masanya. Ini terbukti dengan dua kali jadi juara Eropa dan satu kali jadi jagoan Dunia. Apa kurangnya.Liga Spanyol naik daun. Pemain-pemain Spanyol laku keras di liga-liga seperti Inggris, Jerman, dan Perancis. Klub-klub Spanyol merajai Eropa bahkan level Dunia. Tengok saja dengan Barcelona, Real Madrid, dan Atletico Madrid. Masih ada klub-klub lain seperti Sevilla dan Valencia.  Intinya semua klub Spanyol disegani kawan dan lawan.

Sayangnya terjadi kejadian yang tidak mengenakkan saat hanya beberapa hari Piala Dunia Rusia dimulai, pelatih Lopetegui tiba-tiba diganti Fernando Hiero.  Alasannya semua orang tahu karena Lopetegui menerima jabatan sebagai manajer Real Madrid.  Jawabannya sederhana, bahkan untuk kelas tarkam saja, persiapan suatu tim sedikitnya satu bulan. Hiero pasti sangat kurang waktu untuk mengkonsolidasikan skuadnya. Ini turnamen tingkat Dunia. Sejak awal sudah bisa ditebak bagaimana perjalanan akhir tim Spanyol.

Kemapanan:

Masalah kemapanan harus diterima telah hinggap di tim-tim seperti Jerman, Argentina, dan Spanyol. Kemapanan bisa terjadi pada tim manapun, khususnya tim yang pernah menjadi juara. Mental para mantan jawara masih merasa jawara padahal dari segala faktor sudah berubah.  Sayangnya ada juga pelatih yang mempertahankan mantan jawara dalam skudnya. Ini terlihat jelas, terutama Jerman.

Kebesaran,kemegahan, dan antusiasme yang diberikan masyarakat kepada setiap juara terkadang berlebihan. Secara psikologis dampaknya cukup signifikan, antara lain menyebabkan tim juara menjadi pongah. Juga ada kecenderungan untuk mengecilkan tim-tim lain. Mereka lupa bahwa tim-tim yang kalah sudah belajar dari kekalahan dan sudah membangun tim baru. Sementara mantan juara terlena. Walau belum hilang kehebatan mereka, tetap repot melawan pemain-pemain muda yang cepat dan didorong motivasi tinggi. Tengok saja dengan Boateng dan Hummel. Juga pada Ramos dan Pique. Tidak terkecuali Mascherano dan Otamendi. Mereka sudah uzur.

Untuk membangun kembali tim-tim mantan juara, langkah pertama adalah dengan melupakan, meninggalkan, dan menghapus kemapanan. Mereka harus menulis lembaran baru. Seperti buku baru yang halaman-halamannya bersih. Tinggal manajer dan para stafnya merancang skuad baru dengan melihat berbagai faktor. Dengan semangat, motivasi, dan keinginan baru masa depan yang lebih baik akan terbentang. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun