Menjelang berangkat.
Setelah proses administrasi rampung, penulis segera menyiapkan perlengkapan, peralatan dan sejumlah logistic yang diperlukan. Termasuk obat-obatan P3K praktis yang terdiri dari obat-obatan Aloepathy (generic) dan Homoepathy. Tidak lupa alat dokumentasi beserta film nya. Ada 4 roll film penulis siapkan.Â
Untuk hal biaya, penulis menjalankan list dana kepada komunitas jemaah. Dimana dana tersebut digunakan untuk keperluan operasional saat di Aceh.Â
Alhamdulillah, para jemaah pun memberikan sedikit sebagian rezkinya kepada penulis. Bersyukur lagi ada seorang remaja jemaah masjid yang mau ikut pula (Adhi).
Ketika mendaftar lagi, ada seorang pemuda lain ikut mendaftar di Pemko Padang. Ia warga Aceh berasal dari Meulaboh yang tengah bekerja di Padang.Â
Lalu, ia menceritakan tidak dapat kontak dengan keluarganya. Ia bernama Anwar. Khawatir terjadi hal yang tidak dinginkan, beliau berusaha mencoba berangkat lewat darat.
Pasca gempa dan tsunami, jaringan listrik, telepon dan seluler mati total sama sekali. Tidak ada yang bisa digunakan untuk mendengarkan info kabar selanjutnya dari Aceh.
Usaha si Anwar itu rupanya gagal. Karena ketika sampai di Binjei mobil yang ditumpanginya tidak diperbolehkan meneruskan perjalanan oleh aparat keamanan. Alasan, karena daerah perbatasan ke Aceh masih rawan keamanan. Mobil disuruh putar balik arah.
Terpaksalah beliau balik ke Medan dan lanjut lagi pulang ke Padang. Usahanya sementara gagal. Namun, Tuhan masih memberikan jalan kepada beliau. Pengumuman dari Pemko Padang untuk merekrut relawan diketahui olehnya.
Beliau ikut mendaftar ketika kami jumpa. Di kantor Walikota ini penulis berkenalan dengannya. Beliau menanyakan tentang cara proses pendaftaran. Dan ia juga menyampaikan kepada penulis bahwa ia berasal dari Meulaboh dan info keluarganya belum dapat kabar sama sekali.
Penulis mendengar cerita itu segera membantu percepatan proses administrasi. Beliau ternyata seorang pegawai di RSUD M. Jamil Padang bagian gizi. Ia pun mendapat rekomendasi dari rumah sakit tersebut untuk pindah kerja ke RSUD Meulaboh.
Terlihat juga dari mimik mukanya yang menahan sedih dan rindu keluarganya yang sampai saat itu belum dapat kabar. (Terakhir setelah sampai di Meulaboh keluarganya selamat, hanya sanak familinya yang jadi korban gempa dan tsunami).
Jadwal keberangkatan awalnya tanggal 5 Januari 2005 menggunakan moda transportasi laut, yakni kapal perang milik Angkatan Laut RI. Namun karena sesuatu hal, keberangkatan ditunda menjadi tanggal 9 Januari.
Tertundanya keberangkatan, karena kapal perang tersebut lagi perawatan mesin (servis). Boleh dibilang sekalian ganti oli mesin kapal. Jadi kami menunggu beberapa hari lagi.
Menjelang menunggu keberangkatan, ada 2 kali meeting dengan Pemko Padang. Dalam pertemuan itu diberikan arahan dan petunjuk saat bertugas sebagai relawan di Aceh nanti.
Walikota Padang, Fauzi Bahar yang juga mantan mariner, mengatakan bertugaslah dengan ikhlas dan tanpa pamrih membantu saudara-saudara kita di Aceh. Yang terpenting lagi mental dan fisik harus kuat.
Walikota ini pun menceritakan pengalamannya saat masih aktif di militer sebagai Angkatan Laut. Baik saat latihan maupun saat menuju medan konflik. Pernah dia sambil berlari dan berjalan melakukan ibadah sholat. Ketika itu memang waktu dan situasi sangat genting.
Tujuan beliau menceritakan ini, adalah agar relawan yang muslim tetap menjalankan ibadah sholat bagaimana pun keadaannnya. Tidak lupa pula mengingatkan untuk update perkembangan kegiatan relawan kepadanya.
Dari sekian nama-nama yang mendaftar, kemungkinan tidak semua bisa diberangkatkan. Bagi yang tidak lolos seleksi, masih bisa membantu yakni dengan mengatur logistic di gudang. Itu pun juga sudah menjadi amal bagi mereka yang tidak bisa berangkat.
Dari pihak kepolisian juga memberikan edukasi tentang adat dan budaya masyarakat Aceh.Â
Beliau, yang juga orang Aceh menerangkan bahwa Aceh tidak banyak beda dengan Prov. Sumbar. Sama- sama mengacu "syariah" sebagai pedoman dalam keseharian. Begitu juga dengan adat dan budayanya.
Terakhir disampaikan, agar para relawan tetap saling berkoordinasi dengan pihak keamanan setempat. Tidak boleh ada yang bergerak atau melakukan sesuatu di luar prosedur.
Setelah itu, persiapan terakhir adalah test di Posko Angkatan Laut yang terletak di Bukik Putuih (Bukit Putus) dekat Pelabuhan Kapal, Teluk Bayur.Â
Test kali ini lebih dititikberatkan ke interview. Awalnya kami menduga ada uji test fisik dan mental. Ternyata bukan seperti itu.
Pertanyaan seperti tentang wawasan tentang SAR (search and rescue) dan kesiapan mental lebih banyak ditanyakan.Â
Dari sekian banyak yang mendaftar seperti tulisan di atas, yang dinyatakan bisa lulus dan berangkat, yakni sebanyak 68 relawan.
Upacara keberangkatan.
Pada hari Jumat, tanggal 7 Januari 2005 bertempat di halaman parkir pelabuhan kapal, Teluk Bayur, Padang dilakukan upacara pelepasan keberangkatan Relawan Kota Padang (RKP).
Bertindak sebagai inspektur upacara, Gubernur Sumatera Barat, H. Zainal Bakar, SH. Upacara dihadiri juga dari DPRD Sumbar, DPRD Kota Padang, Instansi AL dan AD, Walikota Padang, perwakilan Kampus Unand, serta dari unsur Muspika lainnya.
Dalam amanatnya, Gubernur Sumbar menekankan kerja sama dan sinergi yang solid serta bekerja dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Selain itu juga menyampaikan tentang bantuan yang selanjutnya akan terus diberikan kepada masyarakat Aceh.
Dari Walikota Padang, juga menyampaikan, bahwa warga Aceh di Kota Padang cukup banyak. Mereka rata-rata sebagai pedagang dan ikut berkontribusi dalam menggerakan ekonomi Kota Padang.
Tidak lupa pula disampaikan, jumlah bantuan uang dan logistic lainnya. Termasuk bantuan speed boat berjumlah 10 unit.Â
Nantinya digunakan sebagai transportasi laut menuju titik-titik lokasi lainnya di pesisir Aceh, mengingat jalur darat masih sulit ditembus.
Selesai sambutan, dilakukan seremoni penyematan rompi kepada relawan. Dalam hal ini, 2 orang perwakilan dari Mapala Unand ditunjuk ke depan. Setelah itu upacara selesai dan dibubarkan. Ada sekitar 1 jam lebih upacara dilakukan.
Acara pelepasan keberangkatan relawan RKP ini banyak disaksikan masyarakat sekitar. Tidak lupa pula dari keluarga para relawan, sanak famili, dan teman-teman. Termasuk liputan dari berbagai media cetak maupun elektronik.
Selesai upacara dan sholat jumat, prepare masih terus dilakukan. Sejumlah bantuan logistic masih terus dimuat ke kapal KRI Teluk Peleng 535. Pakaian bekas layak pakai yang dimuat dalam karung dimasukkan ke dalam lambung kapal.
Sekedar untuk diketahui, kapal KRI Teluk Peleng ini adalah kapal eks Jerman Timur. Kemudian di beli oleh pemerintah pada tahun 1993 yang masa itu di era pemerintahan Soeharto. Kapal tersebut kemudian digunakan untuk kelengkapan Angkatan Laut RI.
Kapal ini sebagai armada pendarat bagi pasukan marinir dan pemasok logistic. Berbobot 1900 ton. Memiliki ukuran dimensi 90,70 meter x 11,12 meter x 3,4 meter. Ditenagai dengan 2 mesin diesel, 2 shaft yang sanggup mendorong kapal dengan kecepatan 18 knot.
Kapal perang ini diproduksi pada tahun 1978 di galangan kapal VEB Peene Werft, Wolgast, Mecklenburg-Vorpommern, Jerman Timur. Dilengkapi dengan senjata dua unit meriam canon laras ganda caliber 33 mm Model-1939, dua unit meriam Bofors 40/70 berkaliber 40 mm dengan kecepatan tembakan 120-160 rpmm dan jangkauan 10 km. Kelengkapan lainnya yaitu sensor elektronik radar MR-302/Strut. (sumber)
Lanjut ke prepare, peralatan dan perlengkapan relawan diletakkan ke dalam lambung kapal. Sementara makanan dan minuman di atas geladak kapal. Mengingat masih banyaknya bantuan yang datang, sejumlah logistic lainnya akan dimuat pada esok harinya.
Pada awalnya relawan RKP dalam surat pemberitahuan kepada Pemko Padang, berangkatnya menuju Meulaboh. Karena dari informasi yang beredar, Meulaboh masih kekurangan bantuan logistic dan relawan.
Di samping itu para relawan yang sudah berdatangan tidak banyak menumpuk di Banda Aceh. Pemberitahuan ini disetujui oleh Pemko Padang.
Akses jalan darat dari Banda Aceh ke kota lain atau ke pesisir Barat Aceh yang hancur akibat gempa dan tsunami masih sulit ditembus. Itu dikarenakan banyak jembatan yang runtuh. Belum lagi jalan banyak yang rusak dan ditimbuni reruntuhan puing bangunan. Satu-satunya moda transportasi untuk menuju kesana dengan menggunakan helicopter dan kapal-kapal kecil.
Itu pun membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Belum lagi soal keamanan di lapangan. Disinyalir gangguan keamanan pasca gempa dan tsunami masih terjadi.
Untuk diketahui, bahwa GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang ketika itu masih ada, ikut terimbas akibat bencana alam ini. Dimana mereka juga membutuhkan logistic.
Relawan RKP memutuskan untuk turunnya di Meulaboh. Hal ini selanjutnya disampaikan kepada Kapten kapal.Â
Awalnya kami akan diturunkan di Banda Aceh. Lalu oleh  korlap (koordinator lapangan) RKP, Budi Azwar menerangkan kepada sang Kapten kapal perihal tujuan daerah yang akan kami datangi.
Sempat terjadi diskusi. Mungkin sang Kapten belum tahu soal tujuan daerah yang akan kami tuju. Lalu oleh Kapten kapal melobi atasannya di Medan lewat telepon satelit. Setelah cukup lama berbincang-bincang, permintaan kami akhirnya diluluskan, yakni diturunkan ke Meulaboh.
Menurutnya lagi, Kota Meulaboh dan sekitarnya meskipun sudah ada yang berdatangan, tapi tetap masih kekurangan relawan dan logistic.Â
Sang Kapten pun meminta, agar para relawan betul-betul menyalurkan logistic tepat sasaran.
"Jadi buat adik-adik mahasiswa, tolong betul-betul mengarahkan bantuannya tepat sasaran. Dan terpenting lagi tetap jaga kekompakkan dan berkoordinasi dengan aparat setempat serta instansi lainnya," begitu kira-kira pesan sang Kapten kapal yang masih penulis ingat.
Tidak lupa pula disampaikan, bahwa para relawan ini selama di kapal, adalah tanggung jawab kami (AL). Setelah itu saat mendarat, para relawan jadi tanggung jawab pihak aparat keamanan darat (TNI-AD).
Selama di kapal, kami diingatkan untuk selalu memperhatikan kebersihan dan ketertiban. Ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan selama di atas kapal. Misal, bersandar di tepi kapal yang sedang jalan, tidak boleh lari-lari, dan lain-lain.
Begitu juga saat mau dan sesudah mandi, handuk hendaknya diletakkan di atas lengan, bukan diselempangkan ke pundak /bahu.Â
Dalam pikiran penulis, tidak sekedar disiplin saja, tapi kerapian dan estetika tetap harus dijaga.
Begitulah uraian singkat dari sang Kapten kapal kepada para relawan RKP. Kemudian ditambah juga oleh asistennya yang mana untuk memasak boleh menggunakan alat masak di kapal ini. Serta tidak lupa untuk membersihkan perkakas yang digunakan. Pendek kata, kebersihan, kerapian, dan ketertiban tetap selalu dijaga.
Terima kasih banyak Kapten, atas perhatian dan kerja samanya sehingga kami dapat bertugas di Meulaboh nanti.Â
((Bersambung))
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H