Mohon tunggu...
Ahmad Fuad Afdhal
Ahmad Fuad Afdhal Mohon Tunggu... Dosen - Ph.D.

Pengamat isu sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perombakan Kabinet; Antara Nilai dan Nama

6 Juli 2015   17:43 Diperbarui: 6 Juli 2015   18:28 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kinerja atau pencapaian biasanya kriteria untuk menilai prestasi seseorang. Ini adalah cara yang paling sederhana. Tapi cara ini boleh jadi hanya cocok untuk dipakai dalam bidang pemasaran. Cara ini tidak tepat dalam menilai suatu pekerjaan yang kompleks dari seseorang yang memimpin Kementerian.

Konon penilaian seorang Menteri dilakukan terhadap 3 kriteria. Ketiga kriteria tersebut adalah sejauh mana reorganisasi Kementerian telah selesai, serapan anggaran, dan pelaksanaan Nawa Cita dalam kementerian sesuai janji Jokowi saat kampanye. Kemudian hasil penilaian tersebut memperoleh 3 jenis warna, merah bagi yang tidak berhasil, hijau bagi yang berhasil, dan kuning bagi yang terdapat di antara keduanya.

Kalau betul ketiga kriteria tersebut yang akan menjadi landasan penilaian, terlihat bahwa landasan penilaian tersebut memiliki celah untuk diperdebatkan. Pertama adalah masalah reorganisasi. Pertanyaan terkait di sini, apakah waktu selama 6 bulan cukup untuk melakukan reorganisasi suatu kementerian ? Padahal semua tahu bahwa organisasi suatu kementerian sangat kompleks. Kesulitan pasti akan terasa bagi seorang Menteri yang latar belakangnya bukan PNS (pegawai negeri sipil) atau bukan seorang birokrat. Artinya, bagi Menteri yang berasal dari swasta pasti tingkat kesulitannya lebih tinggi.

Kemudian soal resapan anggaran. Secara teoritis memang kabinet yang sekarang sudah bekerja selama 6 bulan. Namun jangan lupa bahwa selama beberapa bulan pertama terjadi kekisruhan dengan DPR. Ini jelas sangat mengganggu operasional suatu Kementerian yang boleh jadi mengganggu resapan anggaran.

Sementara itu soal implementasi Nawa Cita dalam program kementerian, nampaknya ada beberapa faktor yang terkait. Faktor-faktor tersebut adalah pemahaman tentang Nawa Cita itu sendiri. Kedua, sejauh mana pengarahan kepada tiap menteri telah tercapai? Ini juga menyangkut rentang kendali suatu kementerian dan koordinasi dengan kementerian lainnya. Alhasil, waktu 6 bulan terasa singkat dalam menerjemahkan Nawa Cita menjadi program-program.

Nilai :

Kembali kepada keinginan Presiden Joko Widodo untuk mengadakan perombakan kabinet, dalam beberapa kesempatan Jokowi mengutarakan ketidakpuasan terhadap kinerja para Menteri dalam bidang ekonomi-keuangan. Ini suatu pernyataan yang tepat karena yang dirasakan langsung oleh rakyat adalah dalam bidang ekonomi-keuangan. Nampak sekali ada kecemasan pada diri Jokowi. Oleh karena itu, lepas dari waktu 6 bulan yang terasa kurang bagi seorang Menteri, rakyat tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

Akan halnya perombakan kabinet kelak, tentu tidak akan dilakukan tambal sulam, sekadar mengganti A dengan B atau memindahkan C ke tempat D serta D menduduki tempat C. Idealnya siapapun yang akan ditempatkan menjadi Menteri , maka yang utama adalah nilai apa yang bisa diberikan bagi kabinet ini, bagi masyarakat, dan bagi Negara. Untuk mengetahui nilai yang bisa diberikan seseorang, maka harus dilihat rekam jejaknya. Kemudian, dari pembicaraan dengan Presiden Joko Widodo, bisa diketahui pemikiran-pemikiran yang bernilai.

Yang harus dicegah adalah mendahulukan nama dari nilai. Maksudnya, kepopuleran nama seseorang tidak identik dengan nilai. Apalagi masa kini popularitas bisa digapai melalui public relations. Ketenaran seseorang memang bukan sesuatu yang negatif. Karena dengan ketenaran maka lebih mudah untuk menggerakan masyarakat serta meningkatkan partisipasi masyarakat. Padahal ini yang diperlukan dalam alam demokrasi.

Akhirnya kita tetap harus mendahulukan nilai yang bisa diberikan seseorang dibandingkan sekadar nama besar. Kalau diibaratkan suatu tim sepakbola, Presiden Joko Widodo memiliki berbagai fungsi antara lain pemimpin, kapten, dan motivator. Bahkan bisa juga berfungsi sebagai seorang pelatih. Dalam menentukan starting eleven pasti tidak sekadar nama, tetapi nilai apa bisa diberikan kepada tim. Hal yang sama pada pergantian pemain, yang diutamakan adalah nilai. Karena nilai tadi diperlukan untuk solidnya suatu tim dan untuk kerjasama sama yang apik bagi suatu tim. Kalau ini sudah dicapai maka akan lebih mudah bagi seorang pelatih untuk memberikan pengarahan dalam melaksanakan strategi operasional. Walau begitu, kondisi di lapangan tidak selalu sesuai dengan prediksi seorang pelatih. Di lapangan seorang pemain juga harus mampu menyesuaikan diri dan melakukan improvisasi tanpa mengurangi kerja sama. Di sini dituntut kemampuan seorang pemain menekan egonya. Kalau dalam kabinet, pemikiran sektoral harus diminimalkan untuk suatu yang lebih besar, nilai bagi suatu kerja sama dalam mencapai sasaran-sasaran yang sudah disepakati. Peran seorang Presiden adalah pemersatu. Semoga pemikiran ini mempunyai suatu arti dan bermanfaat.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun