Yang menjadi penyebab utama waktu itu adalah kondisi perbankan Indonesia yang sangat mengkhawatirkan kondisinya kalau tidak mau dikatakan  gagal (collapse). Atas dasar ini maka dikeluarkanlah kebijakan BLBI untuk menolong dunia perbankan Indonesia.  Tanpa BLBI waktu itu, entah apa jadinya ekonomi Indonesia. Yang pasti risikonya sangat besar jika tidak dikeluarkan kebijakan berupa BLBI.
Kebijakan BLBI yang dikeluarkan pemerintah Indonesia bukan merupakan kebijakan ekonomi-moneter belaka, tapi juga merupakan kebijakan politik yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia. Keputusan politik yang diambil waktu itu adalah untuk menyelamatkan  sistem keuangan dan perbankan Indonesia.
Seperti terapi terhadap pasien, pasti dibutuhkan sumber daya berupa obat, profesional kesehatan, dan intervensi media lainnya yang membutuhkan biaya. Analogi ini berlaku bagi upaya pemerintah dalam menyelamatkan ekonomi Indonesia melalui penyelamatan sistem keuangan dan perbankan yang juga membutuhkan biaya yang sangat besar. Dan mengingat waktu menjadi keterbatasan utama, maka pemerintah Indonesia waktu itu harus berpacu melawan waktu. Hasilnya adalah kebijakan berupa BLBI.
Kebijakan:
Oleh karena BLBI merupakan kebijakan pemerintah, maka dengan sendirinya tanggung jawab berada pada pemerintah.  Namun demikian, kondisi keuangan pemerintah pada waktu itu tidak cukup kuat untuk mengambil alih seluruh kewajiban. Solusinya adalah dengan membagi beban tersebut antara pemerintah dengan Bank Indonesia. Dalam kesepakatan berikutnya, yang menjadi beban Bank Indonesia adalah Rp. 24.5 trilyun, sedangkan selebihnya adalah beban  pemerintah.
Sementara itu, upaya untuk pemulihan ekonomi menjadi prioritas. Hanya saja, kecepatan pemulihan tersebut tergantung pada beberapa faktor yang antara lain adalah tingkat ketahanan fundamental dan struktur perekonomian. Selain itu, juga akan tergantung kepada tingkat keparahan dari dampak krisis ekonomi-moneter yang sangat kompleks.
Masa krisis pada waktu itu nampaknya tidak bisa dihindari bahwa solusinya adalah kebijakan BLBI. Atas dasar krisis ini pula maka pemberian dan penyelesaian BLBI tidak bisa memakai aturan-aturan yang berlaku dalam kondisi normal. Hanya saja, harus digarisbawahi bahwa kerugian untuk negara harus  diminimalkan dan meminimalkan beban APBN (Anggaran Pengeluaran Belanja Negara).  Dari sini kemudian terbit kebijakan politik hukum dari pemerintah dalam bentuk MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement).
Bagaimana dengan beban BI (BANK Indonesia)? BI juga memiliki keterbatasan. Pendekatan yang dilakukan waktu itu, maka BI mengeluarkan surat hutang BI kepada pemerintah yang persyaratannya sama dengan surat hutang  pemerintah No. SUP-001/MK/1998 dan  No. SUP-003/MK/1999. Sementara, penerimaan bunga atas  surat hutang yang diterbitkan BI akan masuk ke APBN. Dengan adanya surat hutang ini maka pemerintah tidak perlu menambah modal BI.
Berangkat dari semua kebijakan dan solusi yang dipaparkan di atas, penyelesaian kasus BLBI yang rumit bagaikan benang kusut ini, mensyaratkan adanya kerja sama dari semua pihak  yang merupakan para pemangku kepentingan. Karena seperti diketahui BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) mempunyai pandangan berbeda dan konsisten bahwa kriteria yang digunakan harus dalam kondisi normal, bukan pertimbangan kebijakan dalam keadaan krisis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H