Mohon tunggu...
Fatimah Arum Utari
Fatimah Arum Utari Mohon Tunggu... -

Belajar. Menerima kritik dan saran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiga Rumah Parno

19 Juni 2017   21:33 Diperbarui: 19 Juni 2017   21:34 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya tiga tahun lalu Parno bangun dan membuka jendela menyapa pujaanya yang tersenyum dan balik menyapanya membuat ia semakin bersemangat untuk melakukan aktivitasnya. Ia menggunakan kemeja lengkap dengan dasi dan tas seperti para pekerja kantoran biasanya. Menggunakan sepeda motornya menyusuri area persawahan dan sebentar sampai ke kota. Gedung tinggi di sebelah timur itu menunggunya. Ia masuk dan memulai aktivitasnya bersama dengan berkas-berkas yang tertumpuk di meja kerjanya. Ia begitu menikmati pekerjaanya sampai tak mendengar ada yang memanggilnya.

" Parno ! "

 Orang yang memanggilnya itu berteriak, membuatnya langsung terlonjak dan bertanya kenapa. Oh Sukarno rekan kerjanya meminta Parno menemui atasannya. Dan betapa terkejutnya ia ketika mendengar kabar itu langsung dari atasannya bahwa ia dipilih untuk menjadi Direktur di kantornya, itu karena prestasi yang selama ini telah ia hasilkan dan sikapnya baik ketika bekerja. Sejuta kata Terimakasih membanjiri ruangan atasannya itu dan tak henti-hentinya Parno membungkuk dan mengulum senyum pada atasannya itu.

Waktu berjalan. Mengucap terimakasih dan membungkukkan badan menjadi jarang dilakukan Parno, bahkan senyum darinya adalah mahal harganya.  Keramahannya sudah terkubur bahkan hilang entah kemana. Dulunya Gubuk berdinding bambu dan berlantai tanah, kini berubah menjadi dinding beton dan berlantai keramik. Motor buntutnya ia buang dan diganti mobil. Ia meninggalkan orang tuanya, rumah gubuknya, dan meninggalkan pujaanya yang setiap pagi menyapanya itu. 

Semuanya berubah, Parno hidup di kota dengan fasilitas wah yang ia miliki. Di desa Orang tuanya sengsara karenanya. Begitu juga dengan pujaanya, mereka menjadi murung karena Parno mengacuhkannya dan berpaling pada kertas yang membuat Parno gila. Uang adalah prioritas untuk Parno. Ia melakukan apapun untuk mendapatkanya bahkan menghalalkan semua cara. Uang membuatnya senang juga sekaligus menjadi bom bunuh diri untuknya.

Suatu hari ada tiga orang kerumah betonnya, mengetuk pintu dan bertanya.

"Apakah anda saudara Parno ? kami dari pihak kepolosian diperintahkan untuk menangkap anda karena tindakan yang telah anda lakukan yaitu, penggelapan uang."

Parno melongo mendengarnya, hatinya mencelos. Tangan tiga orang tersebut segera memborgol dan membawanya naik mobil mewah, tapi sayang itu mobil polisi. Orang tua Parno kaget mendengar anaknya seperti itu. Akhirnya Parno menjadi penghuni rumah barunya yang ketiga, yang berdinding beton dan jeruji besi dan meninggalkan rumah pertama dan keduanya.

 "Kring... kring.. kringg !" bunyi HP buntunya membuyarkan semua pikiran masa lalunya. Parno segera mengangkat teleponnya dan betapa bahagianya ia, penantiannya berakhir. Parno diterima kerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun