Mohon tunggu...
Ahmad Fuad Afdhal
Ahmad Fuad Afdhal Mohon Tunggu... Dosen - Ph.D.

Pengamat isu sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Benang Kusut BLBI

28 Juli 2017   17:07 Diperbarui: 29 Juli 2017   13:10 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari saya bertemu teman lama, seorang pengusaha kelas menengah yang umurnya masuk kategori setengah baya. Sehat dan fisiknya bagus karena pada masa mudanya ia memang seorang yang rajin berolahraga walau bukan olahragawan untuk merebut medali. Pembicaraan kami biasanya diawali dengan tukar menukar informasi tentang keluarga masing-masing.

Pembicaraan kemudian berkisar di kegiatan atau pekerjaan atau aktifitas sehari-hari baik yang merupakan aktifitas ekonomi ataupun aktifitas sosial. Pembicaraan biasanya mengalami masa jeda ketika makanan dan minuman yang dipesan sudah diantar oleh pelayan restoran.

Usai makan, topik pembicaraan mulai meningkat. Oleh karena bukan pengamat politik, topik politik hanya disentuh secara umum dan kulitnya saja tanpa mengupas lebih dalam. Lain lagi dengan soal ekonomi. Walau teman itu bukan pengamat ekonomi, tapi sebagai pebisnis masalah ekonomi banyak diminati.  Mulai dari nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, IHSG, sampai kepada harga cabe adalah judul-judul yang menarik. Tiba-tiba kawan tersebut bertanya apakah saya paham masalah BLBI. Lebih jauh ia bertanya sejauh mana saya mengikuti soal BLBI.

Berhubung pembicaraan semakin hangat, maka kami memesan minuman lagi. Ia cenderung minum kopi, sedangkan saya cenderung the hangat tawar. Diselingi candaan politik yang beredar melalui Whatsapps, pembicaraan semakin enak. Akhirnya ia nyeletuk, seperti BLBI itu bagaikan benang kusut. Ia menambahkan, bagaimana menguraikan benang kusut BLBI? Bisa tidak diuraikan? Saya kemudian menimpali, apa masih perlu diuraikan, karena sudah kusut? Kami pun berdua tertawa terbahak-bahak, bukan karena BLBI yang bagaikan benang kusut, tetapi karena kami sama-sama menerima pesan Whatsapps yang berupa karikatur Donald Trump Presiden Amerika Serikat.

Awal:

Ekonomi Asia pernah mendapat julukan Asian Miracle,keajaiban Asia, karena pertumbuhannya sangat mengagumkan, Selama beberapa tahun ekonomi Asia tinggi pertumbuhannya dan stabil, termasuk Indonesia. Namun dalam sekejap, semuanya berubah menjadi Asian Crisis, krisis Asia, tidak terkecuali Indonesia khususnya antara Juli 1997 sampai dengan  tahun 1998.

Krisis yang menyerang Indonesia merupakan dampak dari krisis Asia yang dahsyat yang telah melanda negara-negara Korea Selatan, Thailand, Malaysia, dan Filipina. Bahkan ekonomi Singapura dan Hong Kong juga ikut goyang. Bagi Indonesia, pengaruhnya terasa sangat signifikan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Semula 1 USD adalah Rp 2500 kemudian berubah tajam hingga mencapai Rp 17.000. Otomatis kepanikan melanda perekonomian Indonesia, khususnya dunia perbankan kita.

Akibat dari krisis ini, kemudian muncul dalam khasanah ekonomi Indonesia khususnya dalam dunia perbankan Indonesia, istilah BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Dalam waktu singkat istilah BLBI menjadi populer, bahkan boleh jadi BLBI paling populer karena menjadi percakapan masyarakat sehari-hari.

Dari sisi lain, Bank Indonesia yang bertanggung jawab terhadap kestabilan moneter, kestabilan sistem pembayaran, dan kestabilan sistem perbankan menjadi sorotan banyak pihak. Ini disebabkan karena kebijakan BLBI  melanggar prinsip prudent, atau keberhati-hatian. Selain itu, dana talangan yang dikeluarkan untuk menolong dunia perbankan kita jumlahnya amat sangat besar yang risikonya sangat besar. Dalam  hal ini, risiko tersebut adalah memberatkan APBN yang secara langsung rakyat menjadi korban. Tidak heran jika kebijakan BLBI  dipertanyakan oleh sementara pihak.

Bagaimana?:

Krisis ekonomi-moneter yang menyerang Indonesia dan sejumlah negara Asia memang dampaknya sangat dahsyat. Bagaikan penyakit yang berat penanganannya harus hati-hati. Salah diagnosa kemudian salah kasih obat maka akibatnya bisa fatal bagi sang pasien. Sebagai pasien adalah Indonesia sendiri, yang pasti pemerintah dan Bank Indonesia harus berusaha mencari terapi yang tepat sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama ekonomi Indonesia sehat kembali.

Yang menjadi penyebab utama waktu itu adalah kondisi perbankan Indonesia yang sangat mengkhawatirkan kondisinya kalau tidak mau dikatakan  gagal (collapse). Atas dasar ini maka dikeluarkanlah kebijakan BLBI untuk menolong dunia perbankan Indonesia.  Tanpa BLBI waktu itu, entah apa jadinya ekonomi Indonesia. Yang pasti risikonya sangat besar jika tidak dikeluarkan kebijakan berupa BLBI.

Kebijakan BLBI yang dikeluarkan pemerintah Indonesia bukan merupakan kebijakan ekonomi-moneter belaka, tapi juga merupakan kebijakan politik yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia. Keputusan politik yang diambil waktu itu adalah untuk menyelamatkan  sistem keuangan dan perbankan Indonesia.

Seperti terapi terhadap pasien, pasti dibutuhkan sumber daya berupa obat, profesional kesehatan, dan intervensi media lainnya yang membutuhkan biaya. Analogi ini berlaku bagi upaya pemerintah dalam menyelamatkan ekonomi Indonesia melalui penyelamatan sistem keuangan dan perbankan yang juga membutuhkan biaya yang sangat besar. Dan mengingat waktu menjadi keterbatasan utama, maka pemerintah Indonesia waktu itu harus berpacu melawan waktu. Hasilnya adalah kebijakan berupa BLBI.

Kebijakan:

Oleh karena BLBI merupakan kebijakan pemerintah, maka dengan sendirinya tanggung jawab berada pada pemerintah.  Namun demikian, kondisi keuangan pemerintah pada waktu itu tidak cukup kuat untuk mengambil alih seluruh kewajiban. Solusinya adalah dengan membagi beban tersebut antara pemerintah dengan Bank Indonesia. Dalam kesepakatan berikutnya, yang menjadi beban Bank Indonesia adalah Rp. 24.5 trilyun, sedangkan selebihnya adalah beban  pemerintah.

Sementara itu, upaya untuk pemulihan ekonomi menjadi prioritas. Hanya saja, kecepatan pemulihan tersebut tergantung pada beberapa faktor yang antara lain adalah tingkat ketahanan fundamental dan struktur perekonomian. Selain itu, juga akan tergantung kepada tingkat keparahan dari dampak krisis ekonomi-moneter yang sangat kompleks.

Masa krisis pada waktu itu nampaknya tidak bisa dihindari bahwa solusinya adalah kebijakan BLBI. Atas dasar krisis ini pula maka pemberian dan penyelesaian BLBI tidak bisa memakai aturan-aturan yang berlaku dalam kondisi normal. Hanya saja, harus digarisbawahi bahwa kerugian untuk negara harus  diminimalkan dan meminimalkan beban APBN (Anggaran Pengeluaran Belanja Negara).  Dari sini kemudian terbit kebijakan politik hukum dari pemerintah dalam bentuk MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement).

Bagaimana dengan beban BI (BANK Indonesia)? BI juga memiliki keterbatasan. Pendekatan yang dilakukan waktu itu, maka BI mengeluarkan surat hutang BI kepada pemerintah yang persyaratannya sama dengan surat hutang  pemerintah No. SUP-001/MK/1998 dan  No. SUP-003/MK/1999. Sementara, penerimaan bunga atas  surat hutang yang diterbitkan BI akan masuk ke APBN. Dengan adanya surat hutang ini maka pemerintah tidak perlu menambah modal BI.

Berangkat dari semua kebijakan dan solusi yang dipaparkan di atas, penyelesaian kasus BLBI yang rumit bagaikan benang kusut ini, mensyaratkan adanya kerja sama dari semua pihak  yang merupakan para pemangku kepentingan. Karena seperti diketahui BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) mempunyai pandangan berbeda dan konsisten bahwa kriteria yang digunakan harus dalam kondisi normal, bukan pertimbangan kebijakan dalam keadaan krisis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun