Bangsa Indonesia pastinya mengetahui tragedi Gestapu (Gerakan Tiga Puluh September) yang selalu dikisahkan dari generasi ke generasi. Tragedi ini menjadi materi wajib di sekolah-sekolah, dibukukan, bahkan difilmkan. Saat masih duduk di bangku SD, saya ingat TVRI selalu menayangkan film tersebut sepanjang hari setiap 30 September.
Fokus utama dari tragedi Gestapu  ini adalah penculikan dan pembunuhan terhadap para petinggi Angkatan dan Darat dan perwira TNI. Setelah dibunuh,  jasadnya dimasukkan ke dalam lubamg buaya. Untuk mengenang peristiwa tragis ini, oleh Presiden Soeharto dibangunlah Monumen Pancasila Sakti.
Hal ini yang menjadi inspirasi bagi warga Simalungun untuk membangun monumen yang sama untuk mengenang peristiwa berdarah yang terjadi di daerah itu, yaitu Peristiwa Bandar Betsy yang melibatkan PKI, BTI dan Letda Sujono.
 Perbedaannya, bila pada Monumen Pancasila Sakti terdapat tujuh patung Pahlawan Revolusi, maka pada Tugu Letda Sujuno, patungnya berjumlah delapan.
Patung Letda Sujono ditempatkan di depan, seementara patung tujuh Pahlawan Revolusi berdiri berjejer di belangkangnya. Tak lupa ornamen burung garuda Pancasila menaungi delapan pahlawan Revolusi ini.
Tugu Letda Sujono terletak di wilayah Afdeling 35, Desa Bandar betsy II, Kecamatan Banda Huluan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Bermula Dari Perselisihan Antara BTI Dengan PPN
 Sebagaimana partai politik, PKI memiliki organisasi underbrow (substruktur) seperti SOBSI (Buruh), Pemuda Rakyat, Gerwani (Gerakan Wanita), dan BTI (Barisan Tani Indonesia) semula hanya organisasi massa biasa yang berdiri pada 23 November 1945, tetapi kemudian PKI memayunginya.
 BTI menginginkan suatu land reform yang memungkinkan para petani memperoleh manfaat hak-hak atas tanah dengan adil dan merata. Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 16 Ayat 1, hak tanah meliputi hak milik, hak guna, bangungan, hak guna usaha, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan.