Tidak terasa, sudah 17 tahun peristiwa kejadian bencana alam dahsyat berupa gempa dan tsunami yang melanda Aceh dan Nias pada 26 Desember 2004 yang lalu.Â
Sebelum meneruskan tulisan ini, mari kita panjatkan doa kepada para korban gempa dan tsunami Aceh semoga mereka mendapatkan tempat yang terbaik di sisi-Nya, Aamiin.Â
Di sini, penulis tergerak untuk membagikan sedikit cerita pengalaman saat menjadi relawan di Aceh, tepatnya di Meulaboh. Kenapa penulis harus ikut menjadi relawan untuk korban Gempa dan Tsunami Aceh 2004 lalu?Â
Ini pertanyaan sederhana yang dilontarkan teman, saat penulis menjelang berangkat ke Bumi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Ia menanggapi karena untuk ikut sebagai relawan ketika itu agak sulit. Ada beberapa tahap untuk bisa lolos seperti, pengalaman rescue, wawasan SAR (search and rescue), kesehatan, fisik dan mental.
Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah, surat izin dari orang tua jika masih single, rekomendasi dari organisasi dan termasuk dari kelurahan atau kepala desa.
Tulisan ini mengisahkan para relawan yang kala itu di dominasi mahasiswa dari Unand (Universitas Andalas). Baik itu dari Mapala Kampus, Mapala Fakultas, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) lainnya serta masyarakat umum dan kelompok pencinta alam (KPA) yang ada di Kota Padang.
Semua kelompok itu dijadikan satu atas nama Relawan Kota Padang (RKP). Penulis sendiri berangkat sebagai masyarakat umum, meski status masih mahasiswa jg.Â
Agar dapat berangkat, penulis meminta rekomendasi dari Kelurahan dan komunitas jemaah masjid.
Sebagaimana kita ketahui bersama, tidak ada yang akan menyangka kejadian bencana dahsyat menjelang penghujung tahun 2004 (26 Desember 2004) atau awal milenium. Baik oleh masyarakat Aceh sendiri maupun masyarakat daerah lainnya. Bahkan negara asing pun juga tidak pernah mengira peristiwa dahsyat ini bakal terjadi di ujung Pulau Sumatera.