Setelah lama tidak terdengar kini muncul kembali gagasan untuk mendirikan industri bahan baku obat untuk Indonesia. Gagasan ini diucapkan oleh Nila Moeloek yang Menteri Kesehatan. Gagasan ini juga penah dilemparkan oleh Fadila Supari yang menjadi Menteri Kesehatan sebelumnya. Alasan dari keinginan ini sama yaitu mengurangi ketergantungan kita terhadap bahan baku obat. Gagasan lama yang diperbaharui ini kebetulan dilontarkan ketika nilai tukar rupiah merosot tajam terhadap dolar Amerika Serikat. Padahal impor bahan baku obat telah menguras kemampuan ekonomi kita karena harus dibeli menggunakan dolar Amerika Serikat atau mata uang asing lainnya.
Memang serasa indah untuk menyampaikan gagasan yang selaras dengan kebijakan pemerintah untuk memperkuat sendi-sendi ekonomi kita sambil mengurangi ketergantungan terhadap luar negeri. Masalahnya apakah gagasan itu realistis? Apakah mimpi tersebut pernah ditanyakan kepada para pemain industri farmasi utama nasional kita? Jangan-jangan mereka lebih senang mengimpor dari negara-negara seperti Cina dan India yang kuat dalam industri bahan baku farmasinya. Bahkan industri farmasi kita juga ada yang mengimpor bahan baku obat dari Hongaria yang murah dan berkualitas.
Masalah kebijakan untuk mendirikan industri bahan baku pernah diterapkan ketika Dr Midian Sirait menjadi Direktur Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Kebijakannya waktu itu adalah bahwa setiap industri farmasi asing yang sudah beroperasi lebih dari 5 tahun minimal harus memproduksi satu jenis bahan baku obat. Kebijakan ini enak sekali jika dilihat. Entah apa alasannya ada satu industri farmasi asing yang memproduksi bahan bakunya di Indonesia. Tapi mereka hanya memproduksi dalam skala kecil untuk kebutuhan sendiri. Belakangan kebijakan ini macet. Bahkan industri farmasi asing tersebut sudah tidak memproduksi lagi bahan baku walaupun industri farmasi asing tersebut masih beroperasi dan eksis di Indonesia sampai saat ini.
Cerita lama:
Keinginan untuk mendirikan industri bahan baku obat merupakan cerita lama. Selang waktu tertentu ada saja yang menyuarakan keinginan tersebut. Umumnya keinginan, harapan, dan gagasan tersebut datang dari para birokrat. Bahkan sepertinya tiap ganti Menteri Kesehatan selalu terkuak. Katakanlah 5 tahun sekali. Intinya adalah keinginan untuk tidak tergantung dari bahan baku impor. Dalam istilah lama adalah berdikasi dalam bidang ekonomi.
Satu catatan menarik, adalah bahwa pada tahun 1971 pihak mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Farmasi Ars Praeparandi sudah mengadakan seminar dalam farmasi yang mana salah satu topik yang dibahas adalah peluang dan tantangan dalam mendirikan industri bahan baku obat di Indonesia. Ini kejadiannya adalah 44 tahun yang silam.
Setelah lebih dari 4 dekade, kita masih saja bicara perlunya untuk mendirikan industri bahan baku obat. Sudah bisa dipastikan bahwa dalam kurun lebih dari 4 dekade, pasti puluhan naskah, artikel, hasil pengkajian dalam membahas industri bahan baku obat telah dihasilkan. Namun, implementasinya tidak ada sama sekali. Jadi kita selama ini jalan di tempat.
Sebetulnya paling mudah adalah bertanya khususnya kepada pihak industri farmasi nasional, pendapat mereka tentang perlunya industri bahan baku obat di Indonesia? Pertanyaan berikutnya adalah apakah mereka mau membeli bahan baku obat produksi dalam negeri kalau sudah ada industrinya? Pertanyaan yang paling penting adalah sejauh mana mereka berkeinginan untuk berpartisipasi dalam bentuk investasi untuk industri bahan baku obat? Ini prioritas. Sedangkan industri farmasi asing pasti lebih sulit untuk diajak serta karena mereka tergantung kepada kebijakan induk perusahaannya.
Ekonomis:
Ada semacam keyakinan di kalangan birokrat kita sebagai pembuat kebijakan bahwa sebetulnya kalau ada political will barangkali sudah lama kita bisa mempunyai industri bahan baku obat. Pernyataan generik seperti ini bisa benar atau salah. Karena yang namanya opini, pernyataan, atau ungkapan tidak mengandung risiko. Hanya saja kalau dikuliti lebih jauh, untuk mendirikan industri bahan baku banyak syarat-syaratnya. Utamanya adalah bahwa harus didukung oleh industri petrochemical termasuk industri kimia dasar yang komprehensif, kuat, dan lengkap. Ini yang belum sepenuhnya kita miliki. Padahal ketika Thailand memulai industri ini pada dekade 1990an kita juga sama-sama memulainya. Hanya saja yang dimiliki Thailand berkembang dengan baik sedangkan yang kita miliki dililit hutang.
Selain itu, harus ada cetak biru dan road map  yang jelas. Tentu dalam hal ini kita tidak bisa membangun segala macam bahan baku obat, Harus ada urutan prioritasnya. Kemudian yang juga penting adalah ada tahapan-tahapannya.
Untuk melaksanakan semua ini kita harus memiliki sumber daya manusia yang berkelas. Lulusan dari Perguruan Tinggi kita harus kita kirim negara-negara maju untuk memperoleh pendidikan tambahan. Â Bagaimanapun kita harus mampu menjalankannya dengan sumber daya manusia kita sendiri. Kerja sama dengan industri bahan baku global bisa dimungkinkan selama sama-sama memperoleh manfaatnya.
Satu catatan utama adalah untuk memulainya  harus ada masukan, partisipasi, dan kemitraan dengan industri farmasi nasional. Intinya adalah partisipasi pemain-pemain utama dalam industri farmasi kita. Ini yang tidak mudah. Karena bagi mereka ini semua ekonomi biaya tinggi. Belum lagi kalau sudah bicara kualitas yang harus pharmaceutical grade. Sudah bukan rahasia lagi bahwa akan lebih ekonomis jika mengimpor bahan baku dari negara-negara tertentu.
Adakah solusinya?:
Tidak mudah untuk mengalahkan ego kita sendiri apalagi bercampur dengan rasa nasionalisme. Tanpa ingin mengecilkan keinginan untuk memiliki industri bahan baku obat sendiri, nampaknya akan lebih realistis jika kita tidak terburu-buru mendirikannya. Akan lebih baik berjalan seperti ini. Bahan baku obat tetap kita impor. Tentu dengan potensi pasar kita yang besar, seharusnya kita bisa memperkuat posisi tawar menawar yang kita miliki.
Sementara kita lupakan cita-cita untuk mempunyai industri bahan baku obat. Â Ini bukan sama sekali untuk menumbuhkan pesimisme. Karena banyak hal yang lebih penting dalam bidang farmasi yang bisa dikembangkan. Mendukung modernisasi industri jamu kita akan merupakan pilihan yang lebih baik. Justru ini kekuatan utama kita sesungguhnya yang tidak akan mampu pihak lain melakukan copy paste. Tentu saja industri famasi obat modern tetap harus didukung untuk berkembang. Walaupun secara ekonomis hampir tidak mungkin bagi para pemain utama industri farmasi kita menjadi perusahaan yang berbasis riset dan inovasi untuk menemukan obat baru kalau memulainya dari fase awal. Karena biayanya yang sangat tinggi. Akan tetapi, bukan tidak mungkin jika para pemain utama dalam industri farmasi kita melakukannya dari fase menengah (intermediate).
Kembali kepada industri bahan baku obat, akan merupakan suatu anomali dalam ekonomi kesehatan bahwa jika lebih ekonomis mengimpor bahan bahan baku obat, mengapa kita harus memiliki industri bahan baku obat sendiri? Bagaimanapun efisiensi dan efektifitasa selalu merupakan pertimbangan dasar dalam bisnis. Bukankah demikian?.
Â
Â
Sumber gambar:Â http://ahlikolesterol.com/wp-content/uploads/2015/02/obat-obatan.jpg
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI