Mohon tunggu...
IMAM SYAFII
IMAM SYAFII Mohon Tunggu... Pelaut - Ketua Umum Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I)

Kadang pengin nulis, kalau lagi senggang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketentuan Restitusi dalam UU PTPPO Lemah, Perlu Direvisi!

27 Mei 2022   03:16 Diperbarui: 27 Mei 2022   03:22 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pekerja kapal/Dok. Pixabay

Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang "TPPO" tidak hanya dialami oleh anak-anak dan perempuan, tetapi juga dialami oleh pekerja laki-laki, termasuk mereka yang berprofesi sebagai awak kapal dan/atau anak buah kapal "ABK".

Kasus TPPO di Indonesia yang dialami oleh para ABK Warga Negara Indonesia, salah satu yang terbesar adalah kasus 203 ABK WNI yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal penangkap dan pengangkut ikan berbendera asing di perairan Trinidad and Tobago dan perairan Abidjan, 2013 silam.

Para ABK WNI tersebut (termasuk Penulis), telah direkrut dan diberangkatkan oleh dua perusahaan keagenan awak kapal, yakni PT Karlwei Multi Global "KARLTIGO" dan PT Bahana Samudera Atlantik, dengan kontrak kerja selama 2 (dua) sampai 3 (tiga) tahun, dengan besaran upah bulanan antara USD150 sampai dengan USD180.

Tetapi naas, selama bekerja, para ABK WNI tersebut sama sekali tidak mendapatkan upah. Bahkan mereka ditelantarkan di atas kapal sebelum akhirnya mereka dipulangkan ke Indonesia secara bertahap.

Setibanya di Tanah Air, para ABK berjuang untuk menuntut hak-haknya. Sebanyak 56 (lima puluh enam) orang (termasuk penulis) diantara 203 orang membentuk organisasi yang dinamakan FSPILN (Forum Solidaritas Pekerja Indonesia Luar Negeri).

Perjuangan tersebut bergulir hingga 2 (dua) tahun, dari mulai melakukan aksi unjuk rasa ke berbagai instansi pemerintah, hingga menuntut pimpinan perusahaan di pengadilan, yang kemudian membuahkan hasil diterimanya hak restitusi bagi 56 orang tersebut sebesar Rp1,1 Miliar dan pimpinan perusahaan dihukum kurungan penjara selama 1 tahun lebih. Sementara hingga detik ini sisa dari 56 orang tersebut (147 orang) lainnya sama sekali belum atau tidak mendapatkan hak-hak mereka, baik hak gaji, apalagi hak restitusi.

Maka berdasarkan pengalaman penulis selaku mantan ABK yang menjadi korban TPPO, penulis menyarankan kepada pemerintah selaku pembuat kebijakan bersama DPR RI agar kiranya dapat merevisi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana perdagangan Orang "UU PTPPO" terkait pasal Restitusi.

Dalam UU PTPPO, Pasal 1 ayat (13) menyatakan bahwa "Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya."

Kemudian, dalam ketentuan Pasal 50 ayat (4) dijelaskan bahwa "Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun."

Nah, yang menjadi konsen penulis adalah ketentuan Pasal 50 ayat (4) di atas, yang menurut hemat penulis perlu untuk direvisi atau diperbaiki, sehingga kira-kira dapat diubah menjadi "Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun." dan ada penambahan ayat pada Pasal 50, yakni ayat 5, yang kira-kira berbunyi "Terhadap korban perdagangan orang yang pelaku tidak sanggup membayar restitusi, maka restitusi diberikan kepada korban dan menjadi tanggungjawab pemerintah."

Kenapa penulis berpendapat seperti diuraikan di atas?

  • Pertama, tidak sedikit pelaku perdagangan orang pada saat diadili di pengadilan lebih memilih ketentuan Pasal 50 ayat (4) alias tidak sanggup membayar restitusi.
  • Kedua, jika pelaku perdagangan orang memilih tidak membayar restitusi, maka pelaku hanya akan diberikan kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun dan kebanyakan di lapangan dalam putusan hanya dikenai kurungan pengganti maksimal 6 (enam) bulan saja.
  • Harta atau asset mereka (yang disembunyikan) tidak akan berkurang dan setelah bebas dari kurungan penjara, pelaku bisa Kembali membuat perusahaan baru di bidang yang sama (kemungkinan dengan cara menggunakan orang lain sebagai direktur perusahaan "direktur boneka".
  • Korban akhirnya sia-sia berjuang, tidak mendapatkan apa-apa, hanya mendapatkan hasil pelaku dipenjara, di mana sebetulnya itu bukanlah tujuan dari korban yang utamanya adalah bagaimana korban bisa mendapatkan hak-haknya yang telah dirugikan baik secara materi maupun immateri.

Demikian artikel ini, semoga bermanfaat dan dapat menjadi perhatian publik, khususnya para pemangku kebijakan untuk kemudian memperbaik regulasi yang sudah ada agar lebih baik kedepannya.

Penulis adalah Ketua Umum AP2I (Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun