Awalnya temperatur meningkat hanya di kawasan Senayan, ketika hak angket KPK diproses dan kemudian disetujui. Belakangan suhu di kawasan Kuningan tempat pusat kegiatan KPK juga memanas karena permintaan DPR agar KPK menghadirkan Miryam Haryani di DPR. DPR pantang mundur, kemudian meminta POLRI agar menghadirkan Miryam Haryani. Kapolri Tito Karnavian langsung menolak dengan alasan masalah hukum yang tidak jelas. Pertarungan yang semula satu lawan satu, langsung berubah menjadi satu lawan dua.
DPR terus bergerak. Kali ini memakai senjata simpanan, dengan mengancam akan membekukan anggaran untuk KPK dan Polri. Temperatur semakin meningkat, suasana makin membara. KPK membalas tidak khawatir karena akan memakai anggaran tahun lalu.
Apalagi perang pernyataan dimuat di berbagai media sosial, medium favorit kontemporer saat ini. Berbagai ulasan di media sosial khususnya telah menambah bumbu pertarungan ini. Kapolri kemudian memutuskan akan mengirim Wakapolri untuk membahas berbagai aspek hukum terkait dengan pihak DPR.  Ini sedikit menurunkan suhu walau sebentar. Apalagi KPK tetap  bersikukuh tidak akan menghadirkan Miryam Haryani.
Temperatur akhirnya turun dan dingin karena tibanya Hari Raya Idul Fitri 1438 H. Tapi bukan berarti sudah ketemu solusinya. Boleh jadi ini bagaikan api dalam sekam.Usai bermaaf-maafan, kantor mulai sibuk, bukan tidak mungkin dilanjutkannya pertarungan DPR vs KPK + POLRI. Ini adalah kemungkinan terbesar skenarionya, karena memang belum ada titik temu untuk mencari jalan keluar atas masalah ini.
Sulit untuk memprediksikan apa yang akan terjadi kalau kedua belah pihak tetap ngotot. Pertunjukan yang aneh ini telah menarik perhatian masyarakat awam yang bertanya-tanya, DPR sebetulnya mau apa? Â Mereka juga mempertanyakan KPK dengan sikapnya yang tidak luwes dan pernyataannya yang tidak persuasif. Â Celakanya POLRI ikut terseret padahal rasa penatnya belum hilang mengurus berbagai unjuk rasa yang terjadi dalam berbagai bentuk di ibu kota khususnya.
Masalah:
Munculnya masalah ini sudah bisa diprediksi ketika berhembus berita bahwa DPR akan membentuk hak angket untuk KPK. Berbagai pendapat miring muncul sebagai reaksi atas terbentuknya keinginan DPR untuk mengadakan hak angket. Akhirnya menjadi masalah yang serius sekali.
Akan halnya hak angket, pada hakekatnya merupakan hak yang dimiliki DPR untuk melakukan penyelidikan dalam kaitannya untuk melihat sejauh mana pelaksanaan undang-undang dalam kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, hubungannya adalah dengan hal-hal yang penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara apakah bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.
Yang menarik adalah kalau pada awalnya ada kesan bahwa pengajuan hak angket KPK ini terkesan maju mundur. Namun rupanya para anggota DPR yang terdiri dari bermacam fraksi akhirnya solid dan bersatu dalam pengajuan ini, sudah bisa ditebak bahwa kebersamaan terjadi karena semuanya memiliki kepentingan yang sama. Menurut undang-undang dan ketentuan yang berlaku, panitia angket dalam melaksanakan tugas penyelidikan dapat meminta keterangan dari pemerintah dan pejabatnya. Juga terhadap saksi, pakar, organisasi profesi, dan semua pihak terkait. Ketentuan ini jelas menjadi landasan untuk memanggil Miryam Haryani.
Sementara itu, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sebagai lembaga negara dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam hal ini sebagai  lembaga pemerintah, KPK bersifat independen dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Dari sini saja terbaca mengapa KPK menolak untuk menghadirkan Miryam HaryaniÂ
Masyarakat:
Sementara DPR asyik memainkan bola-bolanya dalam hak angket KPK, pandangan, opini, dan persepsi masyarakat justru bertolak belakang 180 derajat. Mayoritas masyarakat yang bersuara jelas bertolak belakang dengan DPR. Memang ada sebagian kecil yang bisa disebut sebagai minoritas mendukung diteruskannya hak angket KPK tersebut. Dikotomi mulai terlihat walau tidak imbang karena lebih banyak yang menolak dari pada yang mendukung DPR dalam hak angket KPK tersebut.
Pendapat dari masyarakat beragam. ICW (Indonesian Corruption Watch) memprotes pemanggilan Yusril Ihza Mahendra dan Romli Atmasasmita dengan alasan bahwa legitimasi mereka lemah. Romli pernah menjadi saksi ahli dalam kasus Jendral Polisi Budi Gunawan berlawanan langsung dengan KPK. Sementara itu, Yusril adalah saksi ahli dalam kasus korupsi Hartati Murdaya.
Dari Yogyakarta, tidak kurang dari 400 dosen UGM (Universitas Gajah Mada) menolak hak angket KPK. Masih di UGM, PUKAT atau Pusat Kajian Anti korupsi menyebutkan bahwa logika Yusril Ihza Mahendra kacau. Bahkan Pusat Kajian ini menyebutkan bahwa KPK bisa menolak menghadiri Pansus Hak Angket KPK.
Tidak kurang dari Pemuda Muhammadiyah juga tolak hak angket KPK. Para profesor seperti terbelah. Tapi yang tolak hak angket KPK sepertinya lebih banyak. Walau begitu dari pihak panitia hak angket KPK mengatakan bahwa jumlah profesor yang mendukung lebih banyak tanpa menyebutkan siapa saja mereka.
Yang menarik justru para alumni Universitas Indonesia juga terbagi dua antara yang mendukung dan yang menolak. Pihak yang menolak adalah ILUNI UI yang nampaknya merasa lebih memiliki legitimasi. Namun, yang disebut ILUNI UI Berbadan Hukum mendukung hak angket KPK, dengan catatan bahwa mereka lebih mempunyai legitimasi. Sementara itu, para mahasiswa ITB dan UI mendatangi DPR, diterima perwakilannya oleh panitia hak angket KPK. Para mahasiswa dari  kedua universitas ini dengan tegas menolak hak angket KPK.
Di tengah penolakan sebagian besar masyarakat, pihak DPR terus saja berjalan , seperti acuh dan tidak mau tahu dengan penolakan masyarakat.
DPR mau ke mana?:
Walaupun penolakan terhadap hak angket KPK muncul di mana-mana, ternyata tidak membuat DPR goyang, bimbang, dan ragu. Bahkan DPR tanpa diduga sebelumnya mengirim utusan untuk mengunjungi para tahanan korupsi di Lapas Sukamiskin. Selain berkunjung juga melakukan pembicaraan dengan beberapa tahanan korupsi. Ini kembali memunculkan pertanyaan besar, DPR mau ke mana?
Juga ada hal yang menggelikan ketika ada pernyataan dari salah seorang pimpinan DPR bahwa sebaiknya DPR dibubarkan saja jika KPK tidak mau dikontrol. Kontan pernyatan yang menggelikan ini disambut baik, bahwa sebaiknya DPR dibubarkan saja mengingat  banyak tindakan, prilaku, dan aktifitas para anggota DPR yang mengecewakan, memalukan, dan menurunkan reputasi lembaga terhormat ini.
Akan halnya polemik tentang hak angket KPK, kalau dicermati secara mendalam dan tenang, terlihat bahwa ada sumbatan yang sangat mengganggu hubungan antara lembaga-lembaga negara. Persoalannya bukan karena tidak adanya komunikasi dua arah yang konstruktif. Tetapi, lebih kepada adanya dinding maya namun mampu memisahkan DPR dari lembaga negara lainnya seperti KPK. Lebih celaka lagi adalah terjadinya sekat-sekat pemisah antara DPR dengan masyarakat. Padahal DPR adalah tempat berkumpulnya wakil-wakil rakyat yang seharusnya menyuarakan kepentingan masyarakat luas.
Tentu saja keadaan seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Karena keadaan ini sangat tidak sehat bagi kehidupan demokrasi kita. Juga akan mengikis kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kita tidak berharap bahwa keadaan ini mencapai dead-lock, yang dapat mengondisikan ke arah legislative chaos. Kalau sampai ini terjadi, maka akan melumpuhkan sendi-sendi demokrasi. DPR jelas diperlukan fungsinya dalam melakukan kontrol. Namun, pengontrolan itu sendiri tidak berarti semena-mena. Hak angket memang merupakan salah satu hak DPR.
Para pemangku kepentingan terhadap kemelut ini pasti mengharapkan adanya jalan keluar yang terbaik bagi semua pihak. Â Dalam pengertian lain masyarakat mengharapkan adanya rasionalitas sebagai solusi untuk permasalahan hak angket KPK. Namun, jangan sampai keinginan ini menjadi suatu mission impossible?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H