Pendahuluan.
Disukai atau tidak kita semua yang bermukim di Indonesia harus menerima kenyataan bahwa negeri kita tinggal berada di kawasan jalur Rawan Bencana.
Bentang alam Indonesia (land scape) yang berpulau-pulau memiliki tingkat resiko yang tinggi terhadap bencana alam. Bentangan gugusan gunung api aktif menghiasi jalur pulau-pulau di Indonesia yang dikenal dengan “sabuk api” (ring of fire). Mulai dari Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Sulawesi jelas merupakan suatu ancaman tersembunyi yang sewaktu-waktu akan menjadi “prahara” nyata di bumi ini.
Bisa disimpulkan bahwa Indonesia adalah suatu negeri “marketnya” bencana alam yang begitu tinggi dan kompleks. Bencana dari erupsi gunung api yang terjadi akhir-akhir ini sejak satu dasawarsa ini telah menimbulkan kerugian materil dan non materil yang tidak sedikit.
Seperti erupsi Gunung Merapi di Jogja 2010 silam. Dan baru-baru ini erupsi Gunung Sinabung di Sumatera yang tiada hari tanpa guguran larva dari kepundan gunung ini. Tanah longsor akibat dari curah hujan yang begitu tinggi juga ikut “menemani” dari bencana gunung api itu. Begitu juga angin topan dan puting beliung hampir merata singgah bumi pertiwi ini.
Kita pernah terhenyak dengan peristiwa pilu gempa bumi dan tsunami Aceh 26 Desember 2004 yang lalu. Gempa dengan skala 9,1 SR (Skala Reichter) yang disertai tsunami itu telah meluluh-lantakkan bumi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan sekitarnya. Lebih dari 200 ribu korban jiwa serta kerugian materil yang tidak sedikit akibat dari peristiwa tersebut.
Menurut dari suatu penelitian di Amerika Serikat saking hebatnya gempa bumi dan tsunami di Aceh itu sempat menghentikan laju putaran bumi beberapa detik. Bisa dibayangkan, bukan ?
Melihat fakta demikian, tentu ada sikap kita berupa siaga bencana untuk mencegah dan / atau mengurangi tingkat resiko akibat dari bencana alam tersebut (mitigasi). Yakni dengan cara pola bagaimana hidup bersahabat dengan kawasan negeri yang rawan bencana alam.
Daerah-daerah Pesisir Barat Sumatera dan Selatan Jawa serta Nusa Tenggara (Barat & Timur) adalah kawasan yang sangat rentan resikonya dengan bencana gempa bumi dan tsunami serta gunung api meletus. Dari sekian banyak gunung berapi aktif di Indonesia, hampir 2/3 kawasan gunung berapi aktif berada di Sumatera dan Jawa.
Sebenarnya gempa bumi dan tsunami serta gunung api meletus bukanlah suatu hal yang perlu ditakutkan secara berlebihan. Artinya jika ada upaya yang sungguh-sungguh dari mitigasi yang diterapkan secara nyata dan menyeluruh. Betul, satu sisi manusiawi kita akan merasakan dampak kengerian yang luar biasa akibat dari reaksi bumi ini.
Psykologi jiwa akan mempengaruhi terutama kepada anak-anak dan wanita. Merekalah yang sangat rentan dari dampak bencana demikian. Katakanlah seperti peristiwa gempa bumi yang melanda Sumatera Barat pada 30 September 2009 yang lalu. Kepanikkan luar biasa terjadi secara “massiv” ditengah masyarakat.
Penulis jadi teringat sewaktu tinggal di Kota Padang, ketika gempa bumi 7,6 SR (Skala Richter) melanda Sumatera Barat pada 30 September 2009 yang lalu. Sehingga gempa ini dijuluki Gempa G-30-S 2009. Saat sore itu, cuaca cerah di kota Padang. Penulis saat itu berada di jalan dengan sepeda motor menuju kantor.
Awalnya penulis tidak merasakan ketika awal gempa datang. Tetapi ada yang dirasa aneh, yakni tiba-tiba banyak warga yang keluar berhamburan baik dari rumah, ruko, ataupun kantor. Reflek naluri penulis mengatakan ini ada gempa. Penulis melambatkan laju motor dan berusaha menghentikannya.
Benar rupanya. Disaat itulah penulis merasakan gempa yang hebat. Bumi seolah berayun ke kiri dan ke kanan. Dan penulis pun jatuh dari motor akibat tidak kuat menahan beban motor. Beruntung motor sudah posisi berhenti dan dengan refleks penulis sedikit melompat menghindari tertimpa motor.
Warga Kota Padang saat itu memang dibuat panik. Kemacetan luar biasa di beberapa titik Kota Padang tidak dapat dihindari. Bahkan saking paniknya ada warga meninggalkan kendaraan mobilnya begitu saja dalam keadaan hidup dipinggir jalan. Tak sedikit juga ada warga berpakaian ala kadarnya di tubuh. Semua bergegas dengan cepat menuju arah Timur Kota Padang untuk menghindari gelombang tsunami pasca gempa.
Artinya telah terjadi zona subduksi (tumbukkan) yang baru akibat sesar aktif dari Lempeng Indo-Australia yang menunjam ke lempeng Eurasia. Dan ter-subduksi lagi dengan patahan di Sumatera (patahan semangko). Sehingga goyangan begitu hebat dan dirasakan sampai ke negara tetangga seperti Singapura, Thailand dan Malaysia.
Kogami yang berkantor pusat di Kota Padang yang didirikan 4 Juli 2005 telah memberikan andil pengetahuan tentang mitigasi bencana. Bahkan saking pentingnya komunitas ini dalam peranan membangun masyarakat dalam siaga bencana, stasiun Radio milik pemerintahan yakni RRI (Radio Republik Indonesia) sering mengadakan talk show serta diskusi interaktif dengan masyarakat.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, ketika bencana itu terulang kembali 2009, warga tidak bisa mengingat kembali akan upaya edukasi tersebut. Artinya hanya sebatas pengetahuan saja yang diketahui tetapi tidak menyentuh ke dalam aksi nyata untuk menghindari kepanikkan yang luar biasa. Itu terekam jelas di mata penulis betapa hiruk pikuk wanita dan anak-anak ketika menyelamatkan diri. Tidak tentu arah berlari mau kemana.
Padahal sesuai dengan petunjuk dari BNPBD Kota Padang telah memberikan arah petunjuk titik-titik evakuasi yang dibagi beberapa zona sebagai tempat titik evakuasi. Dari sini memang terlihat lemahnya koordinasi antara warga dengan lembaga yang ditunjuk oleh pemerintahan.
Beberapa petunjuk itu disebarkan melalui bentuk denah dan peta. Untuk denah dibuat plank yang di pasang di pinggir jalan raya. Untuk peta jalur evakuasi ditempelkan di gedung-gedung sekolah, kantor-kantor kelurahan dan camat, fasilitas sosial serta pusat belanja.
Edukasi Lewat Peran (Iklan) Sandiwara Radio.
Penulis pun teringat kembali, bahwa di stasiun Radio RRI Padang kala itu sekitar tahun 2007 (kalau tidak salah) ada alur “iklan” berupa edukasi tentang bencana alam.
Disitu disiarkan, sewaktu gempa bumi telah terjadi dan diiringi tsunami, warga diperlihatkan begitu panik. Suasana begitu mencekam karena diiringi dengan angin kencang. Tak lama setelah itu muncul iklan tentang upaya-upaya menghindar dari runtuhnya gedung dan tsunami. Tidak hanya Radio RRI yang mengiklankannya, juga radio milik swasta ikut menyiarkannya.
Dalam diskusi interaktif di RRI Padang, para pakar menyampaikan tentang masalah gempa dan tsunami. Kita dianjurkan untuk tidak panik dan tetap berusaha mengurangi resiko bencana, terutama dari segi korban jiwa. Penulis pun pernah ikut dalam acara talk show demikian. Disamping memberikan pertanyaan juga memberikan saran dan masukan kepada nara sumber.
Dan acara ini pun terbukti efektif dalam edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat. Dapat dilihat dari banyaknya telpon yang masuk ke meja operator. Sehingga acara tanya jawab itu dibagi dalam tiga session. Di pandu dengan dua moderator yang piawai dalam memandu acara. Sehinga warga yang mendengar dimana saja ikut memberikan pertanyaan dan sumbang saran kepada nara sumber.
Ada beberapa cara/ langkah persiapan dalam mitigasi bencana alam gempa dan tsunami yang lebih ditujukan kepada setiap keluarga yang berada kawasan tinggalnya dekat pantai (penulis dapatkan dari pengalaman bencana gempa di Padang, dan disadur dari beberapa sumber) :
1) Pra-bencana.
- Sediakan tas / ransel minimal ukuran 40 liter.
- Masukkan barang berharga dan / atau dokumen penting seperti surat-surat berharga dan ijazah ke dalam tas tersebut dan dibungkus dengan map plastik yang kedap air.
- Lalu tambahkan makanan dan minuman. Misal, kacang-kacangan, coklat, roti, mie instan, air mineral, beras, kopi, teh, gula dan susu balita (jika memiliki balita). Ini bisa dikondisikan kembali sesuai kebutuhan skala keluarga. Yang perlu diingat perlu memperhatikan expire makanan dan minuman tersebut.
- Perlengkapan masak (mini tools) seperti masting dan kompor mini. Bisa didapatkan di toko-toko perlengkapan kemping (disarankan).
- Charger HP / power bank.
- Senter dan batrei cadangan.
- P3K praktis.
- Tambahkan mantel hujan (rain coat) dan payung.
- Sediakan plastik terpal ukuran 4 x 6 beserta tali (disarankan).
- Matras / spoon dari busa sebagai alas tidur (disarankan).
- Beritahu semua anggota keluarga, bahwa jika nanti sesudah gempa reda, maka siapa saja yang dirumah atau berhasil pulang kerumah barang-barang tersebut segera diambil.
- Selanjutnya tentukan tempat titik bertemu atau titik evakuasi warga yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Anggap saja persiapan ini seperti pergi kemping atau mendaki gunung. Setelah itu letakkan di tempat yang aman dalam rumah dan mudah dijangkau nantinya sewaktu dan / atau setelah gempa. Sebelum tsunami terjadi, ada jeda waktu pasca gempa sekitar 20 – 30 menit {berkaca dari kejadian tsunami Aceh).
Saat gempa terjadi :
A) Bila di dalam gedung ;
a) berlindung segera di bawah meja.
b) hindari lift dan gunakan tangga saat turun. Pastikan kepala terlindung dengan tas
atau buku-buku.
c) bagi perempuan jangan menggunakan sepatu hak tinggi, bisa berakibat fatal sewaktu
berlari menuruni anak tangga. Sebaiknya dilepaskan.
d) Segera menuju tanah lapang atau titik evakuasi.
B) Bila diluar gedung ;
a) hindari tiang listrik dan gedung tinggi
b) bila berkendaraan, segera hentikan kendaraan anda dan keluar. Cari posisi tanah yang
lapang. Jangan lupa matikan kendaraan anda
c) hindari jalan yang retak.
d) bagi warga berada di pinggir pantai, perhatikan ke arah laut, apakah melihat banyak
burung terbang ke arah darat atau tidak. Jika ada melihatnya, berarti akan terjadi
tsunami.
e) segera menjauhi pantai.
C) Sewaktu di dalam rumah ;
a) bila dalam keadaan memasak, matikan segera kompor. Jangan hiraukan masakan lezat
hampir matang.
b) Matikan listrik kalau sempat.
c) Segera keluar dan mencari tanah lapang.
Perlu diketahui juga bahwa, tsunami akan terjadi jika magnitudo gempanya besar. Menurut Bapak Dr. Kemal Mustafa (peneliti kegempaan Universitas Andalas Padang) minimal 6,5 SR dan berada di kedalaman - + 30 km dibawah permukaan laut. Dan gempa bersifat sesar vertikal seperti gempa dan tsunami di Aceh 26 Desember 2004.
Ada beberapa model sifat gempa yang disampaikannya. Tapi artikel ini tidak membahas secara detail tentang hal tersebut. Jadinya, ada waktu sekitar 15 – 20 menit tsunami akan datang setelah gempa.
Segera mencari anggota keluarga di titik pertemuan yang telah disepakati. Ada pun yang perlu dilakukan :
a) Cek jaringan telpon seluler, apakah sudah pulih jaringan atau belum. Jika belum, harap bersabar. Biasanya 2 – 3 jam jaringan sudah pulih. Tergantung percepatan petugas ahlinya.
b) Jika jaringan pulih, hubungi anggota keluarga.
c) Tunggu informasi yang disampaikan oleh pemerintah. Biasanya akan disampaikan lewat mobil dengan pengeras suara dan juga lewat radio (seperti kejadian gempa G-30-S di Padang, RRI memegang peranan utama dalam up date perkembangan berita)
d) Ikuti terus perkembangan dan petunjuk yang disampaikan oleh pemerintah.
e) Jangan mudah terpancing isyu-isyu yang tidak jelas sumbernya.
f) Tetap tenang dan jangan mudah panik.
g) Dan jangan lupa, berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar diberikan petunjuk, kekuatan, serta kesabaran dalam menerima cobaan hidup ini.
Ilmu pengetahuan sampai sekarang ini memang belum bisa memprediksikan kapan gempa bumi terjadi. Dan ini memang Kuasa Sang Illahi yang tahu. Tetapi dalam hal ini kita pun juga dianjurkan untuk tetap terus berusaha menghindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Upaya pencegahan sedini mungkin dari resiko bencana alam dapat ditekan seminimal mungkin, jika masyarakat sadar dan bisa hidup bersahabat dengan alam. Misalnya, membangun rumah tidak boleh di kawasan dekat di perbukitan, akan rentan sekali dari longsor akibat hujan dan gempa. Perlu upaya yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan tentang edukasi dan mitigasi bencana alam. Dengan tujuan mengurangi resiko korban jiwa yang banyak.
Peran radio kenyataannya masih efektif dalam hal sosialisasi mitigasi bencana alam. Akan ada kisah cerita "asmara" dibalik bencana”. Bisa sesama pengungsi, pengungsi dengan relawan, atau sesama relawan yang akhirnya berjodoh. Tidak sedikit dari mereka bertemu jodoh. Seperti kisah asmara yang mempertemukan jodoh antara relawan dan pengungsi di Aceh maupun di Padang ketika itu. Tentu saja hal demikian bisa di angkat dalam bentuk cerita kisah nyata di radio.
BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) Pusat yang berkoordinasi dengan daerah-daerah bisa membentuk semacam dewan naskah untuk mengumpulkan data dan kisah dari para korban yang selamat.
Bisa juga bekerjasama dengan perguruan tinggi negeri dan swasta. Angkat kisah mereka para korban yang selamat yang pernah terjebak dalam reruntuhan bangunan cukup lama. Atau bisa juga kisah dari pengungsi dan relawan.
Barangkali dalam konteks ceritanya tentu dengan menyesuaikan kondisi era sekarang. Tidak harus selalu sama dengan model cerita lama seperti Saur Sepuh, Tutur Tinular, atau Misteri Dari Gunung Merapi. Yang jelas ahli skenario cerita sudah tahu bagaimana alur cerita yang sesuai dengan kondisi sekarang.
Yang jelas adalah bertujuan untuk mengenang dan mengingat kembali akan prahara bumi yang pernah terjadi di bumi pertiwi ini kepada generasi selanjutnya.
Wassalam
FIRDAUS
https://www.facebook.com/firdaus.tanjung1
https://twitter.com/Taplaupadang
Penulis pernah bertugas sebagai ;
* Relawan gempa bumi dan tsunami di Aceh, Januari 2005,
* Relawan gempa bumi di Nias, April 2005,
* Relawan gempa bumi di Padang, Oktober 2009.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H