Saya melihat diri saya bahagia, ketika kawan-kawan saya bahagia. Saya melihat diri saya teramat religius ketika saya berbondong-bondong ke Gereja bersama orang-orang yang seiman dengan saya.
Saya melihat diri saya sukses, ketika komunitas tempat saya berkarya menjadi sukses. Saya melihat diri saya sukses dalam hal akademis, misalnya, ketika saya melihat teman-teman kelas saya berhasil lulus dengan nilai yang memuaskan. Sekali lagi, diri yang autentik adalah diri yang terus merefleksikan diri.
 Yang terpenting dari berefleksi adalah pemberian waktu untuk diri sendiri. Selama ini saya tidak memberikan porsi waktu yang cukup untuk diri saya sendiri.Â
Saya hanya tenggelam dalam arus-arus kebanyakan orang. Saya lebih mengutamakan kepentingan-kepentingan orang lain dibanding kebutuhan-kebutuhan mendasar diri saya sendiri. Altruisme bagaimanapun, membahayakan keindividuan saya jika dihayati tanpa memberi waktu pada diri sendiri.
Adalah naif untuk mengatakan bahwa selesai menulis tulisan ini, saya akan berubah secara total menjadi pribadi yang autentik. Tidak. Hal ini butuh proses yang panjang, bahkan berlangsung terus sepanjang perjalanan hidup saya.Â
Paling tidak, hal pertama yang saya lakukan dan Anda lakukan adalah menyadari ketenggelaman diri itu. Kita bisa mencoba menjadi diri kita sendiri perlahan-lahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI