Mohon tunggu...
Fri Yanti
Fri Yanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pengajar

suka hujan, kopi, sejarah, dan buku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ada Monumen Pancasila Sakti di Simalungun

30 September 2022   13:25 Diperbarui: 30 September 2022   13:29 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : tribunnews.com

Bangsa Indonesia pastinya mengetahui tragedi Gestapu (Gerakan Tiga Puluh September) yang selalu dikisahkan dari generasi ke generasi. Tragedi ini menjadi materi wajib di sekolah-sekolah, dibukukan, bahkan difilmkan. Saat masih duduk di bangku SD, saya ingat TVRI selalu menayangkan film tersebut sepanjang hari setiap 30 September.

Fokus utama dari tragedi Gestapu  ini adalah penculikan dan pembunuhan terhadap para petinggi Angkatan dan Darat dan perwira TNI. Setelah dibunuh,  jasadnya dimasukkan ke dalam lubamg buaya. Untuk mengenang peristiwa tragis ini, oleh Presiden Soeharto dibangunlah Monumen Pancasila Sakti.

Hal ini yang menjadi inspirasi bagi warga Simalungun untuk membangun monumen yang sama untuk mengenang peristiwa berdarah yang terjadi di daerah itu, yaitu Peristiwa Bandar Betsy yang melibatkan PKI, BTI dan Letda Sujono.

 Perbedaannya, bila pada Monumen Pancasila Sakti terdapat tujuh patung Pahlawan Revolusi, maka pada Tugu Letda Sujuno, patungnya berjumlah delapan.

Patung Letda Sujono ditempatkan di depan, seementara patung tujuh Pahlawan Revolusi berdiri berjejer di belangkangnya. Tak lupa ornamen burung garuda Pancasila menaungi delapan pahlawan Revolusi ini.

Tugu Letda Sujono terletak di wilayah Afdeling 35, Desa Bandar betsy II, Kecamatan Banda Huluan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Bermula Dari Perselisihan Antara BTI Dengan PPN

 Sebagaimana partai politik, PKI memiliki organisasi underbrow (substruktur) seperti SOBSI (Buruh), Pemuda Rakyat, Gerwani (Gerakan Wanita), dan BTI (Barisan Tani Indonesia) semula hanya organisasi massa biasa yang berdiri pada 23 November 1945, tetapi kemudian PKI memayunginya.

 BTI menginginkan suatu land reform yang memungkinkan para petani memperoleh manfaat hak-hak atas tanah dengan adil dan merata. Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 16 Ayat 1, hak tanah meliputi hak milik, hak guna, bangungan, hak guna usaha, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan.

Sebagaian besar para penduduk yang bermukim di Bandar Betsy merupakan anggota  BTI dan mereka adalah penggarap kebun karet.  Suatu ketika, Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Karet IX Bandar Betsy, menginginkan tanah kosong milik perkebunan yang sedang digarap oleh penduduk sekitar.

Rencananya, pihak PPN  mengadakan perluasan lahan dan akan memberikan ganti rugi pada para petani yang lahannya dipakai oleh pihak perusahaan perkebunan. Para penggarap setuju.

Pada 28 Juli 1964, Sukardi, selaku Ketua BTI, memimpin penyerahan lahan seluas 20 hektar kepada PPN. Tindakan tersebut diikuti oleh para peenggarao dengan menyerahkan masing-masing blok lahan garapan.

Semua berjalan lancar. PPN mulai mengerjakan lahan. Beberapa waktu kemudian, kepengurusan BTI diganti termasuk ketuanya. Ketua BTI yang baru betekad kuat untuk menjalankan amanat organisasi yang memayungi mereka.

 BTI pun tunduk pada titah PKI untuk membatalkan penyerahan lahan karena PKI menganggap pihak perkebunan telah melakukan pelanggran perjanjian sehingga merugikan para penggarap. Pada Februari 1965 pun pengerjaan lahan terhenti gara-gara BTI berubah pikiran.

Malahan kemudian, PKI menitahkan  BTI supaya menanami lahan-lahan yang sudah menjadi milik PPN dengan tanaman seperti ubi jalar, pisang, dan jagung  sehingga pihak PPN melaporkannya pada aparat keamanan.

Setelah melalui perselisihan yang panjang pihak PPN pun mengalah dengan mengizinkan massa BTI untuk bertanam asalkan bukan di lahan yang sudah menjadi hak milik PPN termasuk lahan yang sudah diserahkan oleh para petani sebelumnya. BTI pun setuju. Semua orang sepakat. Kericuhan berakhir.

Tetapi, pada 11 Mei 1965, ketika PPN mengalami kendala teknis yaitu traktor mereka terperosok ke dalam kubangan lumpur, BTI memanfaatkan situasi itu untuk menanami lagi secara paksa lahan-lahan yang sudah menjadi milik perkebunan negara.

Karena sudah melanggar kesepakatan, maka PPN mengambil tindakan dengan melaporkan pada pihak yang berwajib.  Para pelaku penanaman paksa ditangkap. BTI yang tidak terima anggota mereka ditangkap, membawa ‘pasukan’ yang terdiri dari massa PKI dan Pemuda Rakyat (PR) dan Gerwani.

Mereka membawa cangkul, arit, parang, dan bersepakat untuk merebut lahan milik negara. Upaya yang mereka lakukan adalah dengan melanjutkan penamanan paksa yang telah mereka lakukan sebelumnya.

Adalah Letnan Dua Anumerta (Letda)  Sujono, seorang perwira TNI AD  yang kala itu berpangkat Pembantu LetnanSatu (Peltu), sedang bertugas menjaga perkebunan. Beliau sedang mengecek traktor yang tak bisa beroperasi dengan  baik akibat lumpur.

Setelah selesai, beliau kembali berpatroli dan mendapati BTI sedang melakukan penanaman paksa. Sujono menegur mereka.

“ Lahan yang kalian tanami itu milik negara,” begitu katanya mengingatkan.

Anggota BTI melawan Sujono dengan mengroyoknya. Sujono jatuh tersungkur. Tubuhnya dijadikan bulan-bulanan massa PKI, BTI dan Pemuda Rakyat. . Beliau ditendang, dipukul, dan  dihantam linggis. Puncaknya, ketika orang-orang itu menghujamkan cangkul ke kepala Sujono.

Pada 14 Mei 1965 itu, Sujono tewas dikeroyok PKI dan ormas-ormasnya. Jasad beliau segera dibawa ke rumah sakit, sementara para pelaku pengeroyokan diamankan. Ahmad Yang yang mendengar peristiwa itu dari ibukota merasa geram. Beliau langsung memerintahkan pengusutan secara tuntas.

Kini, Tugu Letda Sujono berdiri tegak dan menjadi saksi bisu peristiwa berdarah di Perkebunan Bandar Betsy. Oleh Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) dan Kodam I Bukit Barisan, areal perkebunan tempat Tugu Sujono berdiri dijadikan tempat upacara peringatan Kesaktian Pancasila.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun