Bagi para pejuang LDR (Long Distance Relationship), kata-kata Dilan soal rindu itu berat, kamu nggak akan kuat mungkin ada benarnya.
Setiap manusia sepertinya tidak akan memilih LDR. Selain karena risiko kandasnya besar sekali, tentu saja menahan rindunya itu, loh, berat.
LDR itu sesuai namanya berarti hubungan jarak jauh. Bisa jauh karena jarak yang memisahkan raga atau jauh karena keyakinan kita yakin, dia enggak yang memisahkan jiwa.
Tapi kalau terpaksanya memang harus LDR-an, ya mau bagaimana lagi. Apalagi sudah kadung cinta berat.
Pengalaman pertama LDR
Saya sendiri termasuk orang yang pernah menjalani hubungan jarak jauh atau LDR ini. Tepatnya dua kali, dulu dan sekarang.
Pengalaman pertama tahun 2011 kalau tidak salah saya terpaksa harus LDR-an dengan pasangan saya karena dia memutuskan untuk kuliah di Semarang, sedangkan saya masih di Jakarta dan belum kuliah. Kira-kira LDR-an kamu berjalan kurang lebih satu tahun sebelum akhirnya memutuskan untuk mengakhirinya.
Selama satu tahun itu tentu kami hanya menjalin komunikasi lewat telepon dan sms. Pada waktu itu saya belum punya handphone canggih yang bisa digunakan untuk video call-an. Karena kesibukan kami yang berbeda jadi waktu untuk berkomunikasinya pun yang paling ideal pada waktu itu adalah malam hari.
Pada waktu awal-awal LDR-an kami rutin telponan hampir setiap malam. Namun, seiring berjalannya waktu intensitasnya kian berkurang karena kesibukan yang bertambah.
Singkat cerita, saya ingat beberapa bulan terakhir sebelum hubungan kami berakhir kami mulai jarang berkomunikasi. Baik telepon maupun sms. Saya ingat hanya mengiriminya sms mengingatkan makan dan beribadah di jam-jam yang menurut saya itu adalah jam istirahat, jam 12 siang, jam 5 atau 6 sore, dan jam 9 malam.
Lalu di suatu pagi saat saya bangun tidur, saya mendapati sms darinya yang bikin saya kaget dan sedih tentu saja. Dia bilang dalam sms-nya kalau dia mau mengakhiri hubungan dengan saya.
Saya syok. Spontan (uhuy…) saya langsung meneleponnya untuk tanya alasannya apa tapi tak kunjung diangkat. Siang harinya dia baru telpon saya untuk menjelaskan alasannya.
Dia bilang kalau dia terganggu dengan cara saya yang selalu menghubunginya setiap waktu dan dia merasa kalau dituntut harus selalu memeberi saya kabar setiap waktu. Padahal, seperti saya jelaskan tadi saya hanya menanyakan kabar di jam-jam tertentu.
Tapi ya sudah, pada akhirnya hubungan kami berakhir dan sampai sekarang hanya alasan itu yang saya dapat.
Pengalaman kedua LDR
Pengalaman kedua ini sedang saya jalani alias saya sekarang lagi LDR-an dengan pasangan saya. Kok nggak kapok? Ya kalau ditanya kapok apa ngga, sebenernya maunya nggak LDR, tapi mau bagaimana lagi. Sudah kadung sayang..
LDR-an saya kali ini disebabkan karena pandemi dan aturan kantor untuk WFH (Work From Home). Pasangan saya terpaksa harus kembali ke kota asalnya, Gunung Kidul, selama pandemi ini.
Padahal saya baru merasa senang ketika saya tahu dia diterima kerja di Jakarta. Eh, baru dua bulan bisa satu kota sudah harus pisah lagi.
Tapi, pengalaman LDR saya kali ini sedikit berbeda dibandingkan pengalaman pertama saya. Kali ini saya merasa kalau intensitas berkomunikasi kami tidak begitu tinggi, malah cenderung jarang sekali. Anehnya, di antara kamu berdua tidak merasa terganggu atau cemas karena jarang berkomunikasi, baik lewat telepon atau chat.
Padalah media untuk berkomunikasi sekarang sudah semakin canggih dan sudah punya alatnya, tapi sekarang malah jarang sekali buat berkomunikasi. Dulu, ketika belum punya alat komunikasi yang canggih saya getol menghubungi pasangan saya. Aneh memang.
Hubungan LDR-an kami ini kira-kira sudah berlangsung hampir satu tahun. Selama hampir satu tahun ini komunikasi yang kami lakukan ya hanya via chat dan sesekali via telepon.
Dalam satu bulan mungkin hanya satu atau dua kali kami telponan. Sangat aneh mengingat kami LDR-an, kan? Tapi itu realitanya dan kami sama sekali tidak terganggu akan hal itu.
Saya berkesimpulan kenapa kami bisa nyaman padahal tidak sering berkomunikasi mungkin karena faktor kami sudah kenal dan dekat dalam waktu yang cukup lama.
Untuk informasi, saya dan pasangan saya ini sebenarnya sudah pernah menjadi pasangan ketika di masa-masa awal saya kuliah di Solo tahun 2014. Tapi, sudah sempat berakhir hubungan kami kalau tidak salah tahun 2015. Nah kami baru memutuskan untuk kembali bersama-sama lagi sekitar pertengahan tahun 2019 sampai sekarang.
Ketika kami sudah berpisah pun, kami masih menjalin hubungan baik, bahkan mungkin bisa dibilang lebih baik jika dibandingkan ketika masih pacaran. Mungkin durasi kita dalam mengenal dan dekat dengan seseorang bisa jadi faktor utama kami tidak begitu terganggu ketika jarang berkomunikasi walau sedang LDR-an.
Hikmah menjalani LDR
1. Menjalin komunikasi yang berkualitas dalam LDR adalah kunci
Selain merasa terganggu, menghubungi pasangan terlalu sering juga bisa menjadi salah satu penyebab timbulnya prasangka yang tidak-tidak. Kenapa dia ngehubungin aku terus ya, padahal kan aku sudah bilang aku sedang di sini, bersama si itu, dan lagi melakukan ini. Masa dia nggak percaya sih sama aku?
Nah lho, padahal maksud kita menghubunginya itu baik. Tapi kalau sampai menimbulkan kesan seperti itu bisa-bisa jadi penyebab berakhirnya hubungan kita. Intinya, menjalin komunikasi saat LDR-an itu bukan soal kuantitas, tapi soal kualitas komunikasinya. Percuma kita sering berkomunikasi kalau hanya tanya sudah makan belum? lagi ngapain? pergi sama siapa? dll.
2. Pasangan LDR butuh waktu untuk bisa saling percaya
Rasa curiga yang berlebihan pun bisa mengakibatkan kamu menjadi over-protective ke pasanganmu. Pasanganmu akan merasa kalau dia seperti sedang dikekang karena banyak aturan-aturan yang membuatmu tidak bisa bebas lagi.
Ketika kamu merasakan hal ini, itu mungkin tanda kalau kamu harus segera mengakhiri hubungan itu. Karena pasangan yang baik, alih-alih jadi over-protective ia akan memberikan rasa percayanya kepadamu.
Menanamkan rasa percaya memang tidak mudah, butuh waktu untuk bisa akhirnya saling percaya satu sama lain. Durasi lamanya kita dalam mengenal dan memahami seseorang itu menjadi faktor penting untuk bisa menimbulkan rasa percaya kepada seseorang.
Saya percaya tidak ada yang lebih nikmat bagi pejuang LDR selain ketika mereka sudah saling percaya satu sama lain. Ingat, rasa percaya itu ditanamkan dalam hati, bukan hanya diucapkan di bibir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H