Mohon tunggu...
Ahmad Fuad Afdhal
Ahmad Fuad Afdhal Mohon Tunggu... Dosen - Ph.D.

Pengamat isu sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kasus PT Aldevco: Kenapa Harus Diserahkan ke Pemerintah?

26 Agustus 2017   02:25 Diperbarui: 27 Agustus 2017   22:39 2556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.hukumonline.com

Kasus PT Aldevco seperti lewat begitu saja karena sepertinya bukan kasus penting. Apalagi kasus ini tidak banyak diberitakan di media sosial. Boleh jadi karena tenggelam di tengah hiruk pikuknya proyek-proyek infrastruktur yang tengah digenjot pemerintah. Atau, karena nilainya tidak fantastis sehingga tidak banyak yang menoleh ke kasus ini. Padahal banyak aspek yang patut ditelaah karena pemerintah terkait dengan kasus PT Aldevco ini.

PT Aldevco atau kepanjangan dari PT Aluminium Development Corporation yang didirikan pada tahun 1988 oleh A.R. Soehoed, mantan menteri di era Presiden Soeharto, setelah puluhan tahun diserahkan kepada Pemerintah. Tindakan ini telah mengundang reaksi keras dari para ahli warisnya. Karena sebagai ahli waris mereka merasa ada pemaksaan kekuasaan dari pemerintah, padahal kasus ini belum selesai dan masih menjadi kasus perdata. Pertanyaannya adalah mengapa pemerintah mau menerima perusahaan ini sehingga menjadi milik pemerintah?

Dari pihak Pemerintah, bahwa Direktur Utama dari PT Aldevco, Dalam hal ini Middyningsih merasa bahwa tindakannya sudah benar karena ia memiliki surat pernyataan tertanggal 29 Februari 1988 yang ditandatangani oleh para pendiri PT Aldevco, yaitu A.R. Soehoed, Leon Harun Iskandar, dan Paul Sumadiono bahwa seluruh saham PT Aldevco adalah milik pemerintah. Dalam hal ini para pendiri perusahaan hanya dipinjam nama (nominee arrangement) sehingga kelak saham-saham tersebut akan diserahkan kepada pemerintah.

Sementara itu, pihak Kementerian Keuangan merasa tidak ada prosedur yang salah dalam proses peralihan kepemilikan. Utamanya adalah bahwa sudah dilakukan audit oleh BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), dan ditunjang oleh due diligenceoleh konsultan hukum.

Historis:

Pendirian PT Aldevco pada 29 Februari 1988 oleh Abdoel Raoef Soehoed adalah atas petunjuk Presiden Soeharto Eksistensi PT Aldevco tidak bisa dilepaskan dari keberadaan PT Inalum atau PT Indonesia Asahan Aluminium. Perusahaan yang didirikan pada 6 Januari 1976 adalah BUMN pertama dan terbesar Indonesia yang bergerak di bidang peleburan aluminium.

Awalnya PT Inalum statusnya adalah Penanaman Modal Asing dibentuk oleh 12 perusahaan kimia dan metal dari Jepang. Belakangan pada 9 Desember 2013 status PT Inalum sebagai PMA dicabut sesuai dengan kesepakatan yang ditandatangani di Tokyo pada 7 Juli 1975. Sejak diakuisisi pemerintah Indonesia, PT Inalum mengembangkan produksi hilir aluminium dengan mendorong terjadinya diversifikasi produk.

Kembali kepada PT Aldevco, pendiriannya adalah untuk memasarkan hasil produksi dari PT Inalum. Selain itu, PT Aldevco mencetuskan pendirian PT Asahan Aluminium Alloys (PT AAA). Perusahaan ini bergerak dalam usaha cast dan alloy di Indonesia. Dengan adanya PT AAA maka hasil produksi PT Inalum tidak dikirim dan diolah di Jepang melainkan diolah di Indonesia. Dengan cara ini terdapat nilai tambah bagi Indonesia. Sementara, PT Aldevco memiliki saham di PT AAA sebesar 50.9 %

Berkembangnya PT Inalum juga mendorong berkembangnya PT Aldevco dalam memasarkan produk dari PT Inalum. Industri aluminium Indonesia mengalami masa yang bagus. Apalagi laba dari usaha di bidang ini juga cukup menarik.

Kisruh:

Nasib PT Aldevco yang semula milik para pemegang saham kemudian menjadi milik pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Jendral Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan ternyata tidak berhenti sampai di sini. Dua orang ahli waris dari A.R. Soehoed, yang adalah anak kandung dari almarhum A.R. Soehoed. Kedua ahli waris tersebut, Conny Zahara Gondoimah dan Syarif Anwar Soehoed telah melakukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Gugatan yang bernomor 341/Pdt.15/2017/PN.JKT-SEL tertanggal 24 Mei 2017. Sedangkan sebagai tergugat adalah pemerintah dan lima orang direksi dari PT Aldevco. Juga ada pula tergugat enam ahli waris lainnya.

PT Aldevco yang didirikan oleh A.R. Soehoed, mantan Menteri Perindustrian R.I 1978-1983, bersama dua orang temannya Leon Harun Iskandar Sumantri dan Paul Sumadiono Samadikun. Dalam catatan terakhir A.R. Soehoed memiliki 624 lembar saham, sedangkan Trenggana hanya memiliki 1 lembar saham dengan harga saham Rp. 1 juta per lembarnya. Sementara itu,nilai aset dan saham PT Aldevco yang diserahkan ke pemerintah tercatat sejumlah Rp. 37.88 milyar.

Kekisruhan pada kasus PT Aldevco muncul karena para ahli waris yang menggugat melihat adanya keanehan. Yaitu, sebelum A.R. Soehoed meninggal dunia ternyata telah ada surat wasiat yang ditandatangani pada 20 Oktober 2011 tanpa melibatkan para ahli warisnya. Sementara, A.R. Soehoed meninggal dunia pada 7 Juni 2014. Keanehan pada surat wasiat itu bertambah karena yang ditunjuk sebagai pelaksana wasiat adalah Middyningsih yang sudah menikah. Ini sangat bertentangan dengan KUH Perdata Pasal 1006 yang menyebutkan bahwa sebagai pelaksana wasiat tidak boleh wanita yang sudah kawin.

Aspek lain yang menarik dari surat wasiat ini , bahwa wasiat itu melebihi hak bagian mutlak , yaitu lebih dari sepertiga. Sesuai Pasal 913 KUH Perdata dan Pasal 195 ayat 2 komplikasi Hukum Islam,. Dalam hal ini wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan, kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya.

Landasan hukum:

Paparan di atas sebetulnya cukup jelas dalam hal posisi para ahli waris terhadap PT Aldevco. Artinya, hak-hak para ahli waris terhadap warisan dari almarhum A.R. Soehoed pada hakekatnya dilindungi oleh undang-undang terkait yang dalam hal ini adalah KUH Perdata. Selain itu, secara hukum Islam hak-hak para ahli waris juga dilindungi.

Namun, pemerintah juga memiliki alasan yang menurut pihak pemerintah dalam konteks ini adalah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan , pengalihan hak milik adalah sesuatu yang sah dengan asumsi bahwa memang pemerintah yang sesungguhnya memiliki PT Aldevco. Tentu saja asumsi ini bisa didebatkan apalagi surat wasiat ditandatangani oleh A.R. Soehoed saat ia sudah berusia sangat lanjut 91 tahun dan tanpa diketahui para ahli waris.

Kemelut kasus ini sangat menarik para pemerhati masalah hukum perdata yang terkait soal warisan dan pengalihan warisan. Bagaimanapun, yang menjadi pertanyaan besar disini adalah apa yang yang seharusnya menjadi landasan undang-undang dalam membuat Akta Wasiat? Dalam hal ini seringkali dalam pembuatan Akta Wasiat tidak mengikuti ketentuan undang-undang, dan celakanya hanya mengikuti keinginan pihak pewasiat semata. Seharusnya undang-undang yang menjadi landasannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun