Mohon tunggu...
Fri Yanti
Fri Yanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pengajar

suka hujan, kopi, sejarah, dan buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Etika di Rumah Duka

14 Mei 2023   07:00 Diperbarui: 14 Mei 2023   07:23 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sumber gambar: freepik
sumber gambar: freepik

Bersukacitalah saat orang-orang bersuka ria. Berdukacitalah saat orang lain sedang berduka. Jangan menangis di saat orang lain sedang tertawa dan jangan tertawa di saat orang menangis.

Sudah lama nih nggak buka Facebook. Segera saja saya meraih ponsel dan membuka akun saya. Scroll sana scroll sini. Sudah lama juga ya tidak bertegur sapa dengan sekelompok teman yang jauh di mata. 

Ada banyak momen yang terlewatkan oleh saya rupanya. Ada yang baru saja melahirkan, ada pula yang menempati rumah baru, dan ada pula yang mengadakan syukuran atas ulang tahun pernikahan mereka yang kesepuluh.

Sebuah postingan memaku perhatian saya. Seorang kerabat memposting beberapa foto yang diberi caption 'Melayat di Rumah Duka'. Rupanya kerabat saya itu sedang melayat ke rumah  salah seorang rekan kerjanya. Orang tua laki-laki rekan kerjanya itu meninggal dunia. 

Sampai di sini, tindakannya masih  wajar. Kerabat saya itu mungkin menunjukkan rasa solidaritasnya dengan membagikan momen dukacitanya itu. Dia memang seperti itu. Dia doyan mengabadikan setiap momen yang dialaminya, entah itu bahagia atau sedih, lalu mempostingnya di media sosial.  

Tetapi kemudian yang membuat mata saya 'sakit' adalah sebuah foto yang menunjukan raut wajahnya yang sedang tersenyum lebar. Saat itu, dia sedang duduk tepat di samping mendiang. Terlihat sedang memegang tepi kasur, tempat mendiang  dibaringkan, sambil berpose manis seraya  tersenyum sumringah. 

Saya jadi teringat pose ini. Pose yang pernah saya tunjukkan ketika mengunjungi museum daerah sewaktu SMP. Saya berpose. Menunjuk replika Pithecanthropus sembari tersenyum manis. Perjalanan ke museum selalu menyenangkan buat saya.

Sekarang saya melihat pose yang sama dalam diri kerabat saya, tetapi dalam situasi yang berbeda. Dalam foto tersebut, kerabat saya seolah ingin berkata, "Inilah saya! Saya sedang bersama orangtua teman saya yang meninggal kemarin!"

Sungguh situasi yang aneh. Saya jengkel. Bagaimana dia bisa cengar-cengir seperti itu sementara rekan kerjanya sedang berduka? Bila orang-orang di sekelilingnya, menunjukkan raut wajah sedih, dia justru sebaliknya.

Kerabat saya itu hanya satu dari sekian banyak orang yang empatinya seakan mati saat bermedsos. Acara  berkabung pun dijadikan konten. Cengar-cengirlah, senyam-senyumlah, tertawalah,  bahkan yang parahnya ngedance  tepat di depan sosok yang sudah terbujur kaku.

Pernah saya memberi kritik pada postingannya 'tidak wajar' tersebut, tetapi saya malah disemprot balik.

"Skip aja, Kak, kalau nggak suka. Keluarganya aja nggak protes!"

Benar. Untuk menghindari hal-hal aneh seperti itu, cukup dilewatkan saya. Tidak perlu  dilirik. Tetapi kalau  terlalu sering melihat ini, emosian juga kan?

Beretika saat Melayat

Berdukacita atas kematian seseorang merupakan hal yang wajar. Apalagi bila orang tersebut merupakan keluarga atau teman dekat kita. Orang-orang dari berbagai belahan bumi memiliki caranya masing-masing dalam mengekspresikan kesedihan. 

Di Taiwan, misalnya. Ada istilah yang disebut Putri Berbakti, yaitu orang-orang yang disewa sebagai pengganti keluarga yang berduka. Orang-orang tersebut akan menari, maratap, serta menghangatkan hati para pelayat dan keluarga yang ditinggalkan.

Pada masa Dinasti  Zhou, Tiongkok, terdapat Kitab Etiket dan Kitab Ritus yang merupakan bagian dari ajaran Konfusius. Dalam kitab tersebut, ditetapkan  tentang aturan-aturan perkabungan mulai dari lamanya masa berkabung, makanan, perilaku yang pantas, kondisi hidup, dan pakaian. Orang-orang yang berkabung tidak boleh menyelenggarakan segala macam hiburan.

Orang-orang pada masa Ratu Victoria, tidak boleh menghadiri pesta selama masa berkabung. Bagi anggota keluarga yang ditinggalkan,mesti mengenakan pakaian hitam selama berbulan-bulan.

Masyarakat  Suku Dani di Lembah Baliem  akan memotong jari-jari mereka untuk mengungkapkan betapa sedihnya ditinggalkan oleh orang yang dicintai dan dihormati. 

Bahkan adat istiadat pun  menjadikan berkabung sebagai sebuah tradisi . Artinya, ada seperangkat aturan dalam adat  yang mengatur tata perilaku masyarakatnya ketika berdukacita. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan masyarakat yang teratur serta beradab.

Tetapi masyarakat zaman sekarang memang lain daripada yang lain. Apalagi dengan kehadiran media sosial yang membuat orang-orang bebas berekspresi. Sisi negatifnya adalah ketika moral terkikis dan empati sudah menipis. Demi konten, orang-orang melakukan apa saja  bahkan hal gila sekalipun. 

Lalu apakah tidak boleh mengambil foto atau video ketika sedang berada di rumah duka?

Tentu saja boleh. Tidak ada yang melarang.  Hanya saja lakukanlah dalam batas yang wajar dan tidak mengganggu pihak keluarga atau orang-orang di sekitar. Alangkah tidak elok rasanya ketika -orang-orang sedang tersedu  sedan, kita malah asyik berfoto sambil memasang senyum penuh pesona.

Setidaknya hormatilah mendiang. Hargai keluarga yang telah ditinggalkan. Lebih baik tenang. Tidak perlu menunjukkan raut wajah sedih yang dibuat-buat. Tidak perlu sampai menangis meraung-raung. Itu lebay namanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun