Cerbung
Sudut Pandang Meta
Malam sudah larut saat kami menginjakkan kaki untuk pertama
kalinya di Cikarang, sebuah kota di bagian timur Jakarta. Masalah yang
menimpa anakku membuatku bekerja keras mengirimkan lamaran kerja ke rumah
sakit lain yang jauh dari Bandung, Jauh dari tempat dimana aku dilahirkan,
tempat yang begitu menyita lebih dari sembilan puluh persen hidupku.
Beruntung karena waktu memihak padaku, dua hari berikutnya RS Siloam cabang
Cikarang memanggilku, dan saat akhirnya aku dipusingkan dengan dimana aku
dan keluargaku harus tinggal, temanku di Jakarta menelephone, dia harus ikut
bos nya pindah tugas di Papua, dan dia bilang, rumahnya di Cikarang bisa aku
huni sampai kapanpun aku mau. Asalkan aku bersedia bayar rekening listrik
dan air sendiri. Syarat yang cukup mudah.
Aku merasa dewi fortuna sedang menglilingiku, atau mungkin doa dan tangis
Milly diatas sajadah semalam, sudah di kabulkan Tuhan. Aku sendiri sudah
lama tidak ke Gereja menghadap Tuhan. Tidak tahu kenapa aku merasa segan
kesana, aku merasa tidak perlu melapor setiap minggu, toh Dia melihatku.
Milly sering kali mengingatkan aku, dia selalu bilang ini adalah satu hal
terburuk yang ada pada diriku, aku mengakuinya dan tetap saja enggan
merubahnya. Aku punya sebuah kekecewaan besar pada Tuhan, yang sampai kini
belum juga terobati oleh waktu.
Aku masih sibuk memindahkan barang-barang dari bagasi saat aku
sadari Milly dan Mita menghilang dari pandanganku.
“Mita.”
Ku panggil namanya seraya menuju teras, mencoba untuk tidak panik. Sayup ku
dengar suara Milly sedang berbicara dengan seorang lelaki. Ku hampiri dia
dan ternyata suara itu berasal dari rumah sebelah, tetangga baru kami belum
tidur, dia masih berada di teras bersama temannya. Aku tidak tahu apa Milly
menyadarinya atau tidak, tapi yang aku rasa atmosfer diantara kedua orang
itu sedang panas. Satu diantaranya berdiri di depan mobil dan satunya ada di
dalam mobil. Sepertinya mereka sedang bertengkar.
“Sayang…apa yang kau lakukan?”
Bisikku pada Milly
“Menyapa tetangga baru”
Milly mengikuti Mita masuk ke dalam rumah bersama tetangga baru yang belum
aku tahu namanya, tapi sejurus kemudian mobil itu melesat meninggalkan
rumah. Sebelum mengikuti Milly dan Mita aku sempatkan mengunci pintu rumah
terlebih dahulu. Berbeda dengan rumah yang aku tempati sekarang, yang
terlihat penuh dengan tatanan seni, rumah disampingku ini terkesan lembut.
Catnya di dominasi warna hijau dan putih dengan lantai warna hijau pudar.
Setiap ruangannya tertata rapi, hampir sama dengan selera Milly. Mungkin ini
yang membuat Milly memaksa bertamu di tengah malam begini. Saat aku memasuki
ruang tengah, aku lihat Milly dan lelaki itu sedang sibuk memasak mie
instan. Aku baru ingat, dua jam yang lalu Mita bilang ingin makan mie instan
cabe hijau buatan Milly, aku merayunya agar mau menunggu hingga kami sampai
dirumah, tanpa berpikir bahwa kami tidak membawa mie apalagi cabe.
Sesaat aku hanya bergeming mengamati lelaki itumengiris-iris cabe, Milly
menyiapkan panci dan air, dan Mita mulai memperhatikan si tetangga baru
memasak mie instan dengan caranya. Lalu….seolah-olah ada lorong gelap yang
menarikku mundur, aku merasa terpisahkan dengan mereka, aku merasa terasing
dari sudut pandangku. Serasa terhipnotis oleh suasana, hatiku berkata,
begitulah susunan keluarga yang seharusnya.
-to be continue-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H