Mohon tunggu...
IMAM SYAFII
IMAM SYAFII Mohon Tunggu... Pelaut - Ketua Umum Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I)

Kadang pengin nulis, kalau lagi senggang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agreement Jadi Bumerang Penyelesaian Kasus, Pelaut Minta Syahbandar Perikanan Dihadirkan dalam Mediasi

22 November 2015   23:13 Diperbarui: 23 November 2015   00:34 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi kapal-kapal penangkap ikan milik perusahaan Taiwan di Thailand"][/caption]

Jakarta, Seaman Work Agreement/Perjanjian Kerja Laut (PKL) bagi Pelaut Indonesia yang bekerja pada kapal ikan di luar negeri dinilai merugikan pihak pelaut selaku pekerja, hal tersebut disampaikan oleh Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN) berdasarkan fakta temuan-temuan di lapangan ketika advokasi sejumlah kasus terkait pelaut perikanan.

SPILN mempertanyakan peran vital dari pemerintah cq. Syahbandar di pelabuhan perikanan yang mempunyai tugas dan wewenang salah satunya memeriksa dan mengesahkan perjanjian kerja laut atau PKL. "Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Kesyahbandaran di Pelabuhan Perikanan, pada Pasal 5 huruf (h) dijelaskan bahwa salah satu tugas dan wewenang dari Syahbandar di pelabuhan perikanan adalah memeriksa dan mengesahkan perjanjian kerja laut. Nah pertanyaannya adalah, apakah kata memeriksa meliputi layak atau tidak layaknya PKL tersebut untuk disahkan setelah diperiksa?," ujar Bambang Suherman Ketua Bidang Advokasi dan Hukum SPILN.

Lanjut, Bambang, dalam kasus 11 pelaut perikanan asal Indonesia yang diberangkatkan melaui PT. LPB, PKL mereka terdapat Cap dan tandatangan dari petugas Syahbandar di pelabuhan perikanan. Namun setelah dilihat dan dibaca, PKL tersebut banyak isinya yang merugikan pihak pekerja/pelaut perikanan. Hal tersebut yang perlu diperjelas dan dipertanyakan, "tambahnya.

Kasus 11 pelaut tersebut sudah bergulir di meja Crisis Center Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) selama sebulan lebih sejak pengaduan dilakukan, dalam mediasi pertama yang digelar pada hari Senin (26/10/15), perwakilan pihak perusahaan yang datang menyatakan bahwa para pekerja/pelaut telah melanggar perjanjian kerja karena minta dipulangkan sebelum menyelesaikan kontrak kerjanya yakni dua tahun. Namun pihak pekerja/pelaut menangkisnya dengan berbagai perlakuan kasar dan tidak manusiawi ketika mereka bekerja di atas kapal hingga overtime dalam jam kerja, hal tersebut yang membuat para pekerja/pelaut keberatan dan memutuskan untuk meminta dipulangkan.

Atas dasar gagalnya menemukan upaya titik temu, pihak pekerja/pelaut selaku yang merasa dirugikan melapor dan meminta pendampingan serta bantuan kepada Direktorat Perlindungan WNI & BHI Kementrian Luar Negeri untuk ikut mengawal sengketa tersebut. Pada mediasi kedua yang digelar ditempat yang sama (BNP2TKI Red.), Jumat (13/11/15) pihak PWNI & BHI Kemlu hadir dalam mediasi tersebut. Dalam mediasi tersebut, Kemlu memberi himbauan kepada pihak perusahaan (PT. LPB Red.) untuk mempertimbangan sengketa tersebut dari berbagai aspek, salah satunya sisi sosial, psikologis, dan kemanusiaan. "Tidak mungkin kan para pekerja/pelaut meminta dipulangkan sebelum selesai kontrak jika tidak mengalami hal-hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh para pelaut?," ujar Rahmat selaku perwakilan dari PWNI & BHI Kemlu yang mendapat tugas dari pimpinannya untuk hadir dalam acara mediasi kedua tersebut.

Hasil dari mediasi kedua tersebut pun belum menuai hasil, karena perwakilan dari pihak PT. LPB yang hadir bukan merupakan pimpinan perusahaan. "Akan saya sampaikan kepada pimpinan perusahaan terkait tuntutan para pekerja/pelaut dan terkait sebab-sebab mereka minta pulang akan klarifikasi kepada pihak perusahaan yang mempekerjakan mereka di luar negeri." ujar Edy Nova yang diketahui selaku Manager Crew di PT. LPB.

Mediasi ketiga di agendakan pada hari Kamis (19/11/15), namun pada sehari sebelum agenda tersebut terjadi pihak PT. LPB meminta waktu untuk dimundurkan menjadi hari Senin (23/11/15). "ujar Melvin Jhon Rafles Hutagalung selaku Kepala Seksi Standarisasi dan Kerjasama Antar Lembaga di BNP2TKI, yang dipercaya sebagai petugas mediator dalam kasus tersebut menginformasikan kepada SPILN selaku kuasa pendamping dari para pelaut via telepon.

Perlu diketahui, terang Bambang, sengketa tersebut adalah mengenai hak gaji yang belum dibayarkan secara keseluruhan oleh pihak perusahaan, dimana keduabelah pihak masih sama-sama alot dengan versinya. Berdasarkan PKL yang disepakati tersebut, gaji para pelaut sebesar USD 300/bulan yang dibayar menjadi tiga bagian. Diantaranya USD 50/bulan dibayar di atas kapal ketika sandar, USD 150/bulan di kirim ke rekening guna mencicil utang biaya penempatan sebesar USD 600 dan dipotong sebagai jaminan sebesar USD 800 yang akan dikembalikan jika pelaut selesai kontrak dua tahun, dan yang USD 100/bulan dinyatakan dapat diambil jika pelaut sudah selesai kontraknya selama dua tahun.

Permasalahannya adalah, masih kata Bambang, para pelaut tersebut minta pulang sebelum selesai kontrak, mereka sudah kerja dari 13 bulan hingga ada yang sudah 19 bulan. Mereka minta pulang karena di kapal kerja tidak manusiawi (kerja 18 hingga 20 jam), kapten kerap main tangan, dan jika sakit tetap disuruh bekerja. Alasan tersebut baiknya menjadi bahan pertimbangan bagi pihak perusahaan. Mereka, para pelaut sudah kerja dengan baik, biaya tiket kepulangan mereka pun menggunakan gaji mereka sendiri yang dijaminkan sebesar USD 800, biaya penempatan sebesar USD 600 pun sudah lunas mereka cicil. Masa yang USD 100/bulan tidak dibayarkan, hanya karena alasan melanggar kontrak kerja?. Seharusnya yang USD 100/bulan itu diberikan/dibayarkan sesuai dengan hitungan masa kerja mereka, jika 13 bulan ya berarti USD 1300, jika 19 bulan ya berarti USD 1900. Jangan mentang-mentang karena belum dua tahun minta pulang maka hak mereka dianggap hangus, pertimbangkanlah alasan mereka minta pulang. Jika tetap dianggap melanggar kontrak dan perusahaan tak mau bayar, ya ini jelas perbudakan namanya!, " tegasnya.

Jika memang pihak perusahaan tetap bersikukuh tidak mau bayar dan berpatokan pada PKL, kami sudah surati pihak Syahbandar Perikanan yang telah memberi Cap dan Tandatangan atas PKL tersebut untuk ikut datang dalam mediasi ketiga agar bersedia menjelaskan dan memberikan keterangannya guna membantu terkait perjanjian kerja laut yang benar bagi pelaut perikanan. "Pungkasnya.

Sumber : SPILN

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun