Sebagaian besar para penduduk yang bermukim di Bandar Betsy merupakan anggota  BTI dan mereka adalah penggarap kebun karet.  Suatu ketika, Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Karet IX Bandar Betsy, menginginkan tanah kosong milik perkebunan yang sedang digarap oleh penduduk sekitar.
Rencananya, pihak PPN Â mengadakan perluasan lahan dan akan memberikan ganti rugi pada para petani yang lahannya dipakai oleh pihak perusahaan perkebunan. Para penggarap setuju.
Pada 28 Juli 1964, Sukardi, selaku Ketua BTI, memimpin penyerahan lahan seluas 20 hektar kepada PPN. Tindakan tersebut diikuti oleh para peenggarao dengan menyerahkan masing-masing blok lahan garapan.
Semua berjalan lancar. PPN mulai mengerjakan lahan. Beberapa waktu kemudian, kepengurusan BTI diganti termasuk ketuanya. Ketua BTI yang baru betekad kuat untuk menjalankan amanat organisasi yang memayungi mereka.
 BTI pun tunduk pada titah PKI untuk membatalkan penyerahan lahan karena PKI menganggap pihak perkebunan telah melakukan pelanggran perjanjian sehingga merugikan para penggarap. Pada Februari 1965 pun pengerjaan lahan terhenti gara-gara BTI berubah pikiran.
Malahan kemudian, PKI menitahkan  BTI supaya menanami lahan-lahan yang sudah menjadi milik PPN dengan tanaman seperti ubi jalar, pisang, dan jagung  sehingga pihak PPN melaporkannya pada aparat keamanan.
Setelah melalui perselisihan yang panjang pihak PPN pun mengalah dengan mengizinkan massa BTI untuk bertanam asalkan bukan di lahan yang sudah menjadi hak milik PPN termasuk lahan yang sudah diserahkan oleh para petani sebelumnya. BTI pun setuju. Semua orang sepakat. Kericuhan berakhir.
Tetapi, pada 11 Mei 1965, ketika PPN mengalami kendala teknis yaitu traktor mereka terperosok ke dalam kubangan lumpur, BTI memanfaatkan situasi itu untuk menanami lagi secara paksa lahan-lahan yang sudah menjadi milik perkebunan negara.
Karena sudah melanggar kesepakatan, maka PPN mengambil tindakan dengan melaporkan pada pihak yang berwajib.  Para pelaku penanaman paksa ditangkap. BTI yang tidak terima anggota mereka ditangkap, membawa ‘pasukan’ yang terdiri dari massa PKI dan Pemuda Rakyat (PR) dan Gerwani.
Mereka membawa cangkul, arit, parang, dan bersepakat untuk merebut lahan milik negara. Upaya yang mereka lakukan adalah dengan melanjutkan penamanan paksa yang telah mereka lakukan sebelumnya.
Adalah Letnan Dua Anumerta (Letda)  Sujono, seorang perwira TNI AD  yang kala itu berpangkat Pembantu LetnanSatu (Peltu), sedang bertugas menjaga perkebunan. Beliau sedang mengecek traktor yang tak bisa beroperasi dengan  baik akibat lumpur.