Udang sebagai menu makanan orang Indonesia, sepertinya berkurang popularitasnya. Â Saat ini yang menjadi hidangan utama adalah ayam. Kemudian yang sedang naik daun adalah ikan. Apalagi Menteri Kelautan, Susi, selalu mendorong bangsa Indonesia untuk meningkatkan ikan sebagai menu sehari-hari.
Udang memang kerap kali dikaitkan dengan kolesterol. Berlainan dengan ayam dan ikan yang aman dari kolesterol. Jadi kalau mau sehat maka harus dihindari makan udang. Tetapi, apakah betul udang harus dihindari sama sekali?
Bagi penggemar udang, apapun yang terjadi mereka tidak akan terusik. Karena kalau sudah tahu nikmatnya makan udang, maka yang lain terlupakan. Sering diplesetkan, kalau sedang makan udang maka mertua lewat bisa tidak terlihat.
Udang sendiri ada banyak jenisnya dari yang besar sampai yang kecil. Namun yang namanya udang galah, bukan main nikmatnya bagi yang suka.
Di banyak daerah termasuk di daerah propinsi Riau, udang bahkan menjadi menu utama. Udang yang sebesar tangan orang laki-laki menjadi buruan bagi penikmat kuliner udang. Tinggal sebutkan ke pihak yang memasak baik di warung atau restoran, maka mereka siap menyajikan masakan udang sesuai dengan pesanan kita.
Oleh karena udang banyak penggemarnya, maka bisnis udang atau tepatnya petambakan udang tetap diminati oleh banyak pengusaha. Bahkan sekitar tahun 80an-90an bisnis petambakan udang sedang ramai-ramainya. Banyak juga pemula yang tanpa persiapan terjun ke bisnis ini namun mengalami kerugian dalam angka yang besar. Bahkan pernah ada sebuah perguruan tinggi dengan pinjaman bank tergiur masuk ke bisnis ini. Sayang sekali udang yang dihasilkan adalah udang-udang dalam ukuran kecil. Di pasar, udang semacam ini  kurang peminatnya. Akibatnya yayasan yang menaungi perguruan tinggi ini punya hutang bunga berbunga. Memang kalau lihat keuntungannya banyak yang berpikir bahwa bisnis petambakan udang itu mudah. Padahal sebaliknya, sulit sekali. Singkatnya mengurus petambakan udang bak mengurus keluarga, harus hati-hati dan penuh perhatian.
Tambak udang:
Urusan tambak udang memang tidak mudah. Ada beberapa faktor yang harus ditangani secara serius. Di antara faktor-faktor tersebut adalah sumber air untuk budidaya udang ini. Faktor lainnya adalah penyakit-penyakit yang kerap ditemukan pada udang yang sedang dibudidayakan, seperti bintik putih dan bintik hitam.
Akan halnya sumber air dan pengelolaannya, landasan yang menjadi patokan adalah keberlanjutan dan kelestarian alam.  Dalam hal ini  kontur tanah harus dievaluasi dengan baik. Juga sumber air dari sungai yang akan mengairi tambak udang harus memenuhi syarat dalam kelancaran pasokan air sungai tersebut. Sumber air di sini harus aman, murah, dan ramah lingkungan.
Dalam budidaya udang dikenal beberapa sistem. Pemakaian sistem terbuka, dilakukan dengan mengambil air langsung dari sumbernya, sungai dan laut, kemudian dimasukkan ke dalam kolam pemeliharaan udang. Sementara, air buangan tambak dibuang ke perairan bebas. Â Sistem ini biasanya diterapkan di daerah yang perairannya bagus dan jauh dari pencemaran. Selain itu, tambak di sekitarnya belum begitu banyak.
Alternatif dari sistem terbuka, adalah sistem tandon Dalam sistem ini, tandon atau tempat penampungan air dipakai untuk meningkatkan kualitas air . Dalam hal ini partikel-partikel terlarut diendapkan.  Di samping itu, tandon juga dipakai untuk menampung air dalam jangka panjang.  Dengan begitu, air bisa digunakan saat keterbatasan air.  Sedangkan air buangan dari  kolam pemeliharaan udang dibuang ke laut bebas.
Sistem lain yang banyak dipakai dalam budidaya udang adalah  sistem resirkulasi tertutup. Dalam sistem ini air didaur ulang. Di sini air buangan tambak udang ditampung dan kemudian dibersihkan dengan proses khusus sehingga menjadi air yang layak  dan memenuhi syarat untuk budidaya udang.
Prospek:
Bisnis budidaya udang  sangat prospektif, bahkan tidak berlebihan jika bisnis ini sangat bagus dalam jangka panjang dan berkesinambungan. Boleh jadi ini pula yang jadi alasan ketika  Pudjiono, Gubernur Lampung pada waktu itu, meminta pengusaha Sjamsul Nursalim untuk investasi dalam budidaya udang di Lampung, ide yang disampaikan langsung disambut dengan tangan terbuka oleh putera Lampung ini. Ia pun membentuk perusahaan khusus untuk menangani budidaya udang, PT Dipasena Citra Darmaja.
Usaha budidaya udang oleh PT Dipasena Citra Darmaja dimulai pada tahun 1989. Pendekatan yang dipakai saat itu adalah dengan menjalankan pola kemitraan di kecamatan Rawajitu, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Â Usaha ini berjalan dengan sangat lancar. Ini terlihat dengan keberhasilan menyumbang devisa USD 3 juta di tahun 1990-1991. Keuntungannya juga sangat luar biasa, tercatat USD 10 juta di tahun USD 30 juta pada 1992. Puncaknya adalah pada 1995-1998 yang mana PT DCD mencatat keuntungan sebesar USD 167 juta.
Sukses besar ini hanya berjalan sekitar 8 tahun. Pola kemitraan antara perusahaan sebagai inti dan petambak sebagai plasma berantakan ketika terjadi perselisihan antara pihak PT DCD dengan para petambak. Padahal model kemitraan ini akan dijadikan model oleh pemerintah dalam budidaya udang di daerah lainnya. Â Dengan adanya krisis moneter keadaan berubah drastis, terkait dengan kasus BLBI-BDNI, semua aset PT DCD termasuk hutang para petambak yang telah menjadi aset BDNI, belakangan direstrukturisasi, dialihkan ke BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional).
Cerita ini masih berlanjut, pada September 2004 Dipasena masuk ke dalam program revitalisasi yang merupakan amanat DPR. Program revitalisasi ini juga merupakan program kerja 100 hari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu baru saja terpilih.  Melalui program revitalisasi ini, tambak Dipasena akan  dipulihkan ke kondisi awal  dengan memperbaiki pola kemitraan.  Aset PT Dipasena yang telah diambilalih oleh BPPN kemudian diserahkan ke PT PPA (Perusahaan Pengelola Aset Negara).  Namun pada 24 Mei 2007 PT PPA menjual aset dan saham PT Dipasena  ke PT Central Proteina Prima (Grup CPP)  melalui penjualan kontroversial. Tepatnya aset  Dipasena dijual hanya Rp 688 milyar, jauh di bawah nilai aset yang sebenarnya.  PT CPP yang merupakan anak perusahaan  Charoen Pokphand dari Thailand.  Sayangnya kerja sama kemitraan ini, akhirnya juga bubar.
Revitalisasi Jilid Dua yang dicanangkan  oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini, nampaknya cukup menggembirakan. Keseriusan dari proses ini dibuktikan oleh Menteri KKP Susi Pudjiastuti  yang turun langsung memantau program revitalisasi jilid dua. Apalagi produksinya meningkat terus, yang pada 2015 saja sudah mencapai 785.900 ton. Tambak udang Dipasena sedang disiapkan menghadapi persaingan global, dan akan menjadi yang terbesar di Asia bahkan di Dunia.
Tentu saja para pemangku kepentingan dari tambak udang ini sangat berharap bahwa target itu bisa dicapai. Ini membuktikan bahwa budidaya udang memang sangat prospektif dan memiliki masa depan yang bagus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H