Untuk seorang Bibliophile seperti saya, toko buku selalu menjadi tempat tongkrongan favorit. Ketika teman-teman saya memilih jalan-jalan ke pusat perbelanjaan di akhir pekan, maka saya 'hunting' buku walaupun sekedar 'cuci mata'.Â
Di kota saya tidak begitu banyak toko buku. Hanya ada Gramedia dan beberapa toko buku kecil. Itu pun keberadaan toko buku kecil tersebut  tidak bertahan lama sebab sepi peminat. Apalagi  masyarakat di kota saya tidak terlalu gemar membaca. Maka, Gramedia pun menjadi alternatif bagi saya untuk 'me time'.Â
Rasanya senang saja berada di antara buku-buku. Bahagia tak terkira apalagi mencium aromanya. Biasanya saya akan membeli  buku yang halamannya tebal supaya tidak lekas habis dibaca . Kalau sudah habis dibaca, ya, rasanya nggak enak gitu.Â
Dalam sebulan, saya wajib membeli  minimal dua buku. Sampai suatu hari ini saya pernah mengomel karena buku saya terlalu banyak. Hampir memenuhi sudut kamar sehingga membuatnya seperti kapal pecah.Â
Sejak kecil saya memang suka membaca. Bacaan pertama saya adalah Majalah Bobo. Sangat suka dengan cerita-cerita pendek di dalamnya. Bobo telah menemani masa kecil saya. Â Itu sebabnya saya merasa sedih tatkala Bobo tidak terbit lagi padahal saya ingin mengenalkannya pada anak-anak saya kelak. Hiks.Â
Seiring bertambahnya usia, jenis  bacaan saya pun berubah.  Saat ini  saya sedang terobsesi membaca buku psikologi. Saya juga suka mengoleksi buku-buku klasik, seperti karyanya Jane Austen, Lucy Montgomery, Harper Lee, Charles Dickens, dan banyak lagi.Â
Kalau toko buku kelak  tergerus zaman, kemana saya akan menemukan buku-buku ini lagi?
 Memang tidak bisa dipungkiri, kemajuan teknologi menyebabkan semua hal menjadi serba digital termasuk dalam perbukuan. Kehadiran ebook agaknya mampu menggeser keberadaan  buku versi cetak. Orang-orang saat ini lebih suka membaca novel secara online, apalagi anak-anak muda. Sudah banyak aplikasi cerita yang bertebaran.Â
Dari segi kepraktisan, ebook mungkin menjadi pilihan bagi pembaca yang tidak ingin ribet. Hanya dalam satu genggaman,Â
maka buku dapat dibawa kemana saja dan dibaca kapan saja.
Harganya juga lebih terjangkau. Satu buku digital harganya bisa menjadi setengah dari harga buku versi cetak. Tampilannya juga lebih dinamis karena ebook kadangkala menyajikan ilustrasi menarik seperti gambar dan video.
Ebook juga dinilai lebih ramah lingkungan karena tidak membutuhkan berlembar-lembar kertas. Juga lebih tahan lama karena tidak akan ada tungau atau rayap yang akan memakan habis buku-buku kita.
Tetapi ebook  ini punya kekurangan juga. Mata menjadi cepat lelah dan bahaya lain yang bisa mengancam kesehatan mata.Â
Sebenarnya, pemakaian ebook dengan buku cetak tergantung kenyamanan masing-masing sih. Kalau saya lebih memilih buku cetak. Ada beberapa alasannya.Â
Pertama, buku cetak bisa dicorat-coret. Maksudnya, kita bisa menggaris bawahi kalimat-kalimat yang kita suka, mencatat bagian-bagian penting, bahkan memberikan  opini.
Kedua adalah saya bisa berkreasi dengan buku, Contohnya, membuat bookstagram. Saya membuat foto buku yang sudah saya baca, sedikit memberikan ulasan, Â dan membagikannya di akun instagram saya.Â
Ketiga, supaya toko buku tetap ada. Banyaknya toko  buku yang tutup  membuat saya prihatin dengan eksistensi toko buku di masa mendatang.Â
Dimana lagi saya bisa melihat buku-buku yang berjejer rapi di rak? Atau cover-cover yang cantik , aroma buku-buku baru, dan alunan musik Kenny G yang mengiringi  langkah kaki saya mencari buku -buku kesukaan saya?
Lebay? Saya pikir tidak juga. Hal ini tentunya dirasakan juga oleh para pecinta buku lainnya. Â Oleh karena itu, sepanjang toko buku masih eksis, Â saya akan tetap mengunjunginya. Kiranya tidak ada lagi toko buku yang berguguran karena buku adalah jendela kehidupan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H