Sejak berabad-abad lalu di Eropa, pertunjukkan sirkus selalu diminati bagi masyarakatnya yang membutuhkan hiburan. Salah satu hewan yang dipertontonkan adalah beruang. Hewan bertubuh besar, bertaring, dan bercakar tajam itu sesekali diadu dengan manusia. Kuku dan taring mereka dicabut sebelum bergulat dengan manusia. Beruang-beruang itu ditempatkan pada sebuah kerangkeng, dirantai sepanjang waktu untuk pertunjukkan.
Begitulah Belanda menganalogikan rakyat pribumi seperti beruang yang dirantai. Mereka menyebutnya Strapan atau orang-orang hukuman.
Prajurit Strapan
Strapan berasal dari bahasa Belanda, yaiitu gestraften atau orang hukuman. Di era kolonialisme Belanda, Ketika Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders in Nederlandsch Indie (Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang pribumi di Hindia Belanda) diberlakukan pada 1873, terdapat tiga jenis hukuman yang berlaku bagi rakyat pribumi, yaitu hukuman mati, denda, dan menjadi prajurit strapan. Namun, tidak semua prajuirt strapan berasal dari orang-orang terhukum, melainkan juga yang berasal dari para pekerja paksa yang diambil secara paksa dari tugas mereka membangun sarana-sarana pertahanan bagi Belanda.
Berbeda dari prajurit yang biasanya terjun ke lapangan peperangan, para starapan ini bekerja di balik layar. Ketika Perang Aceh bergulir, sekelompok orang Jawa didatangkan. Mereka mengenakan kemeja merah-maka disebut juga 'Prajurit Batalyon Merah'- dibariskan dengan tangan dirantai  lalu berjalan beriringan menuju 'tempat kerja'.Tugas mereka adalah memberikan ransum makanan kepada prajuirt Belanda, menjadi kuli angkut bagi serdadu yang sakit atau terluka, dan kadang-kadang disuruh membuat jalan.Kadang-kadang mereka juga mengerjakan hal-hal yang remeh, seperti memasang bola lampu,membuat kopi, hingga memasak.  Mereka juga menjadi tukang gali kubur bagi serdadu yang tewas.
Belanda bisa saja membeli hewan sebagi kuli angkut seperti kuda,misalnya. Atau mereka bisa saja menggaji orang-orang pribumi lainnya. Tetapi kalau melakukan itu,  berarti mereka harus  mengeluarkan uang untuk membeli kuda dan kandangnya juga gaji meskipun jumlahnya tak seberapa. Dengan keberadaan para starapan ini, Belanda tak perlu memikirkan pengeluaran. Mereka hanya perlu memberi makan orang-orang itu.
Para strapan tinggal di rumah gubuk yang mereka bangun sendiri. Benar mereka diberi makan tapi tak lebih dari sisa makanan para prajurit Belanda. Akibatnya, para starapan banyak yang mati kelaparan. Dalam bukunya yang berjudul 'Seks dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial', R.P, Suryono menuliskan bahwa terdapat 25.000 Â oramg-orang strapan yang tewas dalam Perang Aceh.
Para strapan yang berjasa bagi Belanda, diberi semacam 'reward' berupa tambahan ransum makanan dan keringanan hukuman.
Â
Kekerasan Di Era Kolonialisme Belanda