Ketika mereka pindah ke Jakarta dan Laut harus kuliah di Yogyakarta, momen masak dan makan bersama yang telah menjadi tradisi itu, diganti menjadi setiap bulan pada minggu keempat. Saat itu, Ibunya akan memasak makanan favorit Laut, yaitu Tengkleng.Â
Sudah pasti Ibu, Bapak, dan Asmara berkumpul di sana dan merubung meja tengah tempat merajang bumbu. Betul saja. Pemandangan indah itu. Ibu yang tengah mengaduk-aduk sebuah panci besar berisi iga kambing dan tulang sumsum serta kepala Bapak yang melongok dan tampak tak sabar  karena mencelupkan sendok besar untuk mencicipinya. (hal 63).
Momen yang  menyedihkan sekaligus mendebarkan bagi saya adalah saat Laut ditangkap oleh orang-orang tak dikenal. Saat itu, dia, Alex dan Daniel menjadi buronan setelah pemerintah menetapkan Winatra menjadi organisasi terlarang. Dia dan teman-temannya itu tinggal di sebuah rumah susun di Jakarta. Alex dan Daniel ditangkap secara terpisah. Laut kemudian disekap dan dipukuli. Saat itu, Laut mengira dirinya akan mati tetapi rupanya malaikat maut saat itu hanya 'numpang' lewat.Â
Aku mencoba memberontak dari dari ikatan tangan dan kakiku, meski aku tahu tak mungkin aku bisa terlepas begitu saja. Tiba-tiba sebuah tinju melayang menabok kepalaku. Aku berhenti memberontak. Suara Daniel makin meninggi dan tiba-tiba kudengar pula suara Alex yang mengerang-ngerang. terdengar suara gebukan dan tendangan. Para penyiksa seperti berpesta seraya menghajar Alex.(hal 59).
Hal yang paling menyakitkan lagi adalah ada seorang pengkhianat yang menyaru menjadi seorang teman. Orang ini adalah definisi musang berbulu domba. Saya pikir pengkhianat itu adalah sosok yang tidak disukai oleh Laut dan teman-temannya, tetapi rupanya malah sebaliknya. Sebuah plot twist  yang sangat membagongkan. Di masa Orde Baru, memang kawan dan lawan berbeda tipis. Kawan bisa saja menjadi lawan. Dimana-mana mata-mata berserak seperti pasir di laut. Di  masa itu, orang-orang tidak bisa bebas berpendapat. Pers saat ditekan dan tidak boleh mengkritik pemerintahan. Bahkan pemerintah mengeluarkan lima paket undang-undang politik yang sangat menunjukkan otoritasnya.Â
Bagi saya, ini adalah buku tersedih kedua yang saya baca setelah novel summer breeze-nya Orizuka. Novel ini memang novel fiksi tetapi saya tidak bisa tidak ikut larut pada jalan cerita yang dibangun oleh penulis. Lagipula, novel ini memang diangkat dari kisah nyata para aktivis yang ditangkap sewaktu rezim Orde Baru.Â
Saya merasa penulis menceritakan lebih dari sekedar kisah fiksi, yaitu menceritakan kembali sejarah kelam yang dialami oleh negeri ini. Bagaimana bisa mereka, para penyiksa itu, memisahkan anak dari orangtuanya, suami dari istrinya, atau kekasihnya? Saya berharap kejadian seperti ini tidak terjadi lagi dan semoga ada keadilan untuk ketiga belas aktivis yang dinyatakan hilang,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H