Tokoh Fugui seperti saksi hidup yang dialami bangsanya yang pernah mengalami kekejaman perang saudara, teror, hingga kebijakan Mao Zedong yang absurd, misalnya kebijakan untuk membantai semua burung gereja karena, bagi Mao, itu sangat menggangu perkembangan Tiongkok. Akibatnya, burung gereja punah. Â
Populasi belalang membludak karena tidak ada yang memangsa mereka. Tanaman pangan menjadi rusak karena serangan belalang, lalu muncullah bencana kelaparan terdashyat. Â
Kondisi Tiongkok yang mengalami kelaparan hebat dikemukakan Fugui pada lembaran selanjutnya.Â
Semua sekarang menghitung bulir nasi yang dimauskkan ke kuali . Simapanan makanan sudah sangat    tipis. Tidak ada lagi yang menanak nasi, semuanya masak  bubur dan buburnya sudah  encer...sudah satu atau dua bulan ini keluarga kami tidak pernah makan kenyang (hal 122-123)
Lalu bagaimana Fugui bisa bertahan hidup dengan hari-hari yang serba sulit itu? Optimis. Dengan sikap itu, Fugui mampu menjalani hari-harinya dengan penuh keikhlasan dan semangat hidup meski perutnya tak terisi.
Buku ini memberikan begitu banyak pelajaran hidup. Pertama, seberapa megahnya sebuah peradaban dan seberapa hebatnya sebuah bangsa, pasti memiliki kisah kelamnya masing-masing dan masyarakat yang tinggal di dalamnya pun tidak ingin mengalami kondisi yang  seperti itu. Kita sebaiknya tidak boleh memandang sekelompok orang yang berbeda dari kita hanya dari satu sisi, tetapi cobalah memandang dari beberapa sisi.
Kedua, Buku  ini mengajakarkan kiat untuk bertahan hidup. Dalam keadaan titik terendah sekalipun, tetaplah bertahan hidup. Seperti Fugui yang senantiasa optimis dan tidak menyerah pada keadaan.Selalu ada jalan keluar bagi keadaaan yang rumit.Pelajaran lainnya adalah tentang tanggung jawab, arti keluarga, semangat hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H