Â
Namanya Mendung. Panggil saja begitu. Kisah hidupnya semendung namanya. Sudah ditinggal suami, dipenjara pula. Beberapa waktu lalu, dia ketahuan mencuri perhiasan milik majikan tempatnya bekerja.
Sang majikan melaporkannya kepada pihak yang berwenang. Mendung ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Sebenarnya, dia terpaksa melakukan pencurian itu karena harus membayar utang judi suaminya.
Mendung pun diadili dan divonis tiga tahun penjara. Saat baru dipenjara, Mendung dalam kondisi mengandung. Ketika tiba saatnya menjalani proses persalianan,dia dibawa ke puskesmas oleh beberapa sipir wanita.
Selang beberapa hari, Mendung melahirkan bayi pertamanya. Saat menggendong bayinya, hati Mendung sakit bagai tersayat belati. . Dia tak sanggup memandang wajah mungil itu. Kasihan anaknya yang harus ber-ibu-kan narapidana dan akan menjalani masa batita-nya di penjara.
Mendung sudah tidak bisa mengeluarkan air mata lagi karena sudah  terkuras untuk menangisi hidupnya yang semendung awan. Akhirnya, Mendung hanya bisa menatap anaknya dengan pandangan berkaca-kaca.
Di tempat lain, Mentari , nama samaran, adalah seorang selebriti papan atas. Dia harus berhadapan dengan hukum setelah video mesumnya dengan seorang pria beredar luas. Mentari  dijerat dengan pasal UU ITE, tetapi tidak ditahan karena dia mempunyai anak perempuan berusia lima tahun.
Mendung dan Mentari sama-sama wanita, sama-sama terjerat hukum, namun  beda perlakuan. Mereka adalah  definisi hukum yang tumpul ke atas dan runcing ke bawah.
Meskipun sekedar ilustrasi, namun kisah Mendung dan Mentari nyata terjadi. Contohnya saja Ibu Putri Candrawathi, salah satu tersangka kasus pembunuhan Brigadir Joshua. Si Ibu sempat tidak ditahan meskipun sudah ditetapkan menjadi tersangka karena alasan kemanusiaan.
Memang pada akhirnya beliau ditahan tetapi sepertinya butuh waktu hingga beliau mengenakan seragam oranye. Hal yang paling miris dan terkesan tidak fair adalah ketika alasan kemanusian untuk Ibu PC tidak berlaku bagi orang-orang seperti Mendung yang bukan siapa-siapa.
Kisah Si Miskin dan Si Kaya bukan cerita baru. Kisah semacam itu sudah menahun dan  akut. Msyarakat kita, sedari dulu, memang sudah dibentuk  oleh sistem feodal. Feodalisme atau feodal, menurut KBBI, merupakan sistem sosial  dan  politik yang memberikan kekuasaan kepada golongan bangsawan.
Bisa juga diartikan sebagai sistem sosial yang mengagungkan jabatan dan pangkat. Dalam masyarakat feodal, kepintaran, kecerdasanserta kerja keras  tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan seberapa 'biru' darahmu, pangkatmu, dan jabatanmu.
Feodalisme pertama kali muncul  pada abad pertengahan di Eropa. Di Indonesia, kemunculannya sudah ada pada zaman Kerajaan Kuno. Seseoang yang kuat dan perkasa, akan dijadikan pemimpin karena telah berhasil memenangkan perang.
Selanjutnya orang itu memiliki pengikut lalu membuka lahan untuk mendirikan kerajaan. Orang itu lalu menjadi raja dan para pengikutnya tadi menjadi abdi. Para abdi harus tunduk pada titah raja karena titah raja berdasarkan wahyu Tuhan (Ong Hok Ham: 2018, hal 16).
Raja akan  menempati urutan pertama , bangsawan pada urutan keduanya , sementara rakyat jelata menempati urutan ketiga. Semakin dekat hubungan darah seorang bangsawan dengan raja yang sedang memerintah, semakin tinggi pulalah status sosialnya dalam masyarakat,
Bukan tidak mungkin raja akan memerintah sewenang-wenang. Meskipun begitu, para abdi dan rakyat jelata harus tunduk pada kata-kata raja apapun yang terjadi. Begitu seterusnya hingga turun-temurun .
Mochtar Lubis pernah berkata  bahwa salah satu ciri manusia Indonesia adalah sikap feodalismenya yang bahkan masih terbawa di era modern saat ini. Para petinggi selalu merasa ingin dihormati dan menuntut ketaatan mutlak dari bawahannya. Jabatan dan pangkat kebanyakan diisi oleh 'keluarga' dan 'teman' daripada orang yang memenuhi kualifikasi untuk jabatan itu.
Akibatnya muncul arogansi terutama dari pihak yang merasa dirinya penuh kuasa.  Beberapa waktu lalu, seperti yang diberitakan di berbagai media, seorang anggota DPRD memukul seorang wanita yang melarangnya untuk menerobos antrian di SPBU. Atau seorang wanita  yang tidak terima ditegur karena menyerempet pengguna sepeda motor lalu  mengaku istri jenderal.
***
Zaman semakin maju diikuti oleh perkembangan manusia yang semakin modern. Menurut saya, jika sebuah bangsa ingin maju, maka harus meninggalkan nilai-nilai lama yang sifatnya negatif.
Harapan saya, Indonesia di masa depan akan lebih memperlakukan manusia secara adil dan beradab sesuai dengan Pancasila sila kedua yang selalu kita ucapkan setiap upacara. Lagipula, bukankah semua manusia di mata Tuhan adalah sama?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H