Fajar datang bersama Mentari, Â tersenyum bersama membuat semua yang ada di bumi terpesona dan menyapa mereka. Embun yang dengan nyaman tidur pun ikut terbangun "tes, tes, tes." mereka segera beranjak dari tempat ternyaman mereka. Begitu juga dengan penghuni kamar berdinding bambu itu.
 "Gedebuuk" Ia terjatuh saat bangun dari zona nyamannya dan ingin segera menyapa fajar dan mentari. Membuka jendela adalah aktivitas pertama yang wajib ia lakukan setelah ia bangun tidur demi melihat pujaannya itu. Begitu sejuk pagi itu, udara terhirup dan langsung terasa di tiap dinding hidung Laki-laki 35 tahunan itu. Matanya terpejam, menarik nafasnya panjang untuk merasakan sejuknya udara pagi saat itu.
Kegaduhan setiap pagi selalu terjadi di desa itu. Ibu-ibu sibuk membuat masakan, bertengkar dengan semua yang ada di dapur, suara "preng" "teng" dan "kluthik" selalu terdengar dan menjadi alarm bagi anak dan suami mereka. Kepanikan Anak-anak yang berlari dikejar jam 7 dan para bapak yang giduh mempertajam sabit mereka dan mencari para cangkul mereka. Namun berbeda dengan penghuni kamar berdinding bambu itu, ia dengan tenang melebarkan matanya dan hanya fokus pada pujaannya itu. Senyum menatap keindahan alam itu.
"Brok ! Brok ! Parno tangi le ! Subuh !"
Perempuan berkulit keriput menggedor pintu yang hampir rapuh mungkin akan jebol jika ia sekali lagi menggedornya. Dengan malas penghuni kamar tersebut meninggalkan tempat favoritnya yaitu jendela, dan beranjak meraih daun pintu dan keluar dari kamar. Tak banyak yang ia lakukan di pagi hari atau bahkan tidak ada yang ia lakukan, yang ia tahu hanya membuka jendela dan menyapa pujaannya. Ini waktu yang ia benci saat ia tidak tahu harus melakukan apa. Jika ia masih menjadi pelajar ia pasti akan pergi sekolah.
 Tapi Ia sudah tidak di bangku pendidikan lagi dan sudah mendapat kertas mahal itu. Kertas itu juga sudah ia sebar dari gedung yang bertingkat empat puluh sampai gedung tidak bertingkat, dari yang luasnya berhektar-hektar sampai yang luasnya  4 X 4 tapi sampai sekarang Hp buntutnya belum berbunyi. Kini ia hanya duduk sambil menikmati teh panasnya.
"Huh... Susahnya cari kerja... hidup kok susah banget biyen kepenak sekarang kok melarat koyo ngene to mbok.." Keluhnya.
"sudah to le... sabar aja ini cobaan buat kamu.. kamu seharusnya belajar dari kesalahan kamu kemarin jangan menyerah le.." ibunya menanggapi.
"Aku juga menyesal mbok, sudah mensiasiakan semuanya. Tapi aku sudah berubah sudah tidak akan seperti itu lagi dan aku juga sudah berusaha mbok, tapi kok.. " perkataan Parno terhenti ketika ibunya, Mbok Darmi memotong.
"sudah le.. simbok tahu kamu sudah berusaha dan berubah bukan seperti dulu.. simbok yakin pasti kamu akan mendapatkannya" ucap mbok Darmi lembut dan Parno pun hanya diam.
Menyesal, menyesal dan menyesal. Rasa itu terus memburu Parno. Membuat ia harus meminum obat sakit kepala setiap hari dan terus melamun meratapi kesalahannya. Ia begitu menyalahkan dirinya sendiri. Kenikmatan Teh membuatnya lagi dan lagi harus menuju pada pikiran yang mengusiknya dari tiga tahun lalu.
Ya tiga tahun lalu Parno bangun dan membuka jendela menyapa pujaanya yang tersenyum dan balik menyapanya membuat ia semakin bersemangat untuk melakukan aktivitasnya. Ia menggunakan kemeja lengkap dengan dasi dan tas seperti para pekerja kantoran biasanya. Menggunakan sepeda motornya menyusuri area persawahan dan sebentar sampai ke kota. Gedung tinggi di sebelah timur itu menunggunya. Ia masuk dan memulai aktivitasnya bersama dengan berkas-berkas yang tertumpuk di meja kerjanya. Ia begitu menikmati pekerjaanya sampai tak mendengar ada yang memanggilnya.
" Parno ! "
 Orang yang memanggilnya itu berteriak, membuatnya langsung terlonjak dan bertanya kenapa. Oh Sukarno rekan kerjanya meminta Parno menemui atasannya. Dan betapa terkejutnya ia ketika mendengar kabar itu langsung dari atasannya bahwa ia dipilih untuk menjadi Direktur di kantornya, itu karena prestasi yang selama ini telah ia hasilkan dan sikapnya baik ketika bekerja. Sejuta kata Terimakasih membanjiri ruangan atasannya itu dan tak henti-hentinya Parno membungkuk dan mengulum senyum pada atasannya itu.
Waktu berjalan. Mengucap terimakasih dan membungkukkan badan menjadi jarang dilakukan Parno, bahkan senyum darinya adalah mahal harganya. Â Keramahannya sudah terkubur bahkan hilang entah kemana. Dulunya Gubuk berdinding bambu dan berlantai tanah, kini berubah menjadi dinding beton dan berlantai keramik. Motor buntutnya ia buang dan diganti mobil. Ia meninggalkan orang tuanya, rumah gubuknya, dan meninggalkan pujaanya yang setiap pagi menyapanya itu.Â
Semuanya berubah, Parno hidup di kota dengan fasilitas wah yang ia miliki. Di desa Orang tuanya sengsara karenanya. Begitu juga dengan pujaanya, mereka menjadi murung karena Parno mengacuhkannya dan berpaling pada kertas yang membuat Parno gila. Uang adalah prioritas untuk Parno. Ia melakukan apapun untuk mendapatkanya bahkan menghalalkan semua cara. Uang membuatnya senang juga sekaligus menjadi bom bunuh diri untuknya.
Suatu hari ada tiga orang kerumah betonnya, mengetuk pintu dan bertanya.
"Apakah anda saudara Parno ? kami dari pihak kepolosian diperintahkan untuk menangkap anda karena tindakan yang telah anda lakukan yaitu, penggelapan uang."
Parno melongo mendengarnya, hatinya mencelos. Tangan tiga orang tersebut segera memborgol dan membawanya naik mobil mewah, tapi sayang itu mobil polisi. Orang tua Parno kaget mendengar anaknya seperti itu. Akhirnya Parno menjadi penghuni rumah barunya yang ketiga, yang berdinding beton dan jeruji besi dan meninggalkan rumah pertama dan keduanya.
 "Kring... kring.. kringg !" bunyi HP buntunya membuyarkan semua pikiran masa lalunya. Parno segera mengangkat teleponnya dan betapa bahagianya ia, penantiannya berakhir. Parno diterima kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H