Jakarta, 18 hari menuju daerah operasi, ya.... itulah perjalananku dari pelabuhan Porth Of Spain, Trinidad and Tobago menuju ke tengah laut lepas Carriebbean Sea untuk bekerja menjadi seorang pelaut di atas kapal penangkap ikan tuna atau sering dikenal dengan kapal Longline, (8/5/15).
Dalam perjalanan panjang tersebut, aku dan kawan-kawan mabok laut, bahkan berat badanku sampai berkurang hampir 5 kilogram selama 18 hari. jangankan makan, meneguk air saja langsung muntah, perut serasa mual dan kepala begitu berat.
Meski kondisi kami sempoyongan, kapten kapal tetap menyuruh kami untuk bekerja. sebelum berangkat kami tidak diberikan bekal pelatihan apapun, akibatnya kami tidak bisa apa-apa. kapten kapal yang kebanyakan berasal dari taiwan dan tak pandai berbahasa inggris menambah sulitnya kami untuk berkomunikasi dalam menjalankan pekerjaan.
Nama kapal kami Fullness 6 dan nama chinanya Hsiang Pao 202, kami tidak pernah berfikir akan dipekerjakan seberat ini. Arman, temanku asal Pemalang (mantan guru honorer) mengaku tak kuat hingga ia sering pingsan dan minta pulang ketika baru 2 bulan bekerja, namun tak diijinkan oleh kapten kapal dan takut di denda oleh perusahaan pengirim di Indonesia.
Asep asal Bandung tak kuat karena tak boleh duduk saat bekerja padahal ia belum sembuh dari mabuk lautnya jatuh tersungkur tergeletak tak berdaya hingga keluar cairan kuning muntah dari mulutnya.
Lainnya, Slamet asal Pemalang bocah yang belum genap 20 tahun umurnya dipaksa untuk terus menerus menarik bola pelampung pancing yang berat setiap hari, kakinya bengkak sebesar kaki gajah. tubuhnya yang kurus tak kuat menahan goncangan ombak besar di samudera carriebbean. jatuh bangun slamet tak mengetuk hati sang kapten kapal untuk menyuruhnya istirahat, dipaksa kerja 20 jam perhari bak budak kapal tak seimbang dengan makanan yang dikomsumsinya. pagi hanya beras diseduh air panas dicampur dengan kacang hijau yang tawar rasanya, terkadang slamet hanya menambahkan garam agar ada rasa asin. siang menunya nasi dengan sayur sawi dan sorenya mie khas china (mie kolor) yang sangat membosankan.
Kasur, selimut dan perlengkapan mandi pun ternyata dipotong gaji, kamar tidur sempit seperti peti mati menambah jenuh. rokok dijatah pas-pasan dan dipotong gaji, sering..... kami tidak punya rokok dan melilit teh dengan kertas buku yang dicuri dari ruang kapten untuk melilitnya kami hisap teh tersebut, "walaupun sepet rasanya yang penting keluar asap" Ujar Slamet sambil batuk.
Yang membuat kami kecewa adalah, gaji kami kenapa jauh berbeda dengan gaji ABK dari china.. ya .. kami mengetahuinya saat tidak sengaja melihat Perjanjian Kerja Laut ( PKL ) milik ABK asal china tersebut, ternyata saat itu gaji mereka hingga 500 $, sedangkan gaji kami cuma 180 $. padahal jabatan kita sama, kerjanya sama dan bahkan kami lebih giat dan rajin ketimbang mereka.
Belum lagi soal obat-obatan yang sangat minim dan akses komunikasi yang dipersulit membuat kami jika sakit tak ada pengobatan dan sembuh dengan sendirinya serta tak bisa berkomunikasi karena kalau mau telpon ke indonesia menggunakan telpon satelit milik kapten, kami akan dipotong gajinya 500 $ sekali telpon. sungguh sayang, sedangkan gaji kami cuma 180 $, masa kami harus kehilangan 3 bulan kerja untuk bisa bilang hallo kepada keluarga di kampung halaman.
sedih lagi ketika hari raya idul fitri, jangankan merayakannya di atas kapal, boro-boro libur, kapan lebaran saja kami tidak tahu. yang kami tahu kalau libur dan dapat makanan enak itu kalo lebaran china atau imlek.
pernah kami kehabisan stok makanan dan sayur, adanya daging babi milik kapten ya... terpaksa kami makan, daripada kelaparan.
yang menyedihkan adalah, janjinya perusahaan pengirim adalah kami akan di gaji sebagian di atas kapal ketika kapal sandar/mendarat. tapi pada prakteknya .... kami tak pernah diajak sandar. jika kapal akan sandar, maka kami dititipkan di kapal lain dan tetap disuruh kerja.
bonus kami cuma satu buah permen, ya... jika kami dapat ikan banyak, kami diberi permen satu-satu oleh kapten. dan jika tidak dapat ikan, kami disemprot ocehan yang tak jelas dengan bahasa china "malakabia" dan tak jarang sampai ada yang dipukul dan ditendang.
semoga apa yang menimpa kami tidak menimpa kawan-kawan lainnya yang bekerja di kapal ikan di luar negeri, tapi ternyata sangat banyak. dari terkuaknya kasus kami 203 ABK WNI di luar negeri yang menjadi korban perdagangan orang, hingga kini masih dan terus berlangsung praktik perbudakan ABK diatas kapal berbendera asing. dan ironisnya, pemerintah diam atau tak tau atau sengaja membiarkan atau juga gak tau lah.... intinya kami pusing dengan pemerintah yang lemah sekali dalam melindungi TKI ABK.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H