Mohon tunggu...
Firdaus Tanjung
Firdaus Tanjung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memberi dan mengayuh dalam lingkar rantai kata

"Apabila tidak bisa berbuat baik - Jangan pernah berbuat salah" || Love for All - Hatred for None || E-mail; firdaustanjung99@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Hobi, Aku Diberi Hadiah oleh Ibu

3 Januari 2018   21:15 Diperbarui: 3 Januari 2018   21:48 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: inspirasi.co

Sosok Ibu merupakan orang yang sangat berjasa sepanjang hidup kita. Apa pun dilakukan ibu untuk memberikan hal yang terbaik bagi anak-anaknya.

Sejak mengandung dan melahirkan, ibu sudah berjuang untuk anaknya dengan susah payah. Kasih sayang dan air susu ibu (ASI) adalah dua hal nikmat terbesar yang tidak bisa kita bantah.

Masuk pada masa kanak-kanak hingga remaja adalah masa-masa bagi kita penuh dalam perhatian ibu. Saya sendiri dan juga barangkali pembaca sudah pasti ikut merasakan nuansa demikian.

Masa kecil dan remaja adalah moment bagi saya mengenang akan pemberian kasih sayang dari ibu. Begitu juga dengan benda-benda yang pernah diberikan ibu. Ya, sesuatu yang bisa dikatakan Hadiah Dari Ibu.

Sebagai seorang anak ke empat dari empat bersaudara (ketauan anak bungsu ya)  saya memang "dimanja" oleh ibu. Namun bukan berarti saya itu type anak yang suka dimanja. Sebagai anak laki-laki sejak kecil sudah menunjukkan dinamika.

Sejak masa Sekolah Dasar (SD) saya sudah menyukai yang namanya hobi jalan-jalan. Baik itu dengan jalan kaki maupun dengan sepeda.

Biasalah, namanya masa-masa itu keingintahuan di dunia luar sangat besar. Terkadang usai pulang sekolah siang hari langsung menjelajah dengan sepeda lama. Bahkan dilakukan tanpa ingat makan siang atau istirahat sejenak.

Hobi memancing.

Awal kelas lima SD saya sudah mengenal kegiatan memancing ikan di sungai / muara yang ada di Kota Padang. Sebagai kota pantai nuansa ini sudah akrab sejak dari kecil.

Bukit gunung Padang (Bukit Siti Nurbaya) sebagai lokasi favorit memancing (sumber; bernas.id)
Bukit gunung Padang (Bukit Siti Nurbaya) sebagai lokasi favorit memancing (sumber; bernas.id)
Aktivitas memancing biasanya saya lakukan pada hari Minggu atau hari-hari libur nasional. Sementara anak-anak lain sibuk dengan mainan lain misal main layang-layang, saya lebih suka pergi memancing. Bukan berarti tidak suka dengan main layangan.  

Uang jajan sekolah selalu saya sisihkan sedikit buat biaya saat pergi memancing. Tahu akan hal itu, ibu saya tidak marah. Namun demikian ibu tetap wanti-wanti untuk  berhati-hati saat memancing.

Terkadang Ibu juga menambahkan uang jajan kepada saya. Karena ia tahu, saya membawa uang pas-pasan dan selalu bawa berbagai macam ikan. Yang nantinya ikan-ikan itu sudah pasti dimakan bersama.

Suatu ketika tanpa diduga, ibu memberi uang kepada saya dalam jumlah lebih dari sekedar uang jajan. Sewaktu ditanya uang ini untuk apa, ibu menyuruh saya untuk membeli alat pancing. Tak terkira senangnya saya pada waktu itu.

Sampai sekarang benang pancing itu masih ada saya simpan di kampung (Padang). Benang pancing itu digulung dalam roll kayu. Karena saya termasuk orang yang hemat dan cermat dalam peralatan maupun perlengkapan.

Ibu tetap mengingatkan, belajar untuk sekolah jangan sampai diabaikan. Begitulah kira-kira ibu saya memberikan "keleluasaan" mengatur waktu untuk ukuran usia anak SD.

Saya menerapkan kepercayaan ibu. Meski terkadang mendapat omelan kalau pergi-pergi tidak makan atau tidak sempat belajar di rumah karena kecapekan.

Pernah suatu ketika, sewaktu memancing hujan turun dengan deras. Saat itu saya berada di Gunung Padang atau Bukit Siti Nurbaya yang legendaris itu.

Bukit ini selain tempat wisata juga sebagai lokasi memancing yang terletak persis di muara dengan laut. Saya tidak sendiri dan ada banyak orang yang memancing juga.

Hasil mancing baru belasan ekor saja. Saya dan beberapa orang terpaksa berteduh di suatu gubuk. Hujan deras disertai angin kencang membuat aktivitas memancing terhenti.

Dalam hati saya, pasti ibu mencemaskan anaknya yang tengah memancing. Memang awal berangkat cuaca mendung berawan. Tetapi mentari pagi tetap masih bersinar.

Cukup lama juga hujan turun saat itu. Menjelang lepas siang hujan baru berhenti. Saya memutuskan untuk pulang segera. Sebab jika cuaca sudah begini ikan pun sulit didapat.

Dari gang menuju rumah terlihat ibu lagi duduk di teras ditemani oleh kakak-kakak saya. Begitu sampai di rumah, sudah jelas kena omelan ibu ditambah lagi ledekan kakak saya yang paling tua. Saya mencuekin saja dan langsung ke kamar mandi berupa sumur untuk membereskan hasil mancing.

Setelah beres, ibu saya terlihat sedang membuat susu hangat. Kemudian menyuruh saya untuk meminumnya dengan tambahan roti yang sudah disiapkan sebelumnya.

Pikir saya, alangkah perhatiannya ibu saya ini. Tadi diomelin dan sekarang di sayangin. Nyatanya memang begitulah. Lalu tak lama berselang saya disuruh ibu pergi ke dekat gudang. Saya pun sedikit jadi heran.

"Waang liek lah dakek gudang!" (Kau lihatlah dekat gudang), perintah ibu saya. Begitulah kata-kata yang masih saya ingat sampai sekarang.

Rasa penasaran pun semakin besar. Apa gerangan yang ada di dekat gudang?

Samping gudang sedikit gelap, karena saat itu sedang mati lampu. Lalu saya mengambil senter. Dan..., saya kaget bercampur gembira. Ternyata sebuah Sepeda.

Alangkah gembiranya saya saat itu. Bertepatan tak lama berselang lampu hidup. Terlihat jelas sepeda baru. Yaa, ini adalah hadiah dari ibu yang mana saya naik kelas enam SD dengan nilai raport naik signifikan. Meski tidak juara tapi masuk 10 besar.

Jadi saya pergi mancing tidak perlu lagi dengan sepeda lama. Selama pergi memancing terkadang saya bawa sepeda, tapi  lebih sering berjalan kaki. Jarak yang ditempuh ke lokasi mancing sekitar kurang 3 km.

Langsung saja saya tes sepeda baru tersebut. Sepeda yang orang-orang menyebutnya sepeda shanky. Rupanya ibu saya membelinya tak lama saya berangkat memancing pagi tadi.

Seiring dengan nilai raport sekolah yang bagus, rasa percaya diri saya meningkat lagi dengan hadirnya sepeda itu.

Itu adalah hadiah surprise bagi saya dari seorang ibu ketika masa kecil dulu. Sepeda itu cukup lama bertahan hingga sampai ke masa tamat sekolah SMA.

Masa  SMA /remaja.

Orang menyebutnya masa-masa puber. Masa remaja juga penuh gejolak diri dan tantangan. Para orangtua pasti sedikit mencemaskan anak-anaknya terutama yang memiliki anak laki-laki.

Memasuki masa SMA, saya sudah mengenal dunia alam bebas yakni hiking, kemping, dan mendaki gunung.

Hobi yang boleh dikatakan olahraga ekstrim ini ternyata bisa "melambungkan" nama saya untuk ukuran anak-anak remaja pada masa itu.

Maklum pengenalan jati diri pada masa-masa itu fenomenal bagi remaja. Ingin dikenal dan dibanggakan!

Saya pun ikut bergabung bersama teman-teman sekolah ke dalam Siswa Pencinta Alam (Sispala) SMA Negeri 4 Padang. Masih ingat, saat itu pelantikan angkatan pertama di Sispala kami.

Sebelum ikut bergabung saya telah pernah mendaki gunung. Pertama kali mendaki tahun 1991 ke Gunung Singgalang. Pergi ikut rombongan yang sudah senior-senior yang saya kenal dari pergaulan.

Disinilah saya mulai "cinta berat' dengan hobi ini. Disini pula saya tahu akan pentingnya perlengkapan dan peralatan memadai. Selain itu kekompakan dan kerja sama tim juga yang utama dan dipelihara.

Lantas saya mulai manabung sedikit-sedikit guna melengkapi kebutuhan dasar sebagai penggiat di alam bebas yakni perlengkapan dan peralatan. Misal, tas carrier, alat masak, mantel hujan, celana dan baju lapangan, sepatu mendaki gunung, sleeping bed, kompas, tali temali (tali webbing), dan sebagainya.

Ibu pun menyadari bahwa anaknya sudah meningkat dalam masa perkembangan anaknya yang sudah remaja. Pada kenyataannya seorang ibu sudah pasti mencemaskan anaknya kalau-kalau nanti tersesat di hutan gunung.

Karena pada saat itu pernah kejadian pendaki gunung yang hilang di Gunung Singgalang dan juga di Gunung Marapi. Namun faktor hilangnya pendaki tersebut adalah faktor tidak mengetahui teknik dan dasar-dasar sebagai pencinta alam.

Pelan namun pasti saya baru bisa membeli perlengkapan memasak beserta kompornya. Harganya lumayan mahal juga untuk ukuran anak remaja. Sementara perlengkapan lainnya masih meminjam sama teman-teman.

Alat masak kemping, saya beli dengan menabung. Alat masak ini masih bertahan sampai sekarang dan digunakan oleh isteri saya. (dok. F. Tanjung)
Alat masak kemping, saya beli dengan menabung. Alat masak ini masih bertahan sampai sekarang dan digunakan oleh isteri saya. (dok. F. Tanjung)
Praktis hampir tiap malam minggu saya jarang berada di rumah. Kalau tidak kemping, ya- mendaki gunung. Tergantung kondisi keuangan. Kalau uang lagi banyak sudah jelas pergi mendaki gunung. Kalau sedikit sudah jelas kemping di gua yang berada dekat Taman Hutan Raya Bung Hatta di Timur kota Padang atau dekat pabrik Semen Padang.

Ternyata, lagi-lagi ibu memberi perhatiannya lagi. Ibu nampaknya sadar dan paham sekali akan kebutuhan anak bungsunya.

Ketika itu ibu sudah memasuki masa pensiun tahun 1992. Saat itu saya sudah duduk di bangku kelas dua SMA. Masih ingat, menjelang beberapa bulan akhir tahun tiba-tiba saya diajak oleh abang ipar pergi ke toko perlengkapan kemping.

Bukan main gembiranya saya saat itu. Sudah terbayang nanti menjelang akhir tahun dan libur semester sekolah bisa pergi mendaki.

Sesampai di toko, saya disuruh memilih beberapa alat dan perlengkapan kemping. Anggaran ketika itu dialokasikan sekitar 100 ribu rupiah. Suatu nilai yang besar sekali ketika itu.

Maka saya memilih tas carrier ukuran 50 liter, sepatu dan baju flannel. Klop sudah atas kekurangan yang selama ini menggayuti pikiran saya selama ini.

Tas Carrier merah saya (kanan) saat mendaki Gn. Marapi April 1994. Tas tersebut hadiah dari ibu. (dok. F. Tanjung)
Tas Carrier merah saya (kanan) saat mendaki Gn. Marapi April 1994. Tas tersebut hadiah dari ibu. (dok. F. Tanjung)
Sampai di rumah saya langsung memeluk dan mencium ibu. Saya tidak menyangka sama sekali hadiahdariibu ini. Padahal hobi saya itu sungguh membuat bagi siapa saja orangtua menjadi cemas dan prihatin.

Lalu saya berjanji, akan lebih serius lagi belajar dan tidak malas lagi dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah.

Jadilah saya sebagai anak yang beruntung sekali di dunia kala itu. Punya ibu ternyata paham betul dengan perkembangan usia anaknya.

Hingga sampai sekarang (setelah dewasa dan menikah), tas carrier itu masih ada, begitu juga alat masaknya.

=======

Saat saya pernah tergeletak di kamar tidur akibat kecelakaan ibulah yang paling tersibuk di dunia untuk merawat anaknya. Saat saya butuh sesuatu untuk hobi tanpa meminta, ibu juga yang memberikannya.

Dari alat pancing, sepeda, hingga perlengkapan dan peralatan mendaki gunung ibu belikan untuk anakmu yang terkadang sedikit bawel. Yang terkadang melupakanmu sesaat ketika anakmu lagi asyik dengan dunianya.

Tak ada yang bisa saya balas selain doa dan doa buat ibu saya yang sudah wafat pada tahun 2003 yang lalu, karena sakit. Perhatian dan pengorbananmu tidak bisa saya lupakan. Semoga Allah menempatkanmu di tempat yang nyaman di alam sana. 

Apa pun Kau lakukan untuk memberikan hal yang terbaik bagi anakmu. Terima kasih Ibu, kasih dan sayang mu memang sepanjang jalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun