Sudah lama kita dengar kritik yang beredar di masyarakat adalah bahwa bangsa kita ini termasuk bangsa yang tidak berani mengundurkan diri dari suatu jabatan walaupun salah dan tidak mampu. Bahkan ada pepatah lama yang dikaitkan dengan masalah ini bahwa sebaiknya pejabat yang tidak mampu harus mengaca.Tentunya mereka harus punya kaca. Kalau tidak negara kita akan dipernuhi oleh mereka yang tidak kompeten, tidak jujur, dan tidak berkualitas.
Namun, tiba-tiba kita dikagetkan oleh pengunduran diri pejabat eselon 1. Pertama adalah Sigit Pramudito yang mantan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Alasannya adalah dia tidak mampu menghasilkan pendapatan dari sektor pajak sesuai yang telah diputuskan pemerintah. Â Berbagai komentar. Pendapat, dan opini terhadap pengunduran diri ini. Walaua begitu, mayoritas adalah memuji keberanian Sigit Pramudito yang jujur, berani meninggalkan jabatan yang dikategorikan basah, dan tepat waktu.
Pengunduran kedua adalah Dr. Djoko Sasono yang mantan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan. Alasannya adalah dia tidak mampu menyelesaikan soal kemacetan menjelang Natal dan Tahun Baru. Padahal urusan penanganan lalu lintas adalah tanggung jawab 3 kementerian termasuk Kementerian Perhubungan. Kembali pejabat ini mendapat ancungan jempol karena berani berterusterang dan bicara apa adanya. Hanya saja, dari dulu juga kemacetan selalu terjadi menjelang Natal dan Tahun Baru serta menjelang Idul Fitri. Sementara masyarakat walau mengeluh tentang kemacetan tetap saja pulang kampung masing-masing. Kalau istilah Betawi : dari zaman kuda gigit besi juga kemacetan seperti ini selalu ada.
Pertimbangan:
Mengundurkan diri dari jabatan yang sedang diemban apalagi jabatan yang banyak orang mengincarnya bukan sesuatu yang mudah. Sudah bisa dipastikan dalam diri kedua pejabat yang mengundurkan diri tersebut sebelum mengambil keputusan telah terjadi pergolakan dalam benak masing-masing. Pertentangan tersebut misalnya antara tanggung jawab dengan mencegah terjadinya sesuatu yang lebih buruk. Pertentangan lain adalah antara karir dengan peluang mendapat pekerjaan baru. Juga pertentangan yang paling mendasar adalah begaimana mengganti pendapatan yang hilang. Ini hanyalah tiga contoh yang boleh jadi berkecamuk dalam diri orang yang hendak mengundurkan diri.
Namun, di atas semua itu adalah dengan memutuskan mengundurkan diri ada kaitannya dengan keberanian mengambil risiko. Yang dimaksud di sini adalah mencegah terjadinya kerusakan atau kerugian atau kekacauan yang lebih meningkat jika masih memegang suatu jabatan. Sementara itu, dalam setiap pengangkatan sudah tertera tugas masing-masing dan pencapaian yang harus diraih. Jika tidak mungkin mencapai sasaran dengan memperhitungkan segala kemungkinan, maka pengunduran diri adalah jalan terbaik.
Sekarang muncul pertanyaan, dengan pengunduran diri kedua pejabat tersebut, sejauh mana ini akan menjadi kebiasaan? Jelas sekali terlihat perbedaan yang sangat jelas antara kedua Dirjen yang mundur dengan RJ Lino mantan Dirut Pelindo 2. RJ Lino dengan arogannya mengatakan tidak bersalah dan tidak akan mengundurkan diri. Rupanya ia memilih diberhentikan dari jabatan atau dipecat ketimbang mengundurkan diri. Nampaknya ia tidak pernah mengaca atau tidak punya kaca? Karena mayoritas pemangku kepentingan sudah tidak bisa menerima tindakan, keputusan, dan kebijakan yang diambil selama menjadi Dirut Pelindo 2 termasuk dalam soal urusan crane.
Tradisi:
Yang menarik dari pengunduran kedua Dirjen ini adalah tanggapan masyarakat yang sangat positif. Masyarakat pada umumnya sangat memuji pengunduran diri ini karena ini menunjukkan keberanian, kejujuran, dan keterusterangan mereka berdua. Lebih jauh lagi masyarakat mengharapkan tindakan yang altruistik ini bisa ditiru oleh pejabat manapun untuk mengundurkan diri jika sudah tidak mampu. Tetapi, pertanyaan selanjutnya, apakah semudah itu hal akan ditiru ?
Dalam  iklim masyarakat kita yang paternalistik bukan sesuatu yang mudah untuk mengambil keputusan yang di luar kebiasaan. Apalagi ini menjadi suatu budaya bahwa loyalitas kepada negara, atasan, dan jabatan mendominasi masyarakat kita, bukan hanya birokrasi. Oleh karena itu, ada iklan lama dari perusahaan mebel dan furniture bahwa : kalau sudah duduk akan lupa berdiri.
Namun demikian, masyarakat kita yang sedang dalam proses mengembangkan iklim demokrasi, sudah mulai berubah. Pengunduran kedua Dirjen tersebut sedikit banyak akan memicu munculnya kasus atau kejadian serupa. Apalagi kalau sudah ada desakan dari masyarakat. Boleh jadi, tindakan pengunduran diri ini akan disusul oleh pengunduran diri yang lainnya jika tidak kompeten. Bahkan masyarakat akan mengharapkan bahwa pengunduran diri dari suatu jabatan jika yang bersangkutan tidak mampu akan menjadi suatu tradisi.
Akan halnya suatu tradisi, tentu tidak sekejap mata, dan tidak seperti membalikkan tangan. Hanya saja dengan dengan era media sosial, proses ini boleh jadi akan mengalami akselerasi, percepatan, dan pergerakan yang tinggi. Hasil akhirnya pasti akan menguntungkan masyarakat. Bagaimanapun ini merupakan suatu tradisi yang baik. Semoga akan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H