Menarik sekali ketika RUU Perlindungan PRT akan segera disahkan menjadi undang-undang. Hal ini berarti para pekerja dalam sektor domestik  akan segera diakui profesinya dan juga mendapat perlindungan hukum.Â
Meski tersendat,namun pengesahan RUU PPRT menjadi undang-undang tidak hanya sekedar wacana. Kehadiran UU PPRT nantinya akan menjadi angin segar bagi para pekerja rumah tangga yang hak-haknya, terutama hak mereka sebagai manusia, seringkali diabaikan.
Kekerasan yang mereka alami seolah seperti rantai yang tidak putus. Berulang terjadi tanpa ada solusi yang betul-betul memutus rantai itu. Hukuman yang diberikan pada pelaku kekerasan seolah tidak memberikan dampak apa pun. Yang ada malah meninggalkan trauma berat bagi para pekerja rumah tangga yang mengalami kekerasan.
Tercatat sepanjang 2017-2022 Â terdapat 2.637 kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Laporan yang dihimpun oleh JALA (Jaringan Nasional Advokasi PRT) menyebutkan bahwa hingga Desember 2021, rata-rata terjadi 400-an kekerasan terhadap PRT. Sumber
Kondisi ini diperparah oleh minimnya  jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan yang diberikan kepada mereka. Dari hasil survei pada 2019 yang dilakukan kepada 4.296 responden PRT di enam kota besar, disebutkan bahwa 89 persen  di antara mereka tidak memilki jaminan kesehatan dan 99 persen  tidak memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan. Sumber
Sejarah Panjang PRT
Konsep mempekerjakan seorang PRT dianggap sebagai sesuatu yang wajar dalam masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan kehadiran PRT telah menjadi bagian dari tradisi. Sudah membudaya.
Apalagi pada masyarakat feodal yang terbagi-bagi dalam stratifikasi sosial. PRT, dulunya disebut jonggos dan babu, menempati lapisan terendah. Mereka akan tinggal di rumah keluarga raja atau bangsawan. Mengurusi pekerjaan rumah tangga.
Dalam tradisi suku-suku di Nusantara, anak-anak dari keluarga kurang mampu akan dipekerjakan di rumah keluarga yang lebih mampu dan masih memiliki hubungan kekerabatan. Anak-anak itu akan mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan diberikan pendidikan yang berguna baginya kelak.
Pada masyarakat Sumba Timur, misalnya, golongan hamba akan dibeli (di-belis) oleh keluarga bangsawan atau biasa yang mapan secara ekonomi dengan cara membayar mahar. Golongan bangsawan itu akan memberikan sejumlah ternak kepada keluarga yang mau menyerahkan anak perempuannya. Para hamba perempuan yang sudah dibeli ini akan dinikahkan nantinya dengan hamba laki-laki dari keluarga yang membelinya. Â Sumber
Pada zaman penjajahan, orang-orang Eropa terutama para pejabat kolonial,akan mempekerjakan banyak babu (budak perempuan) dan jonggos (budak laki-laki). Para budak didatangkan dari daerah lain seperti India, pulau-pulau di sebelah selatan Filipina, Sulawesi Tengah dan Bali. (Suyono : 2005, 21)
Mereka, para budak itu akan dipekerjakan di rumah mewah orang-orang Eropa. Saat itu, orang Eropa  memiliki rumah besar dengan banyak budak akan mendapat nilai sosial yang tinggi. Seorang Eropa kaya raya biasanya memerlukan hingga 300-an jonggos dan babu.
Mereka bukan hanya dipekerjakan dalam sektor domestik, melainkan juga mengurusi hal-hal seperti membersihkan sarang burung wallet, membersihkan kandang kuda, hingga mengawasi selokan. Untuk mengurusi satu pekerjaan, diperlukan puluhan pekerja.
Beberapa budak juga ada yang ditugaskan untuk menghibur sang majikan. Mereka bertugas sebagai pemain musik dan penari. Bahkan beberapa majikan melatih para budak mereka untuk bermain sandiwara. Harga para budak ini lebih mahal dari budak biasa.
Mereka akan menghibur para tuan dan nyonya yang sudah  akibat seharian bekerja. Para budak ini akan bermain peran, menari, dan memainkan musik. Musik yang mereka mainkan biasanya tanjidor dan keroncong.
Para budak perempuan yang diperistri oleh pria Eropa akan mengikuti kebangsaan suaminya. Sebelum menikah, mereka harus belajar bahasa Belanda dan dibaptis pula.
Para budak perempuan yang telah diperistri itu, sulit diterima oleh anggota keluarga suaminya karena dulunya berasal dari kasta terendah. Mereka juga susah mendapat warisan dari orang tua suami.
Para nyonya yang kebanyakan berasal dari peranakan Eropa, Â akan berlaku kejam pada para budak mereka Ketika berpergian, seorang nyonya akan didampingi setidaknya dua orang budak perempuan.Seorang akan memegang kotak sirih dan seorang lagi memayunginya.
Penutup
Kehidupan para pekerja rumah tangga dengan segala problematikanya sangat jarang dibahas dalam tema-tema sejarah. Memang, kehidupan kasta terendah di negeri ini agaknya kurang menarik untuk diperbincangkan .
Harapannya undang-undang perlindungan PRT akan menjadi semacam wadah untuk memperjuangkan keadilan bagi mereka, para pekerja rumah tangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H