Kasus PT Aldevco seperti lewat begitu saja karena sepertinya bukan kasus penting. Apalagi kasus ini tidak banyak diberitakan di media sosial. Boleh jadi karena tenggelam di tengah hiruk pikuknya proyek-proyek infrastruktur yang tengah digenjot pemerintah. Atau, karena nilainya tidak fantastis sehingga tidak banyak yang menoleh ke kasus ini. Padahal banyak aspek yang patut ditelaah karena pemerintah terkait dengan kasus PT Aldevco ini.
PT Aldevco atau kepanjangan dari PT Aluminium Development Corporation yang didirikan pada tahun 1988 oleh A.R. Soehoed, mantan menteri di era Presiden Soeharto, setelah puluhan tahun diserahkan kepada Pemerintah. Tindakan ini telah mengundang reaksi keras dari para ahli warisnya. Karena sebagai ahli waris mereka merasa ada pemaksaan kekuasaan dari pemerintah, padahal kasus ini belum selesai dan masih menjadi kasus perdata. Pertanyaannya adalah mengapa pemerintah mau menerima perusahaan ini sehingga menjadi milik pemerintah?
Dari pihak Pemerintah, bahwa Direktur Utama dari PT Aldevco, Dalam hal ini Middyningsih merasa bahwa tindakannya sudah benar karena ia memiliki surat pernyataan tertanggal 29 Februari 1988 yang ditandatangani oleh para pendiri PT Aldevco, yaitu A.R. Soehoed, Leon Harun Iskandar, dan Paul Sumadiono bahwa seluruh saham PT Aldevco adalah milik pemerintah. Dalam hal ini para pendiri perusahaan hanya dipinjam nama (nominee arrangement) sehingga kelak saham-saham tersebut akan diserahkan kepada pemerintah.
Sementara itu, pihak Kementerian Keuangan merasa tidak ada prosedur yang salah dalam proses peralihan kepemilikan. Utamanya adalah bahwa sudah dilakukan audit oleh BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), dan ditunjang oleh due diligenceoleh konsultan hukum.
Historis:
Pendirian PT Aldevco pada 29 Februari 1988 oleh Abdoel Raoef Soehoed adalah atas petunjuk Presiden Soeharto Eksistensi PT Aldevco tidak bisa dilepaskan dari keberadaan PT Inalum atau PT Indonesia Asahan Aluminium. Perusahaan yang didirikan pada 6 Januari 1976 adalah BUMN pertama dan terbesar Indonesia yang bergerak di bidang peleburan aluminium.
Awalnya PT Inalum statusnya adalah Penanaman Modal Asing dibentuk oleh 12 perusahaan kimia dan metal dari Jepang. Belakangan pada 9 Desember 2013 status PT Inalum sebagai PMA dicabut sesuai dengan kesepakatan yang ditandatangani di Tokyo pada 7 Juli 1975. Sejak diakuisisi pemerintah Indonesia, PT Inalum mengembangkan produksi hilir aluminium dengan mendorong terjadinya diversifikasi produk.
Kembali kepada PT Aldevco, pendiriannya adalah untuk memasarkan hasil produksi dari PT Inalum. Selain itu, PT Aldevco mencetuskan pendirian PT Asahan Aluminium Alloys (PT AAA). Perusahaan ini bergerak dalam usaha cast dan alloy di Indonesia. Dengan adanya PT AAA maka hasil produksi PT Inalum tidak dikirim dan diolah di Jepang melainkan diolah di Indonesia. Dengan cara ini terdapat nilai tambah bagi Indonesia. Sementara, PT Aldevco memiliki saham di PT AAA sebesar 50.9 %
Berkembangnya PT Inalum juga mendorong berkembangnya PT Aldevco dalam memasarkan produk dari PT Inalum. Industri aluminium Indonesia mengalami masa yang bagus. Apalagi laba dari usaha di bidang ini juga cukup menarik.
Kisruh:
Nasib PT Aldevco yang semula milik para pemegang saham kemudian menjadi milik pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Jendral Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan ternyata tidak berhenti sampai di sini. Dua orang ahli waris dari A.R. Soehoed, yang adalah anak kandung dari almarhum A.R. Soehoed. Kedua ahli waris tersebut, Conny Zahara Gondoimah dan Syarif Anwar Soehoed telah melakukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Gugatan yang bernomor 341/Pdt.15/2017/PN.JKT-SEL tertanggal 24 Mei 2017. Sedangkan sebagai tergugat adalah pemerintah dan lima orang direksi dari PT Aldevco. Juga ada pula tergugat enam ahli waris lainnya.