Mohon tunggu...
Ahmad Fuad Afdhal
Ahmad Fuad Afdhal Mohon Tunggu... Dosen - Ph.D.

Pengamat isu sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masih Seputar BLBI

4 Agustus 2017   16:34 Diperbarui: 4 Agustus 2017   16:41 1108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah tentang BLBI mungkin tidak ada habisnya. Karena banyak sekali yang bisa dikupas, dianalisis, dan dibahas. Semua aspeknya menarik, apakah aspek perbankan, atau aspek perdatanya. Bahkan aspek pidananya juga enak  untuk dibahas. Dari segi human interest, cerita di balik berita boleh jadi merupakan yang paling menarik dari semuanya.

BLBI sebagai kebijakan pemerintah Indonesia akibat krisis ekonomi-moneter yang sangat dahsyat pada 1998 yang juga sebagai akibat dari Krisis Asia, dampaknya memang sangat mengerikan. Lihat saja tumbangnya bank-bank yang dimiliki para konglomerat Indonesia, yang semula sangat mengagumkan kondisinya, namun bagaikan diserang angin puyuh bertumbangan satu per satu.

Karena begitu banyak pasiennya, prevalensi penyakit yang begitu tinggi, bagaikan wabah. Mengobatinya ternyata butuh enerzi, pemikiran, dan dana yang bukan main besarnya. Bahkan IMF dan World Bank sampai turun tangan memberikan bantuan teknis. Sembuhnya ternyata tidak bisa cepat. Penyelesaian dengan para bank tersebut yang bak pasien juga sangat pelik, kompleks, dan tidak mudah.

Berbagai instrumen yang sebelumnya tidak pernah muncul ke permukaan, sebagai produk dari BLBI singkatan dan nama-nama aneh dari beragam instrumen pernah menghiasi berbagai media cetak dan media elektronika kita. Masyarakat bahkan hafal dan kemudian timbul anggapan bahwa masyarakat memahaminya. Padahal belum tentu juga.

BLBI pasti tidak bisa hilang dari sejarah bangsa Indonesia, khususnya dalam khasanah ekonomi dan perbankan kita. BLBI bisa memiliki aspek historis yang kuat, menjadi bahan pelajaran sejarah kita bagaimana suatu bangsa bisa dininabobokan oleh media-media Barat dengan munculnya Asian Miracle,Keajaiban Asia. Indonesia juga terangkat dengan istilah dari media Barat tersebut. Kita pun lupa seolah-olah ekonomi kita amat sangat kuat dan tidak mudah tergoyahkan. Padahal, realitanya ekonomi kita tidak seindah warna aslinya.

Mengapa:

Nada-nada sumbang yang mengecam kebijakan dalam bentuk BLBI pada awalnya  memberikan kritik yang sangat tajam untuk tidak disebut sebagai penolakan terhadap BLBI. Padahal kalau ditelaah secara mendalam, BLBI itu pada hakekatnya adalah suatu pemberian kredit.  Sama seperti siapa saja yang menerima kredit, maka yang bersangkutan sebagai institusi harus tunduk kepada Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Tidak ada yang aneh. Boleh jadi yang menjadi landasan untuk memberikan kritik karena yang menerima kredit tersebut sangat banyak jumlah institusinya dan jumlah kredit yang disalurkan besarnya bukan main. Selain itu, pemberian kredit tersebut dilaksanakan secara serempak dan dalam waktu yang hampir bersamaan.

Yang menjadi titik tolak dari pemberian kredit besar-besaran dan bagaikan sekejap dalam bentuk BLBI adalah karena dampak dari krisis ekonomi-moneter yang begitu dahsyat. Tindakan pemerintah tentu saja tidak boleh setengah-setengah tapi harus komprehensif dan menyeluruh.

Kredit yang diberikan oleh BI berupa kredit likuiditas adalah untuk membantu bank yang dalam keadaan sangat sulit serta darurat agar bank bisa memenuhi syarat likuiditasnya. Selain itu, penyaluran kredit likuiditas tersebut yang dilakukan oleh BI telah sesuai dan memenuhi persyaratan sebagaimana terdapat dalam pasal 32 ayat (3) Undang-Undang No 13 tahun 1968.  Jadi, masalah kredit likuiditas ini adalah kewajiban BI kepada bank swasta nasional dan bank-bank pemerintah (BUMN) yang memenuhi syarat dan sangat memerlukan bantuan likuiditas tersebut. Hanya saja, dalam pemberian kredit likuiditas tersebut juga  mensyaratkan prinsip-prinsip keberhati-hatian antara lain saldo bank tidak dalam posisi merah, tidak memberikan kredit melampaui batas Giro Wajib Minimum (GWM), dan tidak melebihi Batas Pemberian Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).

Penyelesaian:

BPPN dalam upayanya menyelesaikan jumlah dana pinjaman yang merupakan  kewajiban pemegang saham melalui dua macam pendekatan, non-litigasi dan litigasi. Dalam pendekatan non-litigasi dikenal dua macam kebijakan, MSAA (Master of Settlement Acquisition Agreement) dan MRNA (Master ofRefinancing and Note Agreement ).Selain itu dikenal yang disebut PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham).

Ketiga jenis cara non-litigasi ini disebut juga cara negosiasi. Akan halnya MSAA, yang merupakan perjanjian antara BPPN dengan bank penerima BLBI. Dalam perjanjian tersebut terdapat kewajiban yang harus dibayar oleh para pemegang saham bank  untuk bank-bank yang berstatus BBO (Bank Beku Operasi) dan BBKU (Bank Beku Kegiatan Usaha). Sedangkan pembayaran kewajiban bank dilakukan secara tunai dan dengan menyerahkan aset.

Sementara itu, MRNA (Master Refinancing and Note Agreement), pada dasarnya sama dengan MSAA dengan adanya perbedaan pada penyerahan jaminan. Dalam hal ini dalam MRNA kewajiban pengembalian BLBI  akan ditanggung dengan personal guarantee (PG) dari pemegang saham pengendali secara pribadi. Sedangkan penyelesaian melalui PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham) dalam kaitannya dengan pengembalian BLBI dari BI ke  Bank Penerima , terdapat kaitannya dengan obligor sebagai pihak ketiga, ditempuh melalui jalur hukum, antara lain  Ketetapan MPR no X/mpr/2001 tertanggal 9 Nopember 2001dan UU No 25 tahun 2000 tentang Propernas bab IV  butir C nomor 2,3,4 dan Keputusan Sidang Kabinet  7 Maret 2002 tentang PKPS.

Dalam pendekatan litigasi, BPPN melakukannya melalui gugatan Pengadilan Niaga. Ini hubungannya dengan gugatan wanprestasi terhadap bank penerima BLBI.  Kasus ini dilakukan terhadap PT Deka Bank.

Juga dikenal cara pengembalian BLBI melalui PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara). Pendekatan ini memakai beberapa pertimbangan antara lain  berdasarkan pasal 12 PP Pengganti UU no 49 tahun 1960.

Permasalahan BLBI memang kompleks dan pelik. Apalagi terkait krisis ekonomi-moneter. Akan halnya upaya untuk keluar dari krisis ekonomi-moneter, akan dipengaruhi oleh kemauan politik pemerintah pada waktu itu yang mana didukung oleh tim ekonomi yang mampu menyelesaikan dampak dari krisis tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun