Sejak awal KPK sudah wanti-wanti, mengingatkan, dan mendeteksi adanya peluang korupsi pada masalah e-KTP. Sayangnya, opini KPK seperti dianggap angin lalu. Sepertinya e-KTP saat itu menjadi prioritas utama bagi pemerintah. Masalah ini sudah sangat urgen menurut persepsi mereka yang ada urusannya dengan e-KTP. Ini menyebabkan bahwa implementasi e-KTP ditargetkan.
Apa yang terjadi di atas permukaan memang sepertinya tanpa e-KTP ,maka Indonesia akan menjadi negara yang tertinggal , bukan negara modern, dan ketinggalan zaman. Namun di bawah permukaan, nampaknya bukan itu yang beredar. Di bawah permukaan para pemangku kepentingan sudah asyik menghitung berapa besarnya proyek ini. Dan yang terpenting adalah seberapa besar kue yang bisa dibagikan. Alhasil sekelompok orang yang ada di DPR dan Kemendagri memang serius mengurusi uang yang akan dibagikan serta berapa besar tiap orang akan mendapat jatahnya sesuai dengan posisi dan jabatannya.
Boleh jadi, korupsi e-KTP adalah korupsi yang paling masif dalam sejarah NKRI. Belum pernah ada korupsi yang seperti ini baik dalam besarnya jumlah uang yang yang dikorupsi maupun keterlibatan pihak eksekutif dan legislatif sekaligus yang merupakan pemangku kepentingan dari e-KTP. Karena begitu besarnya uang yang dikorupsi sampai-sampai ada yang menghitung bagaimana kalau uang hasil korupsi itu dipakai untuk membentuk tim sepakbola yang terdiri dari para pemain bintang Dunia. Ternyata Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, dua pemain sepakbola yang paling mahal sejagat masa kini bisa dibeli. Bukan main. Padahal banyak klub sepakbola kita yang terseok-seok karena minimnya dana. Jadi sebetulnya PSSI tidak perlu khawatir dalam urusan dana kalau ingin mengembangkan sepakbola kita. Bisa dibayangkan kalau Messi dan Ronaldo serta pemain-pemain bintang lainnya main dalam satu klub sepakbola di Indonesia, pasti tidak klub sepakbola yang akan bisa mengalahkannya termasuk Barcelona, Real Madrid, Manchester United, Manchester City, dan Bayern Munchen.
Sistemik:
Korupsi memang bukan hanya di Indonesia. Korupsi bisa ditemukan di negara-negara lain. Tapi hanya beberapa negara di dunia yang korupsi begitu sistemik. Di antara negara-negara yang korupsinya sistemik, boleh jadi Indonesia termasuk yang dahsyat. Selain itu, ada negara-negara lain seperti Rusia, Spanyol, dan Italia. Di keempat negara ini, berita tentang terungkapnya kasus korupsi seperti tidak ada habis-habisnya muncul di berbagai media massa. Karena begitu banyaknya korupsi yang terungkap dan para koruptornya ditangkap, tidak heran jika penduduk negara-negara yang relatif sangat bersih seperti negara-negara Skandinavia terheran-heran mendengar begitu banyaknya korupsi di Indonesia. Padahal posisi Indonesia sangat jauh dari negara-negara Skandinavia. Sementara itu, bagi mereka sudah terbiasa dengan berita korupsi di Spanyol, Italia, dan Rusia yang letaknya sama-sama di benua Eropa.
Korupsi sebagai suatu penyakit sosial dari masyarakat bisa terjadi di beberapa tempat seperti sektor publik, sektor swasta, dan tentu saja sektor politik. Namun kalau diamati lebih jauh ketiga tempat terjadinya korupsi ternyata para aktornya bisa dari mana saja. Di sektor publik, korupsi terjadi karena antara lain adanya penyalahgunaan pejabat publik. Tentu saja pejabat publik tidak sendiri, karena korupsinya bisa diikuti oleh para aktor dari bidang politik dan dari sektor swasta. Sedangkan korupsi yang terjadi di sektor swasta, walau boleh jadi terjadi internal sektor swasta, tidak jarang juga melibatkan para aktor dari sektor lainnya. Sementara itu, sektor politik yang umumnya konotasinya adalah lembaga legislatif dan partai politik, boleh jadi merupakan the man behind the gun. Atau mereka yang bergerak di belakang layar. Mengapa demikian, karena faktanya lembaga legislatif yang mensahkan anggaran belanja negara. Sudah barang tentu kolusi terjadi dengan pihak eksekutif, bahkan dengan lembaga yudikatif. Karena di Indonesia, apa saja bisa dikorupsi. Tengok saja dengan korupsi yang dilakukan dengan menjual konsep undang-undang. Bukan main!
Jejaring:
Penyebab korupsi bisa beraneka ragam. Namun utamanya adalah penyalahgunaan wewenang. Tentu saja mereka yang memiliki wewenang adalah mereka yang mempunyai kekuasaan. Tanpa kekuasaan maka korupsi itu tidak akan mungkin terjadi. Tengok saja apakah pernah dengar si Polan yang papa dan tidak ada kekuasaan melakukan korupsi ? Pasti kita tidak pernah mendengarnya.
Hal lain yang menarik bahwa korupsi hampir tidak mungkin dilakukan sendirian. Umumnya korupsi dilakukan oleh beberapa orang. Yang juga menarik adalah bahwa korupsi juga memiliki jejaring. Dengan adanya jejaring ada kerja sama dan saling memercayai di antara para anggauta jejaring tersebut. Pembagian tugas di antara para anggauta jejaring memberikan keunggulan khusus terutama dalam kerapihan melaksanakan korupsi tersebut. Korupsi terstruktur semacam ini saat ini dikenal sebagai korupsi berjamaah. Setiap anggauta jejaring memiliki tugas tersendiri sesuai dengan ruang lingkup dan wewenangnya. Sudah barang tentu, pembagian hasil korupsi akan berbanding linier dengan peran, wewenang, dan tanggung jawab jejaring korupsi tersebut. Karena semuanya sudah diatur di muka, maka setiap anggauta yang masuk jejaring akan patuh.
Korupsi juga bisa dilihat dari kaitannya dengan proses pengambilan keputusan. Dalam konteks ini, terjadinya kerusakan bahkan pembusukan dalam proses pengambilan keputusan menyebabkan terjadinya korupsi. Lebih rinci, yang menyebabkan pembusukan adalah karena prilaku yang tidak semestinya, prilaku yang buruk, dan prilaku yang tidak etis telah menyebabkan terjadinya kerusakan dalam proses pembusukan. Seterusnya, terjadilah korupsi yang merugikan pihak lain yang antara lain perusahaan swasta, badan usaha milik negara, dan negara. Dalam hal kerugian terhadap negara maka kerusakan pengambilan keputusan telah merugikan rakyat. Karena boleh jadi dana yang dikorupsi itu seharusnya digunakan untuk membangun, mensejahterakan, dan meningkatkan kualitas hidup rayat.
Zero corruption:
Zero corruption ?
Masyarakat kebanyakan sesungguhnya sudah letih, muak, dan geram mendengar, membaca, dan melihat berita-berita tentang korupsi dari berbagai sumber informasi. Terkadang ingin melakukan sesuatu tapi apa daya karena sebagai rakyat mereka tidak memiliki kekuasaan. Sementara, sebagai warga negara yang patuh mereka mengharapkan adanya tindakan dari para penegak hukum. Tapi apa daya, sepertinya tidak ada efek jeranya., Ini terbukti berita tentang korupsi baru tetap saja muncul. Tentu saja ini antara lain tidak ada upaya memiskinkan koruptor. Selain itu, adanya remisi menyebabkan pemotongan demi pemotongan terjadi. Alhasil, dalam waktu yang tidak terlalu lama koruptor sudah berada di alam bebas.
Idealnya adalah nol korupsi (zero corruption). Tapi ini sesuatu yang mustahil. Walau begitu, sebagai cita-cita boleh ini dijadikan sesuatu yang harus dikejar. Dalam hal ini sebetulnya PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sudah mempunyai konvensi untuk memerangi korupsi. Kalau Indonesia bisa mengimplementasikan konvensi tersebut maka negara kita akan lebih mempunyai legitimasi di mata warga negaranya yang mana akan menumbuhkan kepercayaan dan meningkatkan stabilitas. Jelas ini akan memperkuat demokrasi kita.
Masalah keadilan dan hukum pasti harus ditegakan. Ini akan membuat warga negara dan dunia usaha akan merasa yakin dalam kehidupan bernegara. Dalam hal ini kasus korupsi tidak saja harus diinformasikan secara luas ke masyarakat, juga tindak lanjutnya sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, untuk mencegah terjadinya korupsi di masa depan, kuncinya adalah pendidikan. Sistem pendidikan harus menyiapkan generasi mendatang untuk sejak dini belajar disiplin, jujur, dan adil. Pendidikan yang berkualitas harus melaksanakan semuanya agar generasi mendatang jauh dari prilaku korupsi.
Aspek kemakmuran juga akan mendukung pencegahan korupsi. Namun demikian, kemakmuran yang dimaksud diperoleh dengan jujur, benar, dan mengikuti peraturan serta perundangan yang berlaku. Mendorong investasi dari luar negeri masuk merupakan solusinya. Hanya saja masuknya investasi asing harus dengan benar tanpa adanya pungutan tidak resmi. Transparansi dalam semua perizinan merupakan syarat mutlak.
Aspek lain yang juga perlu dan harus digarisbawahi adalah memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat. Dana untuk peningkatan kualitas hidup melalui kesehatan masyarakat yang berkualitas harus diamankan agar tidak terjadi penyelewengan. Pelayanan kesehatan yang merata dan berkualitas di seluruh wilayah Indonesia akan mendorong meningkatnya kualitas hidup. Masyarakat yang sehat dalam arti luas, berpendidikan, mempunyai penghasilan yang berkecukupan, serta disiplin seyogyanya akan menjauhi prilaku korupsi. Tentu saja mereka sadar bahwa sanksi hukum dan terlebih sanksi sosial akan selalu siap jika terjadi tindak korupsi.
Apa yang telah dipaparkan untuk mencapai zero corruption, jelas sesuatu yang ideal. Masyarakat tanpa korupsi jelasnya utopia. Untuk Indonesia yang korupsinya sudah bagaikan budaya sudah berakar dan melebar ke mana-mana, jelas kita harus realistis. Persoalannya bukan sasaran jangka pendek, menengah, atau panjang. Tapi harus ada langkah konkrit. Pertama, bagi koruptor remisi harus ditiadakan. Hukuman harus membuat mereka jera, terutama bagi para calon koruptor. Kedua, harus, dibuat undang-undang yang memiskinkan para koruptor. Andaikata kedua hal ini bisa dilaksanakan dengan konsisten, korupsi akan turun dengan signifikan. Para calon koruptor pasti takut untuk dipromosikan menjadi koruptor. Tentu masih ada usul-usul konkrit lainnya yang bisa ditambahkan. Mari kita perangi korupsi di bumi Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H